Ada beberapa tahapan yang dipengaruhi oleh beragam fenomena sosial yang melahirkan Thrifting Culture hingga tren itu sampai ke Indonesia.
Revolusi Industri
Revolusi industri ditandai dengan lahirnya mesin uap pada abad ke-19 yang membawa perubahan secara radikal di semua aspek kehidupan, termasuk dalam gaya dan cara berbusana.
Perubahan besar itu juga mengenalkan masyarakat pada mass-production of clothing yang mengubah cara pandang mereka tentang dunia fashion.
Pakaian yang awalnya masih termasuk barang yang mewah, menjadi sangat murah, sehingga masyarakat mulai berpikir bahwa pakaian adalah barang disposable. Sekali pakai, dibuang.
Hal itu yang kemudian membuat mereka menjadi sangat konsumtif dan pakaian yang sudah tak terpakai berakhir di tong sampah. Lazimnya pakaian bekas itu akan digunakan lagi oleh para imigran atau tuna wisma.
Donasi Pakaian Bekas
Sebuah organisasi non pemerintah (NGO) asal London, Inggris, Salvation Army, tergerak untuk melakukan donasi ketika mengamati kebiasaan masyarakat dalam membuang-buang pakaian usangnya.
The Great Depression
Saat krisis besar melanda Amerika Serikat (AS) pada tahun 1929, banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Mereka bahkan tidak mampu membeli pakaian baru, sehingga mereka memilih alternatif untuk mendatangi thrift shop.Â
Kala itu Goodwill Industries merupakan salah satu thrift shop non komersial terbesar di AS yang memiliki stok pakaian dan barang-barang bekas lain.
Mereka tidak pernah menjual barang, tetapi memberikannya secara gratis kepada orang-orang yang membutuhkan. Mereka mengubah 'sampah' menjadi media gerakan sosial.
Thrift Shop Komersial
Kerstin Block mendirikan Buffalo Exchange pada tahun 1974 di Arizona, AS, yang menjadi thrift shop komersial pertama yang sukses membuka cabang.