Sejak bertemu Google, ia selalu menjadi tempat bertanya. Kita sudah terlalu lama dimanjakan olehnya. Tatkala dirinya pergi, kita mendadak lupa. Mati gaya.
Taruhlah ketika kamu sedang membaca artikel dan menemukan kata-kata yang tidak dikenal. Alih-alih berpikir sangat keras untuk mengetahui artinya, kamu akhirnya memutuskan untuk mamakai Google untuk mencari tahu definisinya.
Beberapa hari kemudian, kamu kembali menemukan kata-kata itu, tetapi kamu tak mampu mengingat artinya. Lantas, kamu akan kembali mencarinya dalam sumber informasi andalanmu tersebut.
Situasi itu terus berulang sehingga kamu merasa tak perlu lagi susah-susah untuk mengingat kosa kata yang idealnya cukup mudah diingat. Kamu selalu merasa ada Google yang bisa dijadikan tempat untuk berkeluh-kesah setiap kali kamu lupa.
Kamu terus dimanjakan olehnya. Seiring waktu, kamu akan semakin terlena. Kali ini bukan cuman ragam frasa saja yang menjadi alasan kamu memakai Google. Setiap saat kamu menemukan kuldesak, dialah yang menjadi jalan keluarnya.
Siklus itu akhirnya membuat otak kamu menjadi sangat manja. Frasa-frasa yang seharusnya cukup mudah diingat, kamu lupakan begitu saja setelah kamu selesai menggunakannya. Kamu merasa sudah bersahabat baik dengan dirinya. Tatkala dirimu tidak dapat bertemu dengannya, kamu seketika kebingungan. Gregetan.
Situasi yang kamu alami itu dinamakan "Google Effect", yakni kecenderungan untuk melupakan informasi yang dapat ditemukan dengan mudah secara online, terutama dengan menggunakan mesin pencari situsweb seperti Google.Â
Fenomena psikologis itu membuat kamu tak perlu bekerja keras untuk menyimpan informasi di otak. Pasalnya, kamu sadar betul bahwa informasi itu sangat mudah diakses secara daring.
Jadi, kamu tak harus membuang-buang tenaga cuman untuk mengingat hal-hal yang dapat dengan mudah dicari melalui jaringan internet dan smarthpone dalam jangkauan tanganmu. Sumber informasi kamu cuman berjarak tak lebih dari satu klik. Faktanya, manusia cenderung lebih menggandrungi hal-hal yang mudah dan instan yang bisa memicu ketergantungan berlebih terhadap mesin peramban.
Lahirnya mesin pencari internet seperti Google, mengubah cara otak kita dalam mengingat informasi, menurut hasil riset psikolog dari Universitas Columbia, Betsy Sparrow, yang dirilis di jurnal Science.
Kemudahan untuk mengakses informasi melalui jaringan internet telah membuat kemampuan mengingat generasi muda di Amerika Serikat menurun. Tak menutup kemungkinan, fenomena yang sama juga dirasakan generasi penerus bangsa +62.
Pengalaman senada juga dialami sendiri oleh penulis. Betapa sulitnya mengingat informasi yang baru saja didapatkan dari Google. Pada suatu pagi, ia menemukan frasa yang sangat asing ketika membaca artikel. Dia memutuskan untuk mencari definisinya melalui Google karena lebih praktis sekaligus bisa menjamin jawaban yang lebih sahih dan dapat dipercaya.
Sore harinya, bahkan masih dalam hari yang sama, otaknya yang bebal itu telah melupakan artinya lantaran dia merasa bisa mengakses informasi itu kembali di gawai dalam genggaman tangannya.
Siklus tersebut terus berulang sehingga membuat otaknya yang lelet tidak dapat tertolong lagi. Ia selalu merasa kesulitan saat mencerna istilah-istilah baru tanpa bantuan Google.
Sistem kinerja otaknya yang manja itu membuat dirinya acapkali tak lebih dari sekedar remahan rengginang kala tidak mendapatkan koneksi ke internet untuk membuka Google. Mengerikan, bukan?
Dahulu, otak kita menyimpan informasi yang ingin kita ingat. Sekarang, kita tidak lagi mengingat hal tersebut. Akan tetapi, uniknya, kita mudah mengingat di mana hal tersebut disimpan, yakni di internet lagi-lagi melalui bantuan Google.
Mengapa kita mengalami Google Effect?
Pertama, sejatinya kita lebih baik dalam mengingat di mana informasi disimpan dibanding dengan mengingat informasi itu sendiri. Lewat mesin peramban, kita memperoleh akses yang jauh lebih baik terhadap berbagai informasi dibanding harus menghafalkannya.
Kedua, mengandalkan mesin peramban lebih mudah, cepat, dan efisien daripada menggunakan memori otak kita sendiri. Kita dapat menghemat energi kita untuk keperluan lain yang lebih penting.
"Google Effect" terjadi karena otak kita tidak memprioritaskan untuk mengingat informasi yang nantinya dapat kita akses. Meski bisa menjadi pertanda efektivitas kinerja otak, hal itu mampu menciptakan ketergantungan pada teknologi yang bisa berdampak negatif pada kecerdasan kita.
Setiap hari, otak kita menemukan banyak informasi baru. Sulit bagi manusia untuk menyimpan seluruh informasi itu dalam ingatan. Oleh karena itu, kita harus lebih memprioritaskan informasi apa yang kita pilih untuk diingat.
Dampak dari fenomena "Google Effect" adalah informasi yang telah didapatkan lazimnya akan segera kita lupakan begitu selesai menggunakannya, seperti halnya pengalaman yang dirasakan oleh penulis.
Itulah yang menjelaskan mengapa kita masih dapat mengingat kata-kata yang kita hafal semasa kecil. Akan tetapi, kita lebih sulit mengingat frasa-frasa baru sajak kita terlena dalam pelukan Google.
Google bahkan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Akan selalu saja ada aktivitas yang melibatkan Google, mulai dari mencari definisi kata, berburu berita dan sumber menulis, ide memasak, hingga cara cepat untuk mengeringkan celana dalam yang basah akibat kehujanan.
Saking krusialnya, bahkan Google pun telah diserap sebagai kata kerja dalam Oxford English Dictionary pada tahun 2006. Tak lama berselang, kamus versi lain pun mengikuti langkah serupa.
Google ialah mesin yang bisa digunakan untuk mencari informasi di lebih dari 1,9 miliar situs di jagat maya dan digunakan oleh lebih dari 90% pengguna internet.
Layaknya candu, Google selalu memaksa kita untuk terus-menerus terlarut dalam dekap manjanya. Meskipun cukup jarang menyebut angka, Google membeberkan bahwa mereka sudah memproses sekitar 1,2 triliun pencarian dalam setahun, atau sekira 3,5 miliar per hari di seluruh dunia pada tahun 2012 silam.
Celoteh Jan mendeskripsikan bagaimana proses pencarian informasi di era kiwari, dan bagaimana Google mulai menggeser peran buku (dalam bentuk fisik) sebagai pusat informasi mengenai peradaban.
Bagi generasi "digital natives", aktivitas penelitian pada dasarnya identik dengan melakukan pencarian di Google, alih-alih membaca atau belajar di perpustakaan.
Entitas pendidikan semakin bergantung pada metode internet untuk siswa dalam mengakses materi dan melakukan riset. Imbasnya, mereka akan semakin sedikit mengingat hal-hal yang telah dipelajari.
Karena kesulitan mengingat informasi, kita harus memakai Internet lagi yang menyebabkan siklus ketergantung pada dunia digital terus berputar.
Kecenderungan dalam mengandalkan internet untuk menggali informasi dapat menimbulkan masalah. Kita yang sudah mulai terbiasa dimanjakan Google guna keperluan belajar ketimbang membaca buku, menjadi kebingungan saat tengah menjalani repetisi. Membaca buku jelas memberikan pemahaman yang lebih baik dan mampu bertahan lebih lama di otak.
Dominasi mesin peramban buatan Larry Page itu akhirnya mengubah kebiasaan penggunanya di seluruh dunia. Bahkan, hampir di seluruh aspek kehidupan kita tak bisa lepas dari pelukan "mesin yang tahu segalanya" tersebut.
Cara paling mudah untuk menghindari "Google Effect", yakni dengan mencari alternatif sumber lain untuk mendapat informasi. Namun, hal itu biasanya akan menyita lebih banyak waktu dan tenaga.
Sebagai opsi, kita bisa membuat catatan tulisan tangan atau menyisihkan waktu beberapa menit sebelum mencari suatu informasi. Alih-alih langsung bertanya kepada Google, kita perlu mengaktifkan otak untuk mengingatnya terlebih dulu karena mungkin saja informasi tersebut telah kita baca sebelumnya.
Biar bagaimana pun, teknologi itu netral. Manusia lah yang kerap kali kurang bijak kala menggunakannya. Kehadiran Google membuat diri kita semakin sadar bahwa kemampuan otak manusia juga terbatas.
Agaknya, cukup sulit juga, ya, kalau kita harus mencari literaturnya terlebih dulu di perpustakaan atau di toko buku ketika ingin menulis di Kompasiana.
Ya, Google sudah terlanjur membuat kita nyaman. Jika sudah nyaman, lantas lahir rasa sayang yang amat dalam. Jika sudah begitu, pasti sakit saat ditinggalkan. Duh!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H