Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama FEATURED

Soto Lamongan, Kuliner Hasil Kawin Silang Ayam, Telur, dan Budaya

16 Desember 2020   19:18 Diperbarui: 28 April 2022   05:43 10814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soto Ayam Lamongan hasil olahan ibu kami. | Dokpri

Mana yang lebih dulu, ayam atau telur? Dalam pekat dan gurihnya kaldu Soto Lamongan, keduanya melesap mesra di mangkuk yang sama. Tiada saling mendahului.

Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem lan rahardjo. Begitu orang-orang Majapahit kala itu menyebut alam Nusantara yang mendeskripsikan betapa subur bentang daratan negeri yang sangat kita cintai.

Apapun tanaman yang dihempaskan di Bumi Pertiwi akan selalu tumbuh subur, baik itu berupa bahan makanan pokok, tanaman jamu dan obat, buah-buahan, kayu-kayuan, maupun rempah-rempah.

Saat itu kekayaan alam Nusantara dapat menjamin kebutuhan makanan seluruh penghuninya. Namun, kekayaan alam itu pula yang akhirnya menyeret Indonesia ke dalam jurang kolonialisme.

Era kelam tersebut berawal dari ambisi untuk menguasai perdagangan rempah-rempah Indonesia yang melimpah oleh orang-orang Eropa. Monopoli itu yang lantas menjadi pemicu atas dimulainya penjajahan dan kependudukan daerah-daerah penghasil rempah-rempah yang kala itu harganya nyaris setara emas.

Terlepas dari jejak kelam kolonialisme, sebagai warga negara Indonesia kita patut bangga karena atas jasa rempah-rempah negeri kita dikenal dunia.

Kedatangan negara-negara penjajah dan saudagar asing tak selamanya membawa pengaruh buruk. Asimilasi budaya telah melahirkan kudapan bercita rasa tinggi tanpa menihilkan identitas dan warisan budaya hasil karya nenek moyang kita.

Bermula dari racikan bumbu yang sarat akan rempah, banyak makanan autentik Indonesia yang tercipta. Adanya interaksi perdagangan dengan bangsa-bangsa lain melahirkan persilangan budaya kuliner yang semakin memperkaya mahakarya dan cita rasa kudapan khas Nusantara.

Ada banyak jenis kuliner Indonesia yang terkenal tidak hanya di kalangan dalam negeri, melainkan juga di mancanegara. Salah satunya adalah olahan soto, yang disebut mirip sup oleh orang Barat.

Soto merupakan salah satu jenis kuliner populer Nusantara yang memiliki banyak varian di masing-masing daerah. Di balik kaldunya yang pekat nan gurih, ternyata Soto bukan kudapan asli Indonesia.

Sebuah riset berjudul "Menyantap Soto Melacak Jao To Merekonstruksi (Ulang) Jejak Hibriditas Budaya Kuliner Cina dan Jawa" terbitan tahun 2013, menemukan bahwa soto sejatinya berasal dari Negeri Tirai Bambu.

Soto Lamongan, ayam, telur, dan budaya. | Tirto.id
Soto Lamongan, ayam, telur, dan budaya. | Tirto.id
Terminologi "soto" merujuk pada salah satu ragam kuliner Tiongkok yang dalam dialek Hokkian disebut cau do, jao to, atau chau tu, artinya kudapan jeroan dengan rempah-rempah.

Di Indonesia, soto pertama kali dideteksi di pesisir pantai utara Jawa pada abad ke-19. Olahan itu memiliki ciri khas adanya kuah dengan potongan beraneka ragam daging atau jeroan.

Selain itu, jejak asimilasinya juga dapat diidentifikasi melalui adanya mi ataupun bihun, taburan bawang putih goreng, dan penyajian memakai sendok bebek serta mangkuk yang lazimnya dipakai sebagai bahan dan alat makan sup di Cina. 

Asumsi itu lantas diperkuat oleh Denys Lombard dalam bukunya yang bertajuk "Nusa Jawa II: Silang Budaya Jaringan Asia, 1996". Menurut catatan Lombard, imigran dari Cina sudah banyak terlibat dalam kegiatan produksi di pesisir pulau Jawa sejak abad ke-18, yang mana salah satunya dengan membuka rumah makan.

Berdasarkan catatan kolonial, peradaban pesisir utara Pulau Jawa menjadi melting-pot (asimilasi) sejumlah etnis yang hidup di dalam arus perdagangan seperti Cina, Arab, India, Eropa, dan Jawa.

Mulai dari Kudus menuju barat hingga ke Semarang, Pemalang, dan seterusnya ke arah timur hingga ke Lamongan, Madura, dan Surabaya, soto menemani lidah para pelancong dan pedagang yang sekedar lewat atau menetap di sepanjang pesisir.

