Maraknya perlawanan dan pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan oleh spesies kita di luar sana, mungkin saja berakar dari dicabutnya zona nyaman dan belum seimbangnya laku adaptasi.
Perlu dicatat, mekanisme bertahan hidup tidak selamanya berhubungan dengan sifat rajin sebagaimana penuturan para ilmuwan dari hasil sejumlah penelitian dan bukti-bukti yang mereka temukan.
Semua teori yang berkaitan dengan rasa malas dan kelambanan yang dicetuskan oleh ilmuwan menjadi sangat relevan jika diterapkan dalam situasi pandemi yang tidak kunjung usai seperti sekarang ini.
Meskipun selalu dikaitkan dengan hal-hal negatif, sebetulnya, rasa malas juga memberikan keuntungan bagi kita. Telah banyak penemuan-penemuan penting dalam sejarah peradaban umat manusia yang berawal dari rasa malas.
Misalnya, penemuan kendaraan bermotor untuk mengakomodasi 'hasrat malas' manusia dalam berjalan kaki. Atau, telepon yang ditemukan oleh karena rasa malas untuk berjalan dan menyapa tetangga.
Atas jasa rasa malas yang tinggi hingga detik ini saya masih mampu bertahan hidup. Mungkin hal itu terkesan sangat absurd, tetapi begitulah faktanya.
Bagi pemalas seperti saya, perjalanan ke warung kopi merupakan pekerjaan yang cukup berat, terlebih di tengah pandemi. Berawal dari alasan konyol itu akhirnya saya mengurungkan hasrat untuk keluar rumah, lantas memilih untuk menyeduh kopi sendiri.
Akibat rasa malas pula yang membuat saya urung nongkrong dengan teman-teman di luar dan lebih memilih untuk memaksimalkan berbagai media sosial guna tetap terhubung dengan mereka. Usai kerja pun langsung pulang ke goa.
Kemalasan saya bahkan dapat meredam rasa cemas serta khawatir terpapar virus. Pasalnya, seorang pemalas akan selalu memiliki cara guna "menyederhanakan" setiap masalah yang dihadapi.
Sebagai organisme yang memang malas untuk keluar rumah, pemberlakuan PSBB atau lockdown tidak akan pernah menjadi masalah serius. Kebijakan itu tidak akan mampu membuat mereka tersiksa atau merana sekalipun hanya menghabiskan waktu untuk rebahan saja di rumah.