"Sextortion" mempunyai motif yang beragam, mulai dari ekonomi (uang), sakit hati, dendam akibat putus cinta, hingga penyimpangan seksual.
Modus yang digunakan pun bermacam-macam, mulai dari metode link phising melalui pesan kepada korban, melalui rayuan dengan bertindak sebagai pacar, hingga melalui video call sex (VCS) dan chat sex (sexting/CS).
Abdi negara Dinas Kesehatan Riau itu diperas pelaku bernama Jon Hendri, yang menyaru sebagai anggota TNI.
Awalnya, pelaku mengirim video tidak senonoh kepada korban sebagai umpan. Lantas, ia diminta untuk mengirimkan video serupa yang saat itu disebut telah saling berpacaran secara jarak jauh.
Lantaran sudah merasa percaya, korban pun mengirimkan video bugilnya kepada pelaku. Video itu lantas digunakan untuk memeras korban dengan meminta uang sejumlah Rp 30 juta, tetapi hanya dikirim Rp 2,7 juta. Sang pelaku yang belum puas lantas meminta lagi. Dan, baru pada saat itulah korban melapor kepada polisi.
Tidak lama kemudian, pihak kepolisian akhirnya berhasil mengungkap sindikat pemerasan seksual daring. Diperkirakan terdapat lebih dari 100 orang yang telah menjadi korban sextortion, yang diperas hingga puluhan juta rupiah per korban.
Lazimnya, para pelaku cenderung lebih memilih calon korban pada media sosial yang mencantumkan identitas lengkap, meliputi nomor telepon, alamat, dan foto kerabat atau teman guna mempermudah pemerasan. Nantinya, informasi itu akan dijadikan dalih penyebaran konten privat.
Sextortion, kata Reinhard, menargetkan kalangan remaja hingga dewasa. Ia pun mengatakan bahwa kejahatan siber itu bagaikan fenomena gunung es. Artinya, jumlah korban lebih banyak dibanding laporan yang diterima oleh kepolisian.
Tindak kejahatan siber itu cukup jarang dilaporkan karena korban merasa malu. Tak jarang pula korban yang datang ke kantor polisi, tapi tidak tahu siapa yang memeras mereka lantaran sang pelaku menggunakan identitas palsu dan tidak diketahui keberadaannya.