Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama FEATURED

Soto Lamongan, Kuliner Hasil Kawin Silang Ayam, Telur, dan Budaya

16 Desember 2020   19:18 Diperbarui: 28 April 2022   05:43 10814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pikulan soto zaman dulu. | www.semarang.nl

Sebuah riset berjudul "Menyantap Soto Melacak Jao To Merekonstruksi (Ulang) Jejak Hibriditas Budaya Kuliner Cina dan Jawa" terbitan tahun 2013, menemukan bahwa soto sejatinya berasal dari Negeri Tirai Bambu.

Soto Lamongan, ayam, telur, dan budaya. | Tirto.id
Soto Lamongan, ayam, telur, dan budaya. | Tirto.id
Terminologi "soto" merujuk pada salah satu ragam kuliner Tiongkok yang dalam dialek Hokkian disebut cau do, jao to, atau chau tu, artinya kudapan jeroan dengan rempah-rempah.

Di Indonesia, soto pertama kali dideteksi di pesisir pantai utara Jawa pada abad ke-19. Olahan itu memiliki ciri khas adanya kuah dengan potongan beraneka ragam daging atau jeroan.

Selain itu, jejak asimilasinya juga dapat diidentifikasi melalui adanya mi ataupun bihun, taburan bawang putih goreng, dan penyajian memakai sendok bebek serta mangkuk yang lazimnya dipakai sebagai bahan dan alat makan sup di Cina. 

Asumsi itu lantas diperkuat oleh Denys Lombard dalam bukunya yang bertajuk "Nusa Jawa II: Silang Budaya Jaringan Asia, 1996". Menurut catatan Lombard, imigran dari Cina sudah banyak terlibat dalam kegiatan produksi di pesisir pulau Jawa sejak abad ke-18, yang mana salah satunya dengan membuka rumah makan.

Berdasarkan catatan kolonial, peradaban pesisir utara Pulau Jawa menjadi melting-pot (asimilasi) sejumlah etnis yang hidup di dalam arus perdagangan seperti Cina, Arab, India, Eropa, dan Jawa.

Mulai dari Kudus menuju barat hingga ke Semarang, Pemalang, dan seterusnya ke arah timur hingga ke Lamongan, Madura, dan Surabaya, soto menemani lidah para pelancong dan pedagang yang sekedar lewat atau menetap di sepanjang pesisir.

Selain mendirikan rumah makan, warga keturunan Cina juga tidak jarang yang berdagang secara keliling menggunakan gerobak atau pikulan.

Ilustrasi pikulan soto zaman dulu. | www.semarang.nl
Ilustrasi pikulan soto zaman dulu. | www.semarang.nl
Cara itulah yang kemudian diadopsi oleh masyarakat Jawa dalam menjajakan soto dengan memakai gerobak atau pikulan yang dipakai hingga hari ini. Saat itu soto disajikan dengan menggunakan mangkuk keramik dan sendok sup (sendok bebek).

Awalnya–sesuai penyajian di Cina–soto selalu memakai daging babi. Namun, oleh karena masyarakat Nusantara ketika itu sudah banyak yang memeluk Islam, maka warga peranakan Cina pun mengakalinya dengan menggunakan daging ayam, sapi, kerbau, atau jeroan.

Sejak saat itu soto mulai digemari lantas menyebar ke seluruh penjuru Indonesia. Dengan pengaruh ragam budaya kuliner Indonesia dan keanekaragaman rempah-rempah, soto memiliki ciri khas masing-masing di setiap daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun