Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

"Sportwashing", Ketika Sepak Bola Jadi Ajang Cuci Tangan Pelanggaran HAM

21 Agustus 2020   21:19 Diperbarui: 23 Agustus 2020   04:05 1597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain itu, pada 2018, penyidik PBB menyebut ada keterlibatan sang Putra Mahkota terhadap kasus pembunuhan jurnalis Washington Post, Jamal Khashoggi. Lagi-lagi otoritas Arab Saudi melalui Mohammed bin Salman juga membantahnya.

Pembunuhan ini juga dikabarkan berada dalam pusaran yang lebih besar terkait andil Arab Saudi dalam Arab Spring.

Negara monarki otokrasi itu telah menggelar ajang olahraga akbar dalam beberapa tahun terakhir. Mulai dari Piala Super Spanyol yang melibatkan klub-klub seperti Barcelona, Real Madrid, Atletico Madrid, dan Valencia di awal 2020. Selain itu ada pula pertandingan tenis Rafael Nadal dan Novak Djokovic, kejuaraan Formula E, dan gelaran tinju kelas berat Anthony Joshua kontra Andy Ruiz yang digelar di Diriyah Arena.

Walaupun kerap berselisih paham, faktanya Qatar juga memilih langkah yang sama dengan rivalnya, Arab Saudi, untuk melakukan upaya sportwashing.

Upaya yang paling disorot yaitu penunjukan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 yang penuh kontroversi sejak awal. Cara itu dipilih Qatar untuk memoles citra internasionalnya atas perbudakan dan eksploitasi yang dialami oleh pekerja migran dengan sistem Kafala dalam proyek infrastruktur negara petrodollar itu, termasuk pembangunan venue untuk Piala Dunia 2022 mendatang.

Mohammad Bin Hammam, mantan presiden Asian Football Association (AFC) yang juga berasal dari Qatar dituding menjadi bohir di balik kontroversi tersebut dengan menghabiskan total US$ 5 juta.

Suap senilai sekitar US$ 1,5 juta disebut mengalir ke petinggi-petinggi asosiasi sepak bola di sejumlah negara agar mereka bersedia memilih Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Uang haram tersebut kabarnya juga datang dari perusahaan dan sejumlah kalangan elit di Qatar yang memiliki kepentingan.

Meski kontroversi dan kasus suap itu sudah menjadi rahasia pubik, tapi status Qatar sebagai tuan rumah ajang sepak bola 4 tahunan masih berlanjut. Komite Etik FIFA menyatakan aturan yang dilanggar hanya dalam lingkup terbatas dan tidak terbukti terkait proses pemilihan tuan rumah Piala Dunia. Dalam hal ini kekuatan petrodollar sulit dibendung.

Selain di gelaran Piala Dunia, strategi serupa juga dipraktikkan oleh elit Qatar lainnya pada level klub. Sebut saja pimpinan beIN Media Group Nasser Al-Khelaifi yang juga pemilik klub yang melaju ke final Liga Champions 2019/20 kontra Bayern Munchen, Paris Saint Germain.

Final Liga Champions yang akan berlangsung pada Senin (24/08/2020) depan seakan menjadi holy grail bagi Qatar untuk menegaskan hegemoni mereka di kompetisi sepak bola antar-klub paling prestisius di daratan Eropa.

Negara petrodollar lainnya, Uni Emirat Arab yang diwakili oleh Abu Dhabi, juga tak mau kalah untuk menancapkan kukunya di bidang sepak bola.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun