Walau sudah 75 tahun merdeka, masih ada "goresan luka" yang belum sembuh benar dalam diri warga +62, yaitu mental inferior.
Baru saja lima bulan yang lalu Indonesia merayakan status kemerdekaannya yang ke-75. Dengan kata lain, tujuh puluh lima tahun sudah negeri ini menghirup udara kebebasan dari cekikan bangsa kolonial.Â
Tiga setengah abad bukanlah masa yang singkat. Selama itu pula bangsa Belanda menjajah negeri kita dengan mengeruk habis-habisan kekayaan alam Nusantara melalui penindasan dan perbudakan.
Masyarakat lokal dipaksa menjadi jongos melalui sistem kerja paksa. Kakek-nenek kita berdarah-darah untuk memuaskan hasrat serakah kaum penjajah. Hak-hak dasar mereka dicerabut sampai ke akar-akarnya. Mereka hidup di titik terendah.
Mereka berhasil menancapkan standar kebenaran tunggal guna menjustifikasi penjajahan. Mereka juga melenyapkan primordialisme dan nilai budaya lokal. Kakek-nenek kita dipandang tak lebih dari manusia terbelakang–yang pantas lenyap oleh mekanisme seleksi alam.
Jika dulu penjajahan dilakukan dengan penaklukan serta perampasan sumber daya alam, di era modern kolonialisme berevolusi menjadi penjajahan secara sosial-budaya, ekonomi, dan ideologi yang lebih bersifat tidak kasat mata.
Globalisasi, misalnya, tak hanya dinilai sebagai agenda yang bermaksud untuk menciptakan ketergantungan ekonomi kepada Barat, tetapi juga sebagai celah infiltrasi budaya asing terhadap kultur Timur, khususnya Indonesia.
Secara fisik mungkin kita sudah sangat layak untuk merebut status "merdeka" meski secara pemikiran belum seirama. Masa-masa kelam era penjajahan telah menggoreskan "luka" yang diwariskan kepada generasi penerus bangsa yang belum benar-benar sembuh hingga kini.
Diakui atau tidak, bangsa kolonial amat lihai dalam membangun diskursus yang stigmatik dan ideologis sehingga bangsa koloni mereka secara tidak sadar justru menempatkan posisinya yang tertindas secara taken for granted (legowo).