Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Inferiority Complex, Kala Pribumi Merasa Inferior di Hadapan Warga Negara Asing

19 Januari 2021   16:11 Diperbarui: 22 Januari 2021   01:31 2120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi rakyat Indonesia di zaman penjajahan Belanda. | Republica.com

Menurut berbagai sumber, bule atau bulai berasal dari kata "boulevard". Istilah itu digunakan oleh bangsa asing pada zaman penjajahan untuk mempermudah mereka dalam berkomunikasi dengan sesamanya. Mereka mengadopsi sebutan bule yang merujuk pada orang-orang berkulit putih Eropa yang kala itu tinggal di area-area boulevard di seluruh penjuru Nusantara.

Seorang analis Asia Tenggara asal AS, Tom Pepinsky, mengatakan bahwa kata "bule" mempunyai makna yang mirip dengan "whitey" dalam bahasa Inggris. Dalam konteks ke-Indonesia-an, label bule tidak mengandung unsur hinaan serta diskriminasi. Di dalamnya justru terselip unsur pengagungan.

Tidak hanya di Indonesia, penyematan label bule juga bisa dideteksi di negara-negara Asia lain, mulai dari gwai loh di Hong Kong, ang mo di Singapura, mat salleh di Malaysia, dan farang di Thailand.

Dalam KBBI kata bulai bermakna "putih seluruh tubuh dan rambutnya karena kekurangan pigmen; balar" meski dalam praktiknya, warga asing kulit hitam juga kerap dipanggil dengan sebutan bule.

Terminologi bule baru digunakan untuk menyebut warga negara asing berkulit putih pada sekira tahun 1960-an. Dapat dikatakan bahwa label bule yang selama ini kita kenal merupakan bentuk lain dari status "tuan", alih-alih panggilan rasis atau diskriminatif.

Penyematan "tuan" sendiri merupakan terminologi yang sangat erat kaitannya dengan era kolonialisme di Indonesia. Penyematan status itu menjadi bentuk justifikasi perbudakan terhadap pribumi. Mereka memaksa kita menerima status "jongos" selama berabad-abad lamanya.

Faktanya, meski dengan kemasan yang berbeda, kita masih saja bangga dengan status tersebut. Kebanggaan itu tampak dari kebiasaan kita yang kerap bersikap kelewat berlebihan ketika bertemu atau berinteraksi dengan warga negara asing–khususnya ras Kaukasian.

Sikap "ramah" yang berlebihan terhadap orang asing tidak terlepas dari pengaruh imperialisme serta kolonialisme yang cukup lama tertanam di benak pribumi.

Pria WNI berselfie bersama bule. | Hipwee.com
Pria WNI berselfie bersama bule. | Hipwee.com
Harus diakui, kita masih merasa lebih antusias kala berinteraksi atau sekedar mengajak selfie bersama bule. Setelah itu, dengan bangga kita memamerkan hasil foto tersebut di media sosial.

Tragisnya lagi, bukan bule yang merasa superior, tetapi justru kita yang merasa inferior. Mendiskreditkan eksistensi bule di Indonesia tentu bukanlah sikap yang tepat karena mental inferiority complex ada pada diri kita sendiri, bukan mereka.

Namun, dalam konteks prilaku Kristen Gray yang baru-baru ini viral, apa yang dilakukan oleh netizen Tanah Air sudah sangat tepat. Di luar fenomena itu, kita perlu berkaca kembali, sampai kapan mental inferior itu kita pertahankan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun