Mana yang lebih dulu, ayam atau telur? Dalam pekat dan gurihnya kaldu Soto Lamongan, keduanya melesap mesra di mangkuk yang sama. Tiada saling mendahului.
Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem lan rahardjo. Begitu orang-orang Majapahit kala itu menyebut alam Nusantara yang mendeskripsikan betapa subur bentang daratan negeri yang sangat kita cintai.
Apapun tanaman yang dihempaskan di Bumi Pertiwi akan selalu tumbuh subur, baik itu berupa bahan makanan pokok, tanaman jamu dan obat, buah-buahan, kayu-kayuan, maupun rempah-rempah.
Saat itu kekayaan alam Nusantara dapat menjamin kebutuhan makanan seluruh penghuninya. Namun, kekayaan alam itu pula yang akhirnya menyeret Indonesia ke dalam jurang kolonialisme.
Era kelam tersebut berawal dari ambisi untuk menguasai perdagangan rempah-rempah Indonesia yang melimpah oleh orang-orang Eropa. Monopoli itu yang lantas menjadi pemicu atas dimulainya penjajahan dan kependudukan daerah-daerah penghasil rempah-rempah yang kala itu harganya nyaris setara emas.
Terlepas dari jejak kelam kolonialisme, sebagai warga negara Indonesia kita patut bangga karena atas jasa rempah-rempah negeri kita dikenal dunia.
Kedatangan negara-negara penjajah dan saudagar asing tak selamanya membawa pengaruh buruk. Asimilasi budaya telah melahirkan kudapan bercita rasa tinggi tanpa menihilkan identitas dan warisan budaya hasil karya nenek moyang kita.
Bermula dari racikan bumbu yang sarat akan rempah, banyak makanan autentik Indonesia yang tercipta. Adanya interaksi perdagangan dengan bangsa-bangsa lain melahirkan persilangan budaya kuliner yang semakin memperkaya mahakarya dan cita rasa kudapan khas Nusantara.
Ada banyak jenis kuliner Indonesia yang terkenal tidak hanya di kalangan dalam negeri, melainkan juga di mancanegara. Salah satunya adalah olahan soto, yang disebut mirip sup oleh orang Barat.
Soto merupakan salah satu jenis kuliner populer Nusantara yang memiliki banyak varian di masing-masing daerah. Di balik kaldunya yang pekat nan gurih, ternyata Soto bukan kudapan asli Indonesia.