Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama FEATURED

Soto Lamongan, Kuliner Hasil Kawin Silang Ayam, Telur, dan Budaya

16 Desember 2020   19:18 Diperbarui: 28 April 2022   05:43 10814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soto Ayam Lamongan hasil olahan ibu kami. | Dokpri

Daging Ayam Kampung terkenal karena rasanya yang lebih gurih ketika diracik menjadi soto. Dagingnya menghasilkan kaldu yang jauh lebih pekat dan umami.

Selain itu, proses peternakannya alami tanpa pakan atau obat-obat kimia yang membuat daging Ayam Kampung jarang sekali menimbulkan alergi dan tentunya lebih ramah bagi kesehatan.

Sentuhan garnish telur rebus selain dapat mempercantik tampilan juga menambah cita rasa. Kombinasinya terasa sempurna di dalam pekatnya kaldu Ayam Kampung.

Apalagi sumber pangan hewani itu juga mengandung protein tinggi. Terdapat segudang manfaat dalam mengonsumsi telur rebus, antara lain meningkatkan metabolisme tubuh, mengurangi risiko penyakit jantung, menjaga kesehatan otak dan mata, serta masih banyak lagi.

Kandungan sebutir telur rebus. | diolah dari Sehatq.com
Kandungan sebutir telur rebus. | diolah dari Sehatq.com

Dengan mengonsumsi Ayam Kampung dan telur, kita juga sekaligus membantu saudara-saudara kita yang terlibat dalam sektor UMKM dan peternakan skala kecil agar mereka mampu bertahan di kondisi ekonomi yang sulit. Sebuah upaya kecil, tetapi sangat berharga dan krusial untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama.

Soto Lamongan adalah cara yang paling elegan serta sehat untuk mengonsumsi ayam dan telur dalam satu olahan yang lezat. Keduanya melesap mesra di dalam mangkuk yang sama. Tunggu apa lagi?

Kuliner Nusantara bukan hanya sekedar pemuas lidah dan pengenyang perut saja, melainkan juga sebuah kebanggaan pada hasil warisan budaya. Menjadi perlu bagi kita untuk melestarikannya.

Food is not rational. Food is culture, habit, craving and identity. – Jonathan Safran

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun