Kondisi dan kemampuan ekonomi yang kian sulit membuat mereka mengambil peran yang sering dinilai "tidak pantas". Mereka rela dipandang rendah di mata masyarakat. Demi sesuap nasi, mereka juga kerap direndahkan oleh pelanggan.
Maraknya warkop pangku di sejumlah daerah mengungkap potret rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat yang terlibat, terutama pramusaji. Desakan finansial membuat Kaum Hawa tidak memiliki pilihan. Minimnya lapangan pekerjaan memaksa mereka menjadi seorang pramusaji meski terasa pahit.
3. Pendidikan
Mayoritas pramusaji berada di rentang usia sekolah, yakni setingkat SMP atau SMA. Beberapa di antara mereka belum rampung menyelesaikan pendidikan di bangku SMA akibat desakan ekonomi.
Dengan tingkat pendidikan yang rendah, mereka akan kesulitan bersaing dalam dalam dunia kerja. Menjadi pelayan di Warkop Pangku menjadi pilihan paling mungkin dan mudah bagi mereka.
Rendahnya tingkat pendidikan memaksa mereka untuk menerima pekerjaan apa saja guna bertahan hidup ataupun untuk membantu perekonomian keluarga.
Penyediaan lapangan pekerjaan baru dan juga peningkatan kuantitas serta kualitas pendidikan masih menjadi pekerja rumah yang besar bagi pemerintah untuk segera dioptimalkan guna menghalau generasi bangsa dari rangkulan aktivitas malam.
Selama ini penutupan warkop pangku belum mampu menjawab permasalahan dalam masyarakat. Hal itu terbukti dari dibukanya kembali warkop pangku yang sama di tempat lain pasca penutupan.
Adanya pendekatan yang lebih humanis akan jauh lebih efektif. Taruhlah seperti yang dilakukan eks Walikota Surabaya, Tri Rismaharini (Risma), kala menutup kompleks esek-esek terbesar di seluruh Asia Tenggara, Dolly.
Selain menerapkan rehabilitasi, Risma juga memberikan bekal keahlian kerja serta jaminan biaya hidup bagi mantan pekerja seks komersial. Memberikan dukungan secara psikologis juga sangat krusial agar mereka dapat terintegrasi kembali dalam masyarakat dan hal itu menjadi tanggung jawab kita bersama.