Selain mendirikan rumah makan, warga keturunan Cina juga tidak jarang yang berdagang secara keliling menggunakan gerobak atau pikulan.

Ilustrasi pikulan soto zaman dulu. | www.semarang.nl
Ilustrasi pikulan soto zaman dulu. | www.semarang.nl
Cara itulah yang kemudian diadopsi oleh masyarakat Jawa dalam menjajakan soto dengan memakai gerobak atau pikulan yang dipakai hingga hari ini. Saat itu soto disajikan dengan menggunakan mangkuk keramik dan sendok sup (sendok bebek).

Awalnya–sesuai penyajian di Cina–soto selalu memakai daging babi. Namun, oleh karena masyarakat Nusantara ketika itu sudah banyak yang memeluk Islam, maka warga peranakan Cina pun mengakalinya dengan menggunakan daging ayam, sapi, kerbau, atau jeroan.

Sejak saat itu soto mulai digemari lantas menyebar ke seluruh penjuru Indonesia. Dengan pengaruh ragam budaya kuliner Indonesia dan keanekaragaman rempah-rempah, soto memiliki ciri khas masing-masing di setiap daerah.

Kalau dibandingkan dengan rasa nenek moyangnya (Jao To) tentu akan berbeda sebab soto Nusantara telah mengalami modifikasi baik dari segi racikan bumbu maupun selera lidah orang Indonesia.

Ragam olahan soto bisa kita temukan di beberapa daerah di Provinsi Jawa Timur, taruhlah Lamongan. Kabupaten mungil yang terletak 2 jam perjalanan dari Kota Surabaya itu memiliki varian soto khas yang bernama Soto Lamongan.

Pemakaian Ayam Kampung yang disuwir tipis-tipis, taburan koya, dan telur rebus adalah ciri khas utamanya. Penambahan tetelan (tulang ayam) dan ceker semakin menambah kelezatan santapan berkuah kuning yang kaya akan rempah tersebut.

Selain dimakan dengan nasi, ketupat atau lontong juga dapat dimanfaatkan sebagai pendamping Soto Lamongan disesuaikan dengan selera lidah kita.

Lazimnya varian soto itu dijajakan lewat sistem kaki lima tepi jalan atau emperan. Ciri khasnya dapat dilihat dari spanduk yang dipajang di depan lapak. Di lembar kain itu terdapat menu yang disediakan. Justru di lapak-lapak sederhana itu Soto Lamongan yang paling nikmat dijajakan.

Selain di kaki lima, kini tidak jarang pula varian soto tersebut dijumpai di restoran. Soto Lamongan juga mudah dijumpai di seluruh penjuru Indonesia.

Banderolnya pun tak membuat kantong bolong. Kita dapat menikmati kelezatan Soto Lamongan dengan merogoh kocek di kisaran Rp10 ribu hingga Rp25 ribu.

Saking populer dan melegendanya dalam hal rasa, sampai-sampai Soto Lamongan juga diabadikan lewat sebuah varian rasa mi instan produk dalam negeri. Bahkan, nama daerah asalnya pun dijuluki Kota Soto (Lamongan).

Soto Ayam Lamongan Lezat dan Sehat
Bukan Sisca Soewitomo. Bukan Renatta Moeloek. Bukan pula Farah Quinn yang menjadi chef favorit kami, melainkan ibu. Masakan-masakan mereka hanya cantik di mata, tetapi tidak di hati.

Ya, ibu kami ialah chef yang andal. Beliau selalu memasak untuk kami setiap hari. Soto (ayam) Lamongan menjadi kuliner andalannya. Setidaknya tiga atau empat kali dalam sebulan olahan itu menghiasai meja makan kami di rumah.

Pagi-pagi sekali ibu kami pergi ke pasar untuk memastikan bahan-bahan yang dibutuhkan masih dalam keadaan segar. Dipilihnya rempah-rempah yang terbaik. Yang membedakan olahan soto lain dari racikan ibu adalah sentuhan cinta. Ada cinta dalam setiap olahan ibu kami.

Dalam memasak Soto Lamongan tidak diperlukan keahlian khusus. Tak harus menjadi masterchef untuk mengolahnya. Apalagi sudah banyak resep-resep Soto Lamongan yang tersebar di internet.

Bahan yang dibutuhkan untuk membuat sotonya pun sangat mudah dicari di pasar seperti kunyit, lengkuas, seledri, bawang merah, bawang putih, jahe, serai, kemiri, kol, daun jeruk, bihun, telur ayam, serta daging Ayam Kampung.

