Rasa malas sering kali dikaitkan dengan hal negatif. Akan tetapi, dengan menjadi pemalas, dapat membantu manusia untuk tetap bertahan hidup di kala pandemi.
Banyak orang yang salah mengira bahwa "Survival of the Fittest" merupakan teori yang berkaitan dengan organisme paling kuat yang akan berhasil bertahan hidup.
Konsep tersebut melahirkan anggapan yang tidak sepenuhnya bisa dibenarkan mengenai mekanisme bertahan hidup. Misalnya, buaya yang memangsa rusa melalui kisah perburuan yang teramat dramatis. Oleh karena buaya lebih kuat dalam sistem rantai makanan tersebut, maka dialah yang bisa bertahan hidup.
Kata "fittest" dalam hal ini tidak selalu berkorelasi dengan individu atau spesies terkuat. Jadi, bukan makhluk paling kuat yang selalu mampu bertahan hidup.
Bahkan, spesies paling malas dan lamban sekalipun dapat menjadi penyintas paling sukses di alam. Hasil penelitian teranyar menemukan bahwa semakin rendah level metabolisme suatu organisme, semakin besar pula peluang mereka mampu lolos dalam seleksi alam. Hal itu terlihat dalam proses evolusi hewan dari filum mollusca seperti siput, keong, dan gurita.
Selama jutaan tahun hewan ras mollusca menjadikan rasa malas dan kelambanan sebagai sebuah mekanisme dan strategi dalam melestarikan spesiesnya.
"Alih-alih Survival of the Fittest, mungkin terminologi yang lebih baik untuk sejarah kehidupan adalah 'Survival of the laziest' atau setidaknya 'survival of the lambly'." ujar Bruce Lieberman, profesor ekologi dan biologi evolusi Universitas Kansas, seperti dikutip dari The Washington Post.
Menurut laporan Express (23/12/2020), Neanderthal pernah menghadapi suhu dingin yang ekstrem pada 400 ribu tahun silam, dengan rebahan dalam waktu yang sangat panjang selama musim dingin.