Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Hansi Flick, Kingsley Coman, dan Trofi UCL Keenam Die Roten

24 Agustus 2020   20:44 Diperbarui: 26 Agustus 2020   21:59 1287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mia san Mia!

Moto itu sangat identik dengan Bayern Munchen. "Mia san Mia" atau dalam bahasa Jerman "Wir sind wir", adalah frasa yang berakar dari Kekaisaran Austro-Hungaria abad ke-19, artinya kami adalah kami.

Frasa itu lantas digunakan oleh ketua Persatuan Sosial Kristen Bavaria (CSU), Franz Josef Strauss, sebelum akhirnya diadopsi oleh Raksasa Bavaria pada tahun 1980-an.

Bagi skuad Die Roten, Mia san Mia bukan hanya sekadar moto, melainkan juga jalan hidup. Sebuah filosofi untuk senantiasa menjadi pemenang. 

Bayern Munchen selalu memiliki caranya sendiri untuk menang. Mereka sendiri yang menentukan nasibnya di lapangan. Skuad Bayern akan selalu berpijak pada mental juara, kerja keras, dan semangat komunal.

Dalam laga final yang digelar di Lisbon, Portugal, Senin (24/8), Die Roten telah membuktikan, bahwa jalan hidup yang mereka pilih mampu menorehkan trofi The Big Ears yang ke-6 sepanjang sejarah klub.

Bayern menang 1-0 atas Paris Saint-Germain melalui gol semata wayang Kingsley Coman di menit ke-59 setelah menerima umpan manis terukur dari Joshua Kimmich.

Dalam hal strategi, tak banyak perubahan yang dilakukan oleh Hansi. Ia masih bermain dengan pressing tinggi dan agresivitas serangan. Skuad yang ia turunkan relatif sama dengan laga-laga sebelumnya, kecuali Coman yang tampil sebagai pahlawan kemenangan.

Magis Sang Pelatih Interim Hans-Dieter Flick

Datang sebagai "ban serep" dari Niko Kovac, Hansi sempat diragukan oleh banyak pihak. Mengingat terakhir kali ia menjabat sebagai pelatih kepala adalah pada musim 2005 lalu saat membesut Hoffenheim.

Usai kekalahan telak 5-1 atas Eintracht Frankfurt November lalu, Hansi yang merupakan asisten pelatih Kovac, naik kelas menjadi pelatih interim.

Pria 55 tahun itu menyingkirkan pelatih-pelatih top Eropa sekelas Mauricio Pochettino, Massimilliano Allegri, hingga Jose Mourinho. Rummenigge lantas menjatuhkan pilihannya pada Hansi.

Penunjukan dirinya bukan tanpa alasan, Hansi tercatat pernah berseragam Bayern pada medio 1985-1990. Sebagai gelandang serang, ia tampil di 137 laga dan berhasil memberikan empat titel Bundesliga dan satu Piala DFB bagi Bayern.

Pada 1996 hingga 2000, ia menangani tim amatir lokal, Victoria Bammental sembari "bersekolah". Hingga akhirnya Hansi memperoleh lisensi pelatih profesional pertamanya pada 2003. 

Berikutnya, Hansi membangun Hoffenheim selama lima tahun sebelum diakuisisi oleh Ralf Rangnick. Di sana Flick mendongkrak Hoffenheim promosi dari divisi empat ke divisi tiga. Ia juga sempat menjadi asisten pelatih Giovanni Trapattoni di RB Salzburg. 

Sebelum menjadi pelatih kepala, 8 tahun lamanya Hansi hanya menjadi bayang-bayang Joachim Low. Ia didapuk sebagai asisten pelatih Timnas Jerman dari 2006 hingga 2014.

Hansi Flick berikan trofi Liga Champions ke-6 bagi Bayern Munchen | Indiatoday.in
Hansi Flick berikan trofi Liga Champions ke-6 bagi Bayern Munchen | Indiatoday.in
Selain berkiprah di dunia kepelatihan, Hansi juga pernah menjabat Direktur Olahraga DFB, Federasi Sepak Bola Jerman, pada 2014 hingga 2017.

Sebelum menangani FC Hollywood, tidak ada yang spesial dalam kariernya sebagai pelatih. Hansi Flick mulai menemukan kejeniusannya saat menjadi asisten pelatih timnas Jerman, ia telah belajar banyak dari Joachim Low.

Pria kelahiran Heidelberg tersebut adalah salah satu aktor di balik dua pembantaian besar dalam dunia sepak bola modern, yakni saat meruntuhkan Brazil 7-1 di Maracana dan Barcelona 8-2 di babak delapan besar beberapa hari yang lalu.

Meski sempat dua kali kalah di 4 laga Bundesliga, perlahan Flick membuktikan bahwa dirinya adalah sosok yang paling tepat bagi Bayern. Kemampuan komunikasi vertikal dan manajerial yang baik turut membantu langkah Flick melenggang sebagai juru taktik Manuel Neuer dkk.

Selain itu, Hansi melakukan revolusi taktik secara radikal yang berdampak signifikan bagi permainan Bayern. Possession game yang didominasi umpan lateral tanpa progresivitas serangan warisan Kovac diubah menjadi sebuah gelaran orkestra berkelas dengan intensitas pressing dan garis pertahanan yang sangat ekstrim.

Kunci di balik kegemilangan Bayern musim ini tidak terlepas dari jasa "Reumdeuter" dalam diri Thomas Muller dan Robert Lewandowski sebagai predator gol FC Hollywood. Hansi mampu mengeluarkan potensi terbaik Muller dan Neuer yang dinilai sudah habis. Sosok wonderkid asal Kanada Alphonso Davies juga sukses ia orbitkan. Goretzka dan Gnabry ia sulap menjadi pemain yang konsisten sepanjang musim.

Di tangan Hansi, Bayern mencatatkan sejumlah rekor impresif. Ia mampu membawa anak asuhnya meraih 33 kemenangan dalam 36 laga. Keunggulan 1-0 atas PSG di final malm ini merupakan kemenangan ke-20 Die Roten secara beruntun.

Selain itu, Bayern Munchen menjadi klub pertama sepanjang sejarah yang mampu tampil sempurna atau memenangi seluruh laga (100%) dalam satu putaran Liga Champions.

Lesakan 43 gol yang mereka catatkan menjadi gambaran betapa dahsyat Bayern racikan Hansi. Mereka hanya kalah dari rekor 45 gol Barcelona pada 1999/2000. Hanya saja Barcelona kala itu melakoni 16 laga atau 5 laga lebih banyak dari skuad asuhan Hansi musim ini.

Hansi menjadi pelatih kedua setelah Jupp Heynckes yang sukses membawa Bayern meraih treble winners musim 2012/2013.

Kesempurnaan Bayern meraih treble winners pada musim 2019/2020 mungkin tidak akan terjadi jika Die Roten tidak menjatuhkan pilihan kepada Hansi sebagai suksesor Niko Kovac pada 4 November 2019 lalu.

Hansi Flick kini sejajar dengan Vicente Del Bosque, Roberto Di Matteo, dan Zinedine Zidan sebagai pelatih interim yang sukses menjadi kampiun di Liga Champions.

Kingley Coman Terlahir Sebagai Juara

Tiada yang lebih menyakitkan selain dikhianati sang mantan. Begitulah kiranya yang dirasakan Les Parisiens di final Liga Champions 2019/2020.

Bagaimana tidak, gol tunggal yang memupuskan harapan juara UCL pertama mereka datang dari Kingsley Coman yang notabene jebolan akademi klub asal Paris tersebut.

Coman harus terbuang untuk memberi ruang pada dua pemain petrodollar seharga 402 juta Euro (Rp 7 triliun), Neymar dan Kylian Mbappe, pada 2017.

Pemain yang kini berusia 24 tahun itu tercatat menjadi siswa di akademi PSG Youth sejak 2004 hingga 2013 sebelum promosi ke tim utama.

Di tim utama tak banyak laga yang dimainkan. Ia hanya mampu mencatatkan empat laga untuk tim senior tanpa catatan gol ataupun assist. Di Liga Prancis musim 2012/2013 Coman hanya sekali tampil dan 3 kali berlaga di musim berikutnya.

Tak mampu menunjukkan penampilan gemilang, Coman dibuang ke Juventus pada bursa transfer musim panas 2014. Hanya tampil 20 kali dengan satu gol dan 2 assist, Coman disekolahkan ke FC Hollywood sebelum ia dipermanenkan dengan bandrol 21 juta Euro oleh Jupp Heynckes.

Mampu bermain di kedua sisi flank dengan sama baiknya, Coman menjadi langganan starting line up siapapun pelatih Bayern. Ia berhasil mengemas 33 gol dan 35 assist dalam 161 laga sejak berseragam Die Bavaria.

Sejak kompetisi dilanjutkan di tengah pandemi, Hansi lebih sering menurunkan Ivan Perisic untuk mengisi sektor sayap kiri, termasuk dalam 3 laga menjelang final.

Gol semata wayang Coman antarkan Die Roten juara Liga Champions 2019/2020 | nytimes.com
Gol semata wayang Coman antarkan Die Roten juara Liga Champions 2019/2020 | nytimes.com
Hansi lebih memilih Coman di final karena dianggap lebih bugar. Pasalnya, level kebugaran Perisic bisa dipastikan menurun dari laga ke laga, disamping karena faktor usia yang sudah menginjak 31 tahun.

Gol tunggalnya di menit ke-59 mengantarkan Bayern Munchen meraih trofi Liga Champions yang keenam sekaligus menjadikan dirinya Man of the Match di partai puncak Liga Champions 2019/2020.

Di usinya yang baru menginjak 24 tahun, Coman sudah mengoleksi 20 trofi di level klub dan Timnas. Pemain kelahiran Paris itu selalu menjadi juara sejak pertama kali dipromosikan ke tim senior PSG meski saat itu jarang dimainkan. Saat ia bermain di Juventus hingga Bayern pun Coman selalu merasakan minimal satu trofi juara setiap musimnya atau sejak ia berusia 16 tahun!

Coman menjadi pemain pertama Prancis yang mencatatkan namanya di papan skor dan menjadi penentu kemenangan di laga pamungkas Liga Champions sejak Zinedine Zidane pada 2002.

Squawka juga mencatatkan, Kingsley Coman kini menjadi pemain termuda kedua yang dinobatkan sebagai pemain terbaik di final Liga Champions sejak tahun 2000. Sejumlah catatan yang sangat fantastis bagi pesepakbola berusia 24 tahun.

Gelar Liga Champions Keenam Bayern Munchen

Pada abad ke-19, Perang Prancis-Prusia (Franco-Prussian War) meletus dan diakhiri oleh jatuhnya Paris di tangan serdadu Kekaisaran Prusia yang menjadi cikal bakal berdirinya Jerman modern.

Di laga final Liga Champions 2019/2020 sejarah kembali terulang. Prancis yang diwakili oleh PSG harus takluk oleh kedigdayaan Raksasa Jerman sebagai perwujudan Kekaisaran Prusia.

Adapun gelar UCL musim ini adalah yang keenam untuk The Bavarians yang menjadikan mereka tim tersukses ke-4 setelah Real Madrid, AC Milan, dan Liverpool yang terlebih dahulu meraih trofi UCL keenamnya musim lalu.

Setelah mempersembahkan gelar Bundesliga dan Piala DFB Jerman, Flick membawa Bayern meraih trofi Liga Champions 2019/2020 yang melengkapi raihan treble winners kedua sepanjang sejarah klub.

Congratulations Bayern Munchen! Gratulation zum Champions League Titel des Bayern Munchen!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun