Enam puluh tahun silam atau tepatnya pada 30 September 1960 di Gedung PBB, New York, terjadi sebuah peristiwa yang amat berpengaruh dalam sejarah, bukan hanya bagi Indonesia, tetapi juga dunia.
Bung Karno yang diberikan kesempatan untuk mengutarakan semua gagasannya di depan para pemimpin negara anggota PBB, berhasil mengguncang dunia.
Pasalnya, orasi yang dibacakan Presiden Sukarno dengan 'api jang menjala-njala' itu mampu 'menelanjangi' konsep yang sudah dibangun oleh imperalisme Barat selama berabad-abad.
Apalagi, beliau ialah pimpinan tertinggi Republik Indonesia ketika itu. Alangkah baiknya apabila beliau menjadi teladan. Pertemuan itu bisa menjadi momentum guna mempromosikan bahasa Indonesia kepada seluruh dunia. Namun, mengapa baliau tidak melakukannya?
Tidak hanya satu kali dua kali saja Sang Proklamator mengadopsi bahasa Inggris. Saat bertemu dengan pemimpin negara-negara asing pun, beliau kerap memakai bahasa asing, alih-alih memaksa lawan bicaranya guna belajar bahasa Indonesia atau menggunakan jasa penerjemah.
Bahkan, dalam beberapa pidatonya yang disiarkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI), Bung Karno pun tak segan-segan berkomunikasi melalui bahasa asing.
Jika tolok ukur nasionalisme seseorang bisa dinilai dari penggunaan bahasanya, sama halnya kita menuduh beliau tidak nasionalis. Cuman manusia bebal yang mempertanyakan nasionalisme beliau.
Pemakaian bahasa Inggris oleh Sukarno bukan tanpa alasan. Sebagai konseptor dan orator ulung, beliau memanfaatkan kepiawaiannya dalam berbahasa Inggris sebagai medium diplomasi. Bukan untuk menunjukkan bahwa beliau keminggris.
Penuturan dari interpreter tentu sangat berbeda dengan penutur pertama. Akan ada 'pesan' yang hilang andai saja Bung Karno meminjam bantuan interpreter sebagai penyambung lidahnya.
Meski acapkali memakai bahasa asing, kecintaan Bung Karno terhadap bahasa Indonesia tak sedikitpun luntur. Justru kemampuan bahasa Inggris-nya itulah yang berjasa dalam sejumlah diplomasi untuk kebaikan rakyat Indonesia.