Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bahasa, Kompasiana, dan Kegelisahan Khrisna Pabichara

9 Maret 2021   20:37 Diperbarui: 10 Maret 2021   00:33 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sukarno berorasi untuk menuntut kemerdakaan dari Belanda. | AFP via Getty Images / WSJ.com

Menurut saya, pemakaian lema-lema asing oleh admin K-iana adalah wujud upaya mereka guna mempertahankan eksitensinya agar tak punah.

Tren penelusuran Google 2020. | Google.com
Tren penelusuran Google 2020. | Google.com
Sulit dimungkiri bahwa lema asing lebih ramah dan populer pada pencarian lewat peramban. Itu fakta yang agaknya cukup sulit dibantahkan. Sebagai contoh, kata "ghosting" yang menempati peringkat pertama dalam daftar pencarian Google sepanjang 2020 lalu.

"Ghosting" tidak mungkin diwakili oleh lema-lema lain dalam hal mendongkrak keterbacaan dan menarik minat pembaca.

Jadi, untuk mengejar keuntungan serta menutup biaya operasional, mau tidak mau, pengurus K-iana akan mengikuti permintaan pasar. Mereka mengadopsi istilah populer (asing) guna mendulang pembaca dan menggenjot keterbacaan (view, unique view, dll).

Motif yang sama juga dipraktikkan oleh K-ianer untuk mendulang keterbacaan sebab mereka sadar betul bahwa dirinya bukan seorang Khrisna Pabichara–yang setiap menayangkan artikel dibaca oleh jutaan pasang mata. Apakah K-ianer lain tidak berhak meraih banyak pembaca?

Oleh sebab itu, penggunaan istilah asing tidak semerta-merta menandakan kadar nasionalisme admin dan K-ianer rendah. Saya meyakini, sejatinya mereka sangat mencintai bahasa nasional sehingga tak perlu pindah kewarganegaran.

Pada akhirnya, pemakaian istilah asing merupakan konsekuensi logis sebuah platform menulis pada era digital demi mempertahankan eksistensiya.

#Kegelisahan Khrisna Pabichara
Artikel ini saya anggit sebagai reaksi atas kegelisahan dari sosok guru besar bahasa Indonesia pada platform K-iana, Khrisna Pabichara. Beliau menyebut dirinya rewel kala menelisik kadar kebahasaan admin K-iana, tapi saya lebih senang menyebut "gelisah". Ya, beliau sedang geli-sah.

Saya sangat memahami "ke-gelay-an" beliau atas kecendrungan admin K-iana yang gemar memakai bahasa asing dan memberikan label artikel utama kepada artikel yang bertajuk istilah asing.

Mungkin, kegelisahan beliau disebabkan karena kecintaannya yang teramat besar terhadap bahasa Indonesia. Secara moral, ia memiliki tanggung jawab yang begitu masif atas "hidup dan matinya" bahasa Indonesia di Nusantara.

Sejauh pengamatan saya pada artikelnya, beliau ingin menjaga puritanisme dalam berbahasa Indonesia. Mudahnya, jika ada padanan kata dalam bahasa Indonesia, haram baginya untuk memakai lema-lema bahasa asing. Begitu kira-kira.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun