Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Duo Kritikus Fadli Fahri dalam Jerat Taktik Rangkul ala Jokowi, Rizieq Kapan?

12 Agustus 2020   16:41 Diperbarui: 13 Agustus 2020   05:26 1083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tanda kehormatan dari Presiden RI, Bintang Mahaputera. Salah satunya adalah Bintang Mahaputera Nararya.| (https://www.setneg.go.id/) via Kompas.com

Politik adalah perang dalam bentuk yang lebih ramah, namun tetap sama-sama mematikannya. Jika dalam perang yang menang menjadi arang dan yang kalah menjadi abu, dalam dunia politik belum tentu, karena politik ialah seni segala kemungkinan (the art of possibillities).

Melalui lobi-lobi dan beragam upaya transaksional, semua yang awalnya mustahil dengan sekejap menjadi mungkin dan dimungkinkan. Seperti itulah politik bekerja. Tidak ada lawan yang abadi, karena yang abadi adalah kepentingan politik itu sendiri.

Dalam magnum opus-nya, The Art of War, Sun Tzu memiliki prinsip bahwa menangkap musuh itu lebih utama daripada menghancurkannya secara keseluruhan.

"Keep your friends close and your enemies closer" – Sun Tzu

Mungkin saja Jokowi selama ini telah menjalankan seni perang ala Sun Tzu dengan merangkul lawan politiknya, alih-alih melancarkan serangan.

Jokowi sadar betul bahwa strategi merangkulnya itu sangat efektif untuk meminimalisir tensi para rival politiknya guna melakukan perlawanan. Setidaