Akibat rasa malas yang terlalu tinggi dan keinginan berlebih untuk rebahan pula, saya dapat memproduksi lebih dari 100 artikel bagi Kompasiana sejak pandemi Covid-19 melanda, bahkan sampai detik ini. Mendapatkan label "Artikel Utama", bagi saya, sudah cukup untuk mengurai stres sebagai susbtitusi liburan.
Dan, lagi-lagi, atas jasa kemalasan yang membabi-buta pula, saya tidak berisiko menularkan penyakit atau menjadi agen penyebaran virus korona pada ekosistem yang saya tinggali selama ini.
Menjadi pemalas merupakan mekanisme "sederhana" saya untuk tetap bertahan hidup di tengah pandemi Covid-19.
Rasa malas saya tidak merugikan orang lain. Pun tidak membebani negara. Justru beberapa dari mereka yang kini tengah terbaring lemah dalam ruang perawatan dengan ventilator menempel di hidung adalah manusia yang terlampau "rajin" dalam menjalani kehidupan.
Mereka yang enggan mematuhi protokol kesehatan yang kini tengah membebani anggaran dan peradaban. Kemampuan mereka dalam beradaptasi bahkan tidak lebih baik dibanding spesies Neanderthal.
Justru organisme yang terlampau "rajin" untuk keluar rumah meski aktivitas yang dilakukan tak terlalu penting, yang kini menjadi ancaman paling berbahaya bagi peradaban umat manusia.
Biarkan rasa malas itu bersatu dengan jiwa dan ragamu untuk kali ini saja atau setidaknya selama pandemi virus korona masih melanda. Bersikaplah seolah-olah dirimu spesies Neanderthal yang sedang berhibernasi di dalam goa-goa batu.
Sebagai seorang pemalas, saya bangga! Kalau memang dirimu itu tidak sanggup melakukan apa-apa untuk membantu meredam pandemi Covid-19, setidaknya jadilah pemalas mulai saat ini juga!
Ya, jadilah pemalas detik ini juga!
Catatan: artikel ini tidak berlaku untuk mereka yang berada di garda depan dan mereka yang terpaksa harus berjibaku di jalanan untuk bertahan hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H