Untuk resep dan cara memasaknya bisa disimak di video YouTube berikut. Saya pastikan resep dan metode memasaknya sama persis dengan Soto Lamongan ala ibu kami yang telah teruji kelezatannya.

Jika beliau tak sempat mengolah bumbu, biasanya ibu akan membeli bumbu yang sudah siap pakai. Saat ini sudah banyak bumbu soto siap masak tersedia di pasar. Hal itu akan mempermudah siapa saja yang ingin mencicipi kelezatannya tanpa harus bingung saat meracik bumbunya.

Setelah disiram kuah kaldu panas, Soto Lamongan akan ditaburi seledri cincang dan bawang goreng. Lalu, ditaburi bubuk putih keemasan yang disebut koya yang menjadi jimat autentik Soto Lamongan.

Bubuk koya ciri khas Soto Lamongan. | Cookpad.com
Bubuk koya ciri khas Soto Lamongan. | Cookpad.com
Bubuk koya dibuat dari kombinasi antara kerupuk udang goreng dan bawang putih goreng yang dihaluskan, yang berfungsi sebagai penyedap serta pengental kaldu. Saat diaduk, kuah kaldu akan mengental dan menambah rasa gurih. Itu yang bikin orang ketagihan! Kalian wajib coba!

Tetelan ayam kampung dan koya adalah ruh dari kuah Soto Lamongan. Keduanya melebur begitu sempurna yang berpadu dengan telur rebus dan racikan rempah-rempah khas Nusantara. Sentuhan ceker atau jeroan ayam membuatnya semakin syahdu dan paripurna.

Sebagai opsional, kecap asin atau kecap manis juga bisa ditambahkan agar rasa lebih meriah. Supaya semakin lengkap tambahkan sambal cabai merah sebagai aksen pedas yang menyegarkan.

Soto Ayam Lamongan hasil olahan ibu kami. | Dokpri
Soto Ayam Lamongan hasil olahan ibu kami. | Dokpri
Bagi mereka yang tengah menjalani diet ketat atau diet karbo, bihun bisa menjadi solusi pengganti nasi atau lontong tanpa mengurangi kelezatannya. Bihun tidak mengandung lemak. Nilai karbohidratnya juga sangat minim (192 kalori per porsi). 

Sementara untuk mereka yang memiliki masalah kolesterol, tidak perlu khawatir. Soto Lamongan menjadi opsi yang tepat dan lezat sebab varian soto itu memakai daging Ayam Kampung yang mempunyai kandungan lemak lebih rendah dari jenis ayam atau daging lainnya.

Soto Lamongan mamakai daging Ayam Kampung agar saat diiris menyamping (disuwir-suwir), dagingnya tak mudah hancur karena teksturnya lebih padat.

Daging Ayam Kampung terkenal karena rasanya yang lebih gurih ketika diracik menjadi soto. Dagingnya menghasilkan kaldu yang jauh lebih pekat dan umami.

Selain itu, proses peternakannya alami tanpa pakan atau obat-obat kimia yang membuat daging Ayam Kampung jarang sekali menimbulkan alergi dan tentunya lebih ramah bagi kesehatan.

Sentuhan garnish telur rebus selain dapat mempercantik tampilan juga menambah cita rasa. Kombinasinya terasa sempurna di dalam pekatnya kaldu Ayam Kampung.

Apalagi sumber pangan hewani itu juga mengandung protein tinggi. Terdapat segudang manfaat dalam mengonsumsi telur rebus, antara lain meningkatkan metabolisme tubuh, mengurangi risiko penyakit jantung, menjaga kesehatan otak dan mata, serta masih banyak lagi.

Kandungan sebutir telur rebus. | diolah dari Sehatq.com
Kandungan sebutir telur rebus. | diolah dari Sehatq.com

Dengan mengonsumsi Ayam Kampung dan telur, kita juga sekaligus membantu saudara-saudara kita yang terlibat dalam sektor UMKM dan peternakan skala kecil agar mereka mampu bertahan di kondisi ekonomi yang sulit. Sebuah upaya kecil, tetapi sangat berharga dan krusial untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama.

Soto Lamongan adalah cara yang paling elegan serta sehat untuk mengonsumsi ayam dan telur dalam satu olahan yang lezat. Keduanya melesap mesra di dalam mangkuk yang sama. Tunggu apa lagi?

Kuliner Nusantara bukan hanya sekedar pemuas lidah dan pengenyang perut saja, melainkan juga sebuah kebanggaan pada hasil warisan budaya. Menjadi perlu bagi kita untuk melestarikannya.

Food is not rational. Food is culture, habit, craving and identity. – Jonathan Safran

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun