Sportswashing adalah sebuah terminologi yang baru dikenal pada 2015 dan pertama kali dialamatkan kepada negara yang dipimpin oleh Ilham Aliyev, Azerbaijan, meski fenomena tersebut telah lama dipraktikkan.
Salah satu yang paling awal yakni saat Piala Dunia 1934 di Italia. Pemilihan Italia sebagai tuan rumah dikaitkan oleh adanya simpatisan pemimpin Italia saat itu, Benito Mussolini, dalam tubuh FIFA.
Propaganda yang sama juga dipilih oleh saudara mudanya, Nazi Jerman, saat menggelar Olimpiade 1936 atas prakarsa Bapak Propaganda Modern, Joseph Goebbels.
Namun, pada saat Piala Dunia 1934 dan Olimpiade 1936, istilah sportwashing belum digunakan. Di sisi lain, kedua ajang itu dianggap sebagai bagian dari propaganda fasisme Italia dan Jerman.
Upaya sportswashing tersebut dilakukan untuk memulihkan citra baik suatu negara dengan cara menutup-nutupi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) lewat media olahraga, salah satunya sepak bola.
Sebagai negara pertama yang mendapatkan label sportwashing, Azerbaijan dinilai memiliki catatan buruk terhadap pelanggaran HAM salah satunya penyiksaan, penahanan sejumlah aktivis, jurnalis, dan politisi oposisi, seperti yang dilaporkan oleh NGO Amnesty International.
Laporan Human Rights Watch juga mengungkapkan, Azerbaijan menempati urutan ke-166 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers yang dirilis oleh Reporter Without Borders.
Masih menurut laporan yang sama, ada 43 orang pembela HAM, jurnalis, aktivis politik dan agama yang dipenjara pada tahun 2018 lalu.
Bahkan menurut laporan dari AFP, perusahaan minyak Azerbaijan SOCAR sudah menjadi sponsor utama UEFA sejak tahun 2013. Langkah ini bisa dibilang sangat sistematis.
Sponsor Atletico lantas berganti menjadi "Baku 2015, 1st European Games", yang merupakan promosi dari ajang Olimpiade Eropa (European Games) yang digelar di ibu kota Azerbaijan.
Mereka mengucurkan dana besar untuk menjadi tuan rumah pembukaan Olimpiade Eropa di Baku. Setahun berselang Grand Prix diadakan di jalan-jalan ibu kota. Tudingan sportwashing semakin menguat ketika ajang yang awalnya diberi nama European Grand Prix dirubah menjadi Azerbaijan Grand Prix.
Baku juga memenangkan hak untuk menjadi tuan rumah gelaran final Liga Europa yang mempertemukan Chelsea kontra Arsenal 2019 lalu. Sejumlah fakta di atas semakin menegaskan upaya sportwashing yang dilakukan Azerbaijan di bawah rezim Ilham Aliyev.
Meski sukses menggelar sejumlah ajang olahraga internasional, banyak yang menilai hal itu dilakukan rezim Ilham Aliyev guna menutupi kondisi negara yang sesungguhnya.
Negara pecahan Uni Soviet itu disinyalir menutupi banyak pelanggaran HAM dan korupsi sistematis yang dilakukan dinasti Aliyev yang berkuasa sejak tahun 1993.
Di era modern, sportwashing banyak dikaitkan dengan regional Timur Tengah, terutama lewat ekspansi besar-besaran di industri sepak bola.
Taruhlah Arab Saudi yang juga dianggap tengah melakukan upaya serupa lewat rencana mereka mengakuisisi klub Premier League, Newcastle United.
Konsorsium ternama Arab Saudi, Public Investment Fund (PIF), yang dipimpin oleh Putra Mahkota, Mohammed bin Salman, berencana mengakuisisi The Magpies dari tangan Mike Ashley senilai 300 juta pounds, atau Rp 5,8 triliun.
Wacana itu sudah terdengar sejak tahun lalu. Namun, laporan terakhir menyebut finalisasi pembelian klub Liga Inggris itu akan segera rampung.
Banyak yang menganggap bahwa rencana itu tak lain sebagai bentuk sportwashing dan dikaitkan dengan isu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh otoritas kerajaan Arab Saudi. Pandemi Covid-19 menjadi momen yang pas karena media massa masih berfokus pada penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi.
Arab Saudi dianggap tengah berusaha membersihkan citranya sebagai negara yang gemar melanggar HAM dengan menggelar sejumlah ajang olahraga bergengsi seperti yang dilakukan oleh Azerbaijan.
Amnesty International menilai Arab Saudi telah melakukan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap para aktivis, serta terlibat pada konflik Yaman, meski tudingan itu dibantah keras oleh otoritas Arab Saudi.
Selain itu, pada 2018, penyidik PBB menyebut ada keterlibatan sang Putra Mahkota terhadap kasus pembunuhan jurnalis Washington Post, Jamal Khashoggi. Lagi-lagi otoritas Arab Saudi melalui Mohammed bin Salman juga membantahnya.
Pembunuhan ini juga dikabarkan berada dalam pusaran yang lebih besar terkait andil Arab Saudi dalam Arab Spring.
Negara monarki otokrasi itu telah menggelar ajang olahraga akbar dalam beberapa tahun terakhir. Mulai dari Piala Super Spanyol yang melibatkan klub-klub seperti Barcelona, Real Madrid, Atletico Madrid, dan Valencia di awal 2020. Selain itu ada pula pertandingan tenis Rafael Nadal dan Novak Djokovic, kejuaraan Formula E, dan gelaran tinju kelas berat Anthony Joshua kontra Andy Ruiz yang digelar di Diriyah Arena.
Walaupun kerap berselisih paham, faktanya Qatar juga memilih langkah yang sama dengan rivalnya, Arab Saudi, untuk melakukan upaya sportwashing.
Upaya yang paling disorot yaitu penunjukan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 yang penuh kontroversi sejak awal. Cara itu dipilih Qatar untuk memoles citra internasionalnya atas perbudakan dan eksploitasi yang dialami oleh pekerja migran dengan sistem Kafala dalam proyek infrastruktur negara petrodollar itu, termasuk pembangunan venue untuk Piala Dunia 2022 mendatang.
Mohammad Bin Hammam, mantan presiden Asian Football Association (AFC) yang juga berasal dari Qatar dituding menjadi bohir di balik kontroversi tersebut dengan menghabiskan total US$ 5 juta.
Suap senilai sekitar US$ 1,5 juta disebut mengalir ke petinggi-petinggi asosiasi sepak bola di sejumlah negara agar mereka bersedia memilih Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Uang haram tersebut kabarnya juga datang dari perusahaan dan sejumlah kalangan elit di Qatar yang memiliki kepentingan.
Meski kontroversi dan kasus suap itu sudah menjadi rahasia pubik, tapi status Qatar sebagai tuan rumah ajang sepak bola 4 tahunan masih berlanjut. Komite Etik FIFA menyatakan aturan yang dilanggar hanya dalam lingkup terbatas dan tidak terbukti terkait proses pemilihan tuan rumah Piala Dunia. Dalam hal ini kekuatan petrodollar sulit dibendung.
Selain di gelaran Piala Dunia, strategi serupa juga dipraktikkan oleh elit Qatar lainnya pada level klub. Sebut saja pimpinan beIN Media Group Nasser Al-Khelaifi yang juga pemilik klub yang melaju ke final Liga Champions 2019/20 kontra Bayern Munchen, Paris Saint Germain.
Final Liga Champions yang akan berlangsung pada Senin (24/08/2020) depan seakan menjadi holy grail bagi Qatar untuk menegaskan hegemoni mereka di kompetisi sepak bola antar-klub paling prestisius di daratan Eropa.
Negara petrodollar lainnya, Uni Emirat Arab yang diwakili oleh Abu Dhabi, juga tak mau kalah untuk menancapkan kukunya di bidang sepak bola.
Akuisisi Manchester City oleh Sheikh Manshour melalui City Football Group menjadi tonggak awal Abu Dhabi memoles citranya dengan gelontoran dana tak terbatas mereka di Liga Inggris.
Selama 31 tahun menjabat sebagai RI-1 sejak tahun 1967, Soeharto dikenal sebagai sosok yang tak memiliki ketertarikan dalam dunia sepak bola.
Kala itu kompetisi buatan presiden RI ke-2 ini dicitrakan memiliki level gengsi melebihi Liga Perserikatan di era PSSI pimpinan Bardosono.
Piala Soeharto yang mulai digelar tahun 1973 itu bisa diartikan sebagai salah satu cara Soeharto untuk merebut simpati publik dan mengaburkan sejumlah Pelanggaran HAM yang ia lakukan.
Pandangan berbeda ditunjukkan oleh presiden RI pertama, Soekarno, yang memandang sepak bola sebagai media pemersatu bangsa dan penyebar semangat nasionalisme. Hal ini yang kiranya patut dicontoh oleh seluruh otoritas sepak bola Indonesia.
*****
Pembangunan citra yang dimaksud bisa sebagai counter-labelling atau rebranding guna membangun citra baru atas sebuah organisasi atau negara.
Ketika negara-negara itu diberitakan, sportwashing diharapkan mampu menonjolkan faktor sepak bola yang lebih masif dibandingkan pelanggaran HAM yang dilakukan.
Alasan lain kenapa sportwashing efektif adalah, meski kontroversi tetap dibicarakan, begitu laga sepak bola dimulai, perhatian publik teralihkan dan tidak lagi membahas pelanggaran yang dianggap kontroversial tersebut.
Kekuatan ekonomi menjadi faktor krusial dalam pembangunan sebuah tim atau kompetisi. Di sisi lain, reputasi kompetisi juga dipertaruhkan jika terlalu banyak intrik politik yang dilibatkan.
Terlepas dari kebijakan bisnis otoritas sepak bola yang dituding sebagai praktik sportwashing, tidak ada yang salah dengan investasi di bidang sepak bola. Namun, HAM adalah konsep hukum yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya sebagai seorang manusia.
Artinya, setiap negara memiliki kewajiban untuk menempatkan HAM di atas kepentingan lainnya, termasuk sepak bola sekalipun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H