Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Yuki Nagasato, Pesepak Bola "Geisha" di Klub Pria, Simbol Kesetaraan Gender

2 Oktober 2020   10:12 Diperbarui: 2 Oktober 2020   22:01 1867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yuki Nagasato berpose dengan jersey klub pria asal Jepang Hayabusa Eleven FC (10/09/2020). | The Asahi Shimbun via Getty Images

Tak hanya mematahkan stereotip "maskulinitas sepak bola", Ia juga membuktikan diri, bahwa wanita bisa berdiri setara dengan pria di atas lapangan hijau.

Bermula pada Zaman Edo. Geisha adalah sebutan yang disematkan kepada wanita yang bekerja sebagai seniman tradisional Negeri Sakura.

Terminologi Geisha berakar dari bahasa Jepang yang tersusun atas 2 huruf kanji, yakni "seni" (gei) dan "pelaku" (sha), artinya pelaku seni atau seniman.

Mereka dapat dengan mudah dikenali melalui kimono dan tampilan ikoniknya. Geisha identik dengan riasan wajah putih yang dibalurkan hingga leher dan lipstik merah merona serta alis tipis nan lancip.

Bergaya rambut konde dengan ornamen bunga, menjadikan penampilan Geisha sangat anggun dan memesona. Sembari memegang payung, mereka melangkah pelan, tapi pasti. Pembawaannya sangat berwibawa dan terlihat santun. Tidak ada gerakan yang berlebihan.

Untuk bisa menjadi seorang Geisha, para gadis Jepang harus menjalani pelatihan intensif selama bertahun-tahun. Mereka akan mengasah bakat artistiknya seperti menyanyi, bermain musik, menari, dan bahkan melawak.

Geisha pemula (Maiko) memulai kerier di usia yang sangat belia. Mereka belajar di rumah khusus Geisha yang disebut Okiya dan dibina oleh Okasan (nyonya rumah). Lazimnya gadis calon Geisha berasal dari keluarga yang kurang mampu.

Mineko Iwasaki dahulu (kiri) dan sekarang (kanan) | Joliegazette via feminisminindia.com
Mineko Iwasaki dahulu (kiri) dan sekarang (kanan) | Joliegazette via feminisminindia.com
Mineko Iwasaki menjadi sosok Geisha yang paling melegenda. Sampai-sampai kisahnya diangkat oleh Arthur Golden ke dalam sebuah magnum opus berjudul "Memoirs of a Geisha", hingga kemudian diadopsi ke layar lebar lewat judul serupa.

Profesi tradisional ini acapkali dikaitkan dengan kegiatan prostitusi, meskipun Geisha tidak "menjual tubuh" mereka kepada para tamunya.

Mereka memiliki tugas untuk menjamu para pelanggannya, bergiliran dengan pekerja seks yang disebut Oiran. Geisha dipekerjakan guna membuat para pria betah serta terhibur sambil menunggu giliran Oiran yang mengambil peran di atas ranjang.

Pada abad ke-19, mereka mempunyai semboyan "Kami menjual seni, bukan tubuh. Kami tak pernah menjual diri, tubuh kami, demi uang." Semboyan itu sekaligus menjadi kode etik yang haram dilanggar, termasuk menjalin hubungan asmara dengan pria.

Stigma negatif Geisha bermula pada akhir Perang Dunia II. Kala itu banyak pekerja seks Jepang yang mengaku sebagai Geisha kemudian menawarkan jasanya kepada pasukan militer Amerika Serikat yang ditempatkan di Negeri Matahari Terbit.

Ketika Jepang mengalami kekalahan atas sekutu, banyak wanita Jepang yang putus asa akibat krisis perang sehingga mereka rela menjadi teman tidur bagi pasukan musuh hanya agar bisa mendapatkan makanan. Imbasnya, Geisha seringkali disalahartikan sebagai profesi "kotor".

Pandangan buruk itulah yang hingga kini masih muncul di benak sebagian orang ketika mendengar kata Geisha. Seakan wanita Jepang tidak layak dihormati dan dipandang setara dengan pria.

Meski sama-sama bekerja dikelilingi oleh para pria, wanita kelahiran 15 Juli 1987 ini memilih jalan yang jauh berbeda dengan sang legenda hidup Geisha. Jika Mineko Iwasaki adalah seniman budaya Jepang, maka ia adalah seniman lapangan hijau.

Dialah Yuki Nagasato, seorang pesepak bola wanita Jepang yang memulai karier seniornya di Nippon TV Beleza. Sebagai striker, Yuki sukses menorehkan 69 gol dalam 110 laga selama membela klub asal Tokyo itu dari tahun 2001 hingga 2009.

Berkat ketajamannya, salah satu klub wanita tersukses di Jerman, FFC Turbine Potsdam, pun meminangnya. Di sana Yuki berhasil melesakkan 48 gol dari 71 laga selama tiga musim. Ia juga tercatat pernah membela klub Eropa lain seperti Chelsea, Wolfsburg, dan Frankfurt.

Pada tahun 2017, Yuki menyebrang ke AS bersama salah satu klub peserta National Woman's Soccer League (NWSL), Chicago Red Stars. Ia sempat membela Brisbane Roar dengan status pinjaman.

Selama menjalani karier pesapak bola profesional, Yuki telah mengemas total 151 gol di level klub. Sementara di timnas ia membukukan 58 gol dari 132 laga.

Prestasi tertinggi yang berhasil dicapai Yuki adalah kala memberikan gelar Piala Dunia Wanita kepada timnas Jepang pada tahun 2011 silam. Sebuah pencapaian yang menempatkan Jepang sebagai salah satu raksasa sepak bola wanita di dunia.

Yuki Nagasato berpose dengan jersey klub pria asal Jepang Hayabusa Eleven FC (10/09/2020). | The Asahi Shimbun via Getty Images
Yuki Nagasato berpose dengan jersey klub pria asal Jepang Hayabusa Eleven FC (10/09/2020). | The Asahi Shimbun via Getty Images
Di bursa transfer musim panas 2020, ia dipinjamkan kembali ke klub pria asal Jepang, Hayabusa Eleven FC, yang berlaga di Kanagawa Prefecture League hingga NWSL musim 2021 dimulai.

Di sanalah sejarah tercipta. Yuki menjadi pesepak bola wanita Jepang pertama yang bermain untuk kesebelasan pria.

Keberanian pesepak bola wanita berusia 33 tahun itu untuk bergabung dengan tim pria bukannya tanpa alasan. Yuki tengah berusaha memperjuangkan kesetaraan gender melalui profesi yang digelutinya.

Selama ini sepak bola selalu diidentikkan sebagai arena permainan eksklusif bagi kaum Adam. Stigma itulah yang ingin dipatahkan oleh Yuki saat memutuskan untuk bermain di kesebelasan pria asal negara kelahirannya.

Baginya, wanita dan pria sama. Mereka setara. Oleh karena itu, ia sangat yakin bisa bermain bersama dan melawan para pesepak bola pria.

''Saya ingin menyampaikan pesan kepada wanita di luar sana, bahwa kita bisa bergabung dan bermain dengan tim pria. Hal ini juga untuk menantang diri kita sendiri,'' kata Yuki.

''Sejujurnya, saja juga tidak tahu kemampuan saya saat bermain dengan pria. Namun, saya akan tetap memberikan yang terbaik. Ini tentang pengalaman. Saya sangat menantikan tantangan ini,'' tutupnya, dikutip dari CBC Sports.

Hayabusa Eleven bukan tim yang asing bagi dirinya. Kakak Yuki, Genki Nagasato, juga membela klub yang sama. Menurut Genki, sang adik sudah sejak lama ingin beradu gocekan melawan tim pria.

Yuki juga mengaku, bahwa ia terinspirasi oleh pesepak bola wanita asal Amerika, Megan Rapinoe. Pemain sayap OL Reign itu memang kerap menyelipkan pesan-pesan sosial dan kesetaraan gender di atas lapangan hijau.

''Rapinoe sangat menginspirasi saya lewat pesan-pesan sosial dan kesetaraan gender di Piala Dunia 2019. Jadi, saya juga memikirkan cara untuk bisa melakukan hal serupa dengan gaya saya sendiri,'' jelasnya.

Mewujudkan kesetaraan gender dalam olahraga sebelas lawan sebelas tersebut sejatinya sudah diawali oleh organisasi sepak bola terbesar dunia, FIFA. Mereka sudah menambah jumlah representasi perempuan pada posisi-posisi strategis dalam struktur organisasi FIFA.

Di samping itu, organisasi yang dipimpin oleh Gianni Infantino itu juga secara aktif mempromosikan sepak bola wanita di seluruh dunia lewat sejumlah kompetisi guna meningkatkan posisi perempuan di mata masyarakat.

Namun faktanya, semua upaya itu masih belum mampu menjamin rasa aman bagi kaum Hawa yang terlibat dalam olahraga terbesar di dunia tersebut.

Menurut hasil penelitian Profesor Sue Bridgewater dari University of Liverpool, seksisme masih menjadi penghalang bagi kesuksesan wanita yang terjun di dalam jagat persepakbolaan.

Bridgewater ditugaskan untuk membuat laporan berdasarkan survei berskala luas selama kurun waktu 2 tahun (2014-2016) yang dilakukan atas nama organisasi kesetaraan gender dalam sepak bola, Women in Football.

Survei yang dilakukan oleh Bridgewater menyasar 505 wanita yang bekerja dalam bidang sepak bola meliputi para pemain, pelatih, ofisial pertandingan, dokter, fisioterapis, administrator, pengacara, agen, media, dan lain sebagainya.

Dalam laporannya ia mengungkapkan, bahwa prosentase responden yang mengaku menjadi korban pelecehan seksual meningkat 2 kali lipat dalam dua tahun terakhir, dari 7% menjadi 15%.

Sementara jumlah pekerja wanita yang mengaku dilarang memasuki wilayah tertentu dalam organisasi sepak bola atas dasar jenis kelamin (diskriminasi gender) meningkat hampir tiga kali lipat, dari 7% pada 2014 menjadi 19% pada tahun 2016.

Wanita yang menjabat sebagai direktur penelitian bidang olahraga di Universitas Liverpool itu juga menemukan hampir setengah dari respondennya merupakan korban seksisme, sementara nyaris dua pertiga di antarannya mengalami ejekan berbau seksis di tempat kerja.

Banyak dari mereka yang tidak berani melaporkan insiden yang dialaminya sebab khawatir akan berdampak buruk pada pekerjaan mereka.

Masih terdapat banyak aspek yang perlu diperbaiki untuk menjadikan industri sepak bola sebagai sebuah ekosistem yang aman, ramah, dan progresif bagi wanita yang berkecimpung di dalamnya.

Setidaknya Yuki telah membuktikan diri, bahwa sepak bola bukan hanya olahraga kaum Adam. Bahkan ia berani berbagi umpan dan strategi dengan rekan di tim yang seluruhnya berjenis kelamin pria.

Geisha merupakan simbol kebudayaan Jepang, sementara Yuki Nagasato ialah simbol kesetaraan gender dalam dunia sepak bola–yang tidak lagi maskulin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun