Sekira pada tahun 90-an. Ketika internet masih berwujud angan-angan. Bermain sepak bola dengan hanya bertelanjang kaki menjadi rutinitas kami di sore hari.Â
Memakai bola plastik lima ribuan serta gawang dari tumpukan sandal jepit. Tiada lapangan, jalan depan rumah pun jadi.
Seakan tanpa lelah berlari menggiring bola kesana kemari. Tanpa kemewahan, yang ada hanya keceriaan. Seperti itulah cara kami merayakan sepak bola dalam bentuknya yang paling murni. Football in its purest form.
Seiring dengan perkembangan zaman, sepak bola modern tak hanya sebatas perkara menendang bola, namun juga telah menjelma menjadi industri yang memungkinkan sirkulasi uang dengan jumlah besar berputar di dalamnya.
Tidak heran bila olahraga sebelas lawan sebelas itu menjadi magnet bagi para taipan di seluruh penjuru dunia untuk berinvestasi melalui skema kepemilikan klub.
Namun, kehadiran para taipan dengan dana tak terbatas itu dikhawatirkan dapat menimbulkan kesenjangan antar klub, terjadinya inflasi harga pemain, ataupun dijadikan sebagai ajang pencucian uang.
Sehingga pada tahun 2011, UEFA melahirkan aturan terkait pengaturan keuangan klub di Eropa yang dikenal dengan istilah Financial Fair Play (FFP).
FFP adalah sebuah regulasi yang melarang klub menghabiskan dana lebih banyak dari apa yang diterimanya lewat pemasukan. Aturan tersebut mewajibkan setiap kesebelasan di Eropa untuk menyeimbangkan neraca keuangannya.
Salah satau tujuan dibentuknya FFP ialah agar klub-klub kaya Eropa tidak semena-mena membelanjakan uang mereka dalam membeli pemain baru, sehingga inflasi harga pemain di bursa transfer bisa ditekan sekaligus guna menghindari kesenjangan antar klub.
Sepak Bola Era PetrodolarÂ
Manchester City dan PSG dikenal sebagai state-run club atau klub yang dimiliki serta dijalankan oleh negara. Keduanya merupakan manifestasi dari negeri petrodolar Uni Emerat Arab dan Qatar.
Bahkan bagi mereka, sepak bola tidak hanya sebagai ladang investasi namun juga menjadi ajang sportwashing atau pemolesan citra suatu negara.
Meski keduanya sama-sama dikuasai oleh konsorsium Timur Tengah, City membutuhkan waktu relatif lebih lama dari PSG untuk meraih trofi liga. Hal itu disebabkan Premier League jauh lebih kompetitif dibandingkan Ligue 1, dimana PSG nyaris tak memiliki seteru sepadan.
Manchester City memperoleh label klub petrodolar setelah pemilik Abu Dhabi United Group, Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan, mengambil alih klub sekota Manchester United tersebut dari tangan Thaksin Shinawatra senilai 200 juta paun pada tahun 2008.
Sebelum era petrodolar, karier The Citizens tak ubahnya roller coaster. Bahkan mereka sempat merasakan pahitnya degradasi hingga ke divisi ketiga liga Inggris pada tahun 1998.
Sejak diakuisisi oleh royal family Abu Dhabi, total Rp 33 triliun yang sudah dikucurkan guna berbelanja pemain. Alhasil, perlahan namun pasti prestasi City mulai merangkak naik.
The Citizens mencapai puncak prestasi mereka dengan menjuarai Premier League pada musim 2011/12 dan 2013/14. Hingga kini klub yang bermarkas di Etihad Stadium itu sudah mengoleksi 11 gelar domestik.
Bergeser ke Paris. Sebelum diakuisisi oleh Qatar Sports Investments (QSI) yang diketuai Nasser Al Khelaifi pada tahun 2011, prestasi PSG tersendat di era sepak bola modern, mengingat terakhir kali mereka juara Ligue 1 di musim 1993/94.
Setahun setelah kedatangan Nasser, dengan total Rp 21 triliun yang telah dihabiskan untuk belanja pemain, PSG sukses mengakuisisi titel juara Ligue 1 terus menerus hingga hari ini, kecuali di musim 2016/17 yang berhasil dibajak oleh AS Monaco.
Sementara di Liga Champions, baik City maupun PSG sama-sama belum meriah gelar juara. Masing-masing hanya mampu melaju hingga babak semifinal dan partai final.
Perlu diketahui QSI merupakan anak perusahaan dari Qatar Investment Authority (QIA) yang bertugas dalam mengelola dana kekayaan negara Qatar. Sedangkan Sheikh Mansour merupakan saudara tiri Presiden UEA saat ini, Emir Abu Dhabi, Khalifa bin Zayed Al Nahyan. Tak berlebihan kiranya jika menyebut PSG dan City sebagai state-run club.
Financial Fair Play dalam Rangkulan Petrodolar
Selain sama-sama dikuasai oleh konsorsium Timur Tengah, faktanya Manchester City dan PSG juga sama-sama pernah lolos dari hukuman FFP.
Sebuah situs Football Leaks--organisasi non profit independen serupa Wikileaks--mengungkap adanya kejanggalan dalam laporan keuangan miliki PSG dan City.
Salah satu dokumen itu berisi tentang detail kesepakatan sponsor antara The Citizens dan Etihad selaku sponsor utama mereka. Kepada otoritas Club Financial Control Body (CFCB) mereka melaporkan pendapatan sponsor senilai 60 juta paun dari Etihad yang notabene dimiliki oleh Sheikh Mansour sendiri.
Tidak berhenti sampai disitu, Sheikh Mansour juga menyuntikkan dananya melalui label sponsor lain, yakni Aabar yang juga berasal Abu Dhabi dengan nilai 15 juta paun. Namun setelah diselidiki, sebagian besar dana tersebut lagi-lagi bersumber dari pihak yang sama, yakni pemilik klub Sheikh Mansour.
Dua unsur manipulasi itu yang lantas mengakibatkan The Citizens didakwa melanggar FFP. Awalnya, mereka didenda 30 juta euro serta larangan bermain di kompetisi eropa selama 2 tahun, musim 2020/21 dan 2021/22.
City yang tidak menerima hukuman itu memutuskan untuk mengajukan banding ke Court of Arbitration for Sport (CAS). Usaha klub asuhan Pep Guardiola tak sia-sia. CAS mengabulkan banding tersebut dan hanya mengenai denda 10 juta euro.
Anehnya, denda tersebut bukan karena pelanggaran FFP, melainkan akibat City dianggap tidak kooperatif dengan UEFA. Tidak kalah absurdnya lagi, larangan berkompetisi di Eropa pun turut dicabut.
Dalam laporannya, CAS menyebut bahwa dugaan pelanggaran City yang membuat mereka dijatuhi hukuman CFCB hanya berlaku dalam rentang waktu tertentu sekaligus berjarak terlalu lama dari masa terjadinya dugaan manipulasi yang dituduhkan.
Kasus tersebut adalah kali kedua yang dihadapi oleh City. Pada tahun 2014 mereka juga terjerat kasus yang sama, lantas mereka didenda 60 juta euro dan dijatuhi hukuman pembatasan jumlah pemain untuk kompetisi Eropa.
New York Times menyebut, UEFA telah melakukan investigasi mendalam terkait kedua aktivitas mega transfer tersebut. Penyelidik dari UEFA memutuskan PSG layak untuk dijatuhi hukuman.
Namun, PSG berdalih bahwa aktivitas transfer mereka masih dalam batas wajar sesuai dengan nominal sponsor yang diterima dari Ooredoo, Bank Nasional Qatar, dan Qatar Tourism Authority.
Nama sponsor terakhir, menurut klaim PSG, telah mengucurkan dana lebih dari 100 juta euro yang mana angka itu sangat mustahil dan dinilai terlalu mengada-ada.
Sejak mulai diterapkan pada tahun 2011, FFP lebih banyak menghukum klub-klub semenjana. Mulai dari Malaga, Rubin Kazan, Maccabi Tel Aviv, hingga klub gurem liga Turki.
Adapun klub-klub elit Eropa yang telah terbukti melanggar seperti PSG, City, dan AC Milan hanya sebatas dijatuhi denda tanpa adanya larangan bermain di level kompetisi Eropa sebagaimana mestinya.
Lantas, apakah regulasi tersebut hanya menyasar klub kecil daripada klub besar?
Banyak pihak yang menilai jika hukuman itu justru menodai nama baik UEFA serta aturan FFP yang telah mereka rumuskan sendiri.
Presiden FIFA Gianni Infantino, yang saat itu masih menjabat sebagai sekretaris jendral UEFA, disebut menjadi dalang di balik lolosnya duo klub petrodolar dari jerat sanksi terkait pelanggaran FFP.
Infantino berdalih defisit PSG dan City masih dalam batas aman. Padahal, menurut data Football Leaks, penyidik dari UEFA, dan auditor independen menemukan kerugian PSG dan City masing-masing mencapai 218 juta euro dan 188 juta euro. Luar biasa!
Ketika uang dalam jumlah besar sudah dilibatkan, regulasi yang diharapkan mampu menciptakan stabilitas keuangan dan mengurangi kesenjangan antara klub kaya dan klub miskin tak berjalan sesuai niat mulianya di awal perumusan. Namun sebaliknya dapat memicu korupsi, kolusi, dan nepotisme di tubuh UEFA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H