Dicokoknya eks Presiden Bartomeu dan kompatriotnya dalam skandal Barcagate mengungkapkan bahwa Barcelona tengah berada pada sisi terendahnya. Apalagi, kini mereka masih harus bertanding melawan krisis prestasi dan ancaman pailit.
Siapa sangka, klub bergelimang prestasi selevel Barcelona tidak berdaya melawan gempuran virus korona. Tim kebanggan rakyat Catalan tersebut menutup musim 2019/20 dengan kerugian mencapai 97 juta euro–terbesar sejak kelahiran klub pada 1899 silam.
Kerugian itu "diduga kuat" bukan hanya atas campur tangan pandemi Covid-19, melainkan juga atas andil sang mantan presiden, Josep Maria Bartomeu. Dirinya dianggap gagal dalam menjalankan roda perekonomian klub. Selain itu, beberapa kebijakan yang ia putuskan pun terbukti menjadi blunder.
Alhasil, aktivitas Barca di bursa transfer nyaris lumpuh. Beberapa pemain incaran mereka sampai detik ini hanya menjadi angan-angan belaka. Ironisnya, mereka harus mengalami paceklik gelar selama beberapa musim terakhir.
Kondisi itu semakin diperburuk dengan kealpaan manajemen dalam membayar gaji para pemainya. Messi cs harus rela mengencangkan ikat pinggangnya demi menyelamatkan kondisi finansial klub.
Penderitaan klub berbasis di Catalunya itu semakin paripurna usai merebaknya sebuah hasil investigasi bahwa Bartomeu melibatkan I3 Ventures untuk "meneror" para pemainnya sendiri. Imbasnya, sang superstar, Lionel Andres Messi, sempat mengancam angkat kaki dari Camp Nou. Sejak saat itu situasi klub makin kacau.
"Tidak mengagetkan jika klub ingin menempatkan kami di bawah pantauan semua pihak; dan mencoba untuk menekan pemain hanya demi melakukan sesuatu yang selalu kami lakukan," ujar Messi dalam akun Instagram-nya.
Ketika konflik Bartomeu versus pemain belum juga mereda, enam direktur Barca memutuskan untuk "eksodus" secara serempak. Ironisnya, dua dari mereka bahkan menjabat sebagai wakil presiden, Emili Rousaud dan Enrique Tombas.Â
Keputusan mundur itu didasarkan pada langkah manajemen Barca yang mereka nilai amat buruk dalam mengelola krisis, baik yang merujuk pada keterlibatam I3 Ventures maupun tentang penanganan manajemen dalam menghadapi pandemi.
Bartomeu seolah-olah hanya menjadi perpanjangan tangan bekas Presiden terdahulu, yakni Sandro Rossel, yang juga gagal dalam mengurus klub.
Puncaknya, Bartomeu ditangkap polisi pada Senin (1/3/2021) waktu setempat, yang berkaitan dengan keterlibatan pria berusia 58 tahun tersebut dalam skandal Barcagate.
Mundo Deportivo, mengabarkan bahwa CEO Barca, Oscar Grau, dan kepala legal, Roman Gomez, serta Jaume Masferrer pun turut dicokok. Mereka ditahan oleh kepolisian Catalan setelah menggeledah kantor klub.
#Skandal Barcagate
Pada masa rezim Bartomeu, Barcelona seperti tengah merangkak menuju titik kehancuran. Era emas Blaugrana pun perlahan mundur teratur hingga benar-benar tenggelam.
Sepanjang musim 2019/20, dari aspek olahraga, Barca kerap menelan sederet hasil buruk di Liga Champions. Pasalnya, dalam dua musim terakhir, Blaugrana selalu tersingkir di babak gugur meski kerap unggul telak pada leg pertama.
Di luar aspek olahraga, Barcelona pun dibayangi mimpi buruk lainnya. Pada 17 Februari 2020 lalu, muncul laporan dari Cadena SER bahwa Barca di bawah rezim Bartomeu membayar perusahaan buzzer I3 Ventures.
Ada total enam akun Facebook yang dipakai, yaitu Mes que un club (66.000 pengikut), Respeto y Deporte (56.000), Alter Sports (27.000), Sport Leaks (21.000), Justicia y Diálogo en el Deporte (8.500) serta Jaume, un film de terror (5.000).
Mereka bertugas dalam mengelola akun Facebook yang mempunyai misi utama memoles citra Bartomeu yang berambisi mengisi kursi presiden pada 2021.
Bartomeu dicurigai menggunakan uang klub dalam membiayai jasa I3 Ventures. Menurut Cadena SER, total bujet Barca yang ditilap sebesar 1 juta euro (Rp17,2 miliar). Nominal itu disebut-sebut 600 persen lebih tinggi dari kontrak normal.
Agar skandal dan penggelapan uang itu tidak terendus tim audit klub, menurut Cadena SER, pembayarannya dibagi ke dalam enam kontrak yang lebih kecil senilai kurang dari 200 ribu euro.
Akun-akun buzzer tersebut tak hanya digunakan sebagai propaganda untuk menaikkan popularitas Bartomeu dan pejabat klub, tetapi juga dipakai untuk merusak nama baik pemain dan mantan penggawa Barcelona yang berbeda sikap dengan sang presiden.
Mereka yang pernah diserang; Lionel Messi, Gerard Pique, Guardiola, Carles Puyol, dan Xavi. Selain itu, nama-nama seperti Laporta, Victor Font, dan Agustu Benedito pun menjadi target kampanye negatif I3 Ventures. Ketiganya adalah kandidat presiden klub dalam pemilihan 7 Maret mendatang.
Laporan itu kemudian langsung dibantah oleh Bartomeu dan jajaran manajemen klub. Sejurus kemudian, bantahan yang sama juga dilayangkan oleh I3 Ventures.
"Barca menyangkal adanya hubungan kontrak jasa yang terkait dengan akun media sosial yang telah memberitakan pesan negatif atau menghina yang terkait dengan orang, entitas, atau organisasi yang mungkin atau pernah berhubungan dengan klub ini." tulis Barca.
Tak lama berselang, baik Barca maupun I3 Ventures sama-sama mengancam hendak mempidanakan dua jurnalis Ser Catalunya yang mengungkap skandal itu, Adria Soldevila dan Sergi Escudero.
Sejatinya skandal Barcagate semakin menambah penderitaan klub yang mengalami krisis finansial sejak awal 2020. Sampai awal Januari 2021 lalu, total utang Barcelona meledak hingga mencapai 1.173 juta euro atau setara Rp20 triliun.
Bartomeu mundur sebagai presiden pada Oktober 2020, meninggalkan warisan masalah plus utang yang menggunung. Terakhir ia ditangkap bersama sejumlah orang lainnya karena skandal tersebut.
#Bahaya Buzzer bagi Pesepak Bola
Selain memoles citra baik tuannya (mitra) dalam memuluskan agenda mereka, buzzer I3 Ventures juga memiliki mandat guna menyudutkan pribadi para penggawa Barcelona.
Buzzer yang bertugas "menyerang" para pemain sejatinya memiliki dampak yang sama buruknya dengan kasus rasisme yang sering dialami para pesepak bola.
Sama halnya rasialisme, serangan secara verbal terhadap pemain akan berimbas pada kesehatan fisik dan mental mereka. Jika mereka tidak mampu mengatasi tekanan tersebut, dapat berpengaruh bagi performa mereka di atas lapangan.
Para pemain akan merasa kehidupan pribadi mereka terus diawasi. Jika hal itu belanjut, mereka tidak akan betah untuk bertahan di klub lebih lama lagi.
Dampak buruk buzzer bisa kita saksikan, bagaimana Messi cs mengalami penurunan performa dalam beberapa musim terakhir. Ia bahkan mengancam cabut dari klub karena masifnya tekanan buzzer yang ditujukan kepadanya–selain masalah dalam hal manajerial tentu saja.
Narasi yang mendiskreditkan kehidupan pribadi pemain pun bisa menjalar hingga ke ruang ganti. Konsentrasi pemain yang harusnya tertuju pada permainan justru terganggu dan teralihkan oleh hal-hal di luar konteks taktik dan strategi.
Skandal tersebut juga akan menggerus kepercayaan para pemain seperti yang pernah ditunjukkan Messi dan Pique. Mereka sempat menuntut klarifikasi dari manajemen terkait kebenaran Barcagate.
Walhasil, meski klub telah menepis tudingan tersebut, mereka masih dihantui kecurigaan. Pasalnya, hasil investigasi jurnalis terhadap akun-akun buzzer yang berafiliasi dengan I3 Ventures sangat meyakinkan.
Oleh karena itu, dampak logis yang timbul adalah keharmonisan antara skuat dan pejabat klub pun terganggu. Selanjutnya bisa ditebak, perpecahan dalam tubuh Barca pun (sudah) terjadi.
Barcagate menjadi potret kelam dalam dunia sepak bola bahwa pemain yang seharusnya dilindungi oleh manajamen klub, justru diteror. Padahal, selama ini mereka sudah mengerahkan jiwa dan raganya untuk mempersembahkan trofi bagi klub. Skandal yang seyogyanya dihindari oleh klub manapun.
Semua warisan emas Johan Cruyff saat ini telah musnah. Upaya Ronald Koeman mengkonstruksi ulang Barca juga akan semakin sulit lantaran fondasi tim yang telah dibangun sejak 1988 lalu mengalami kehancuran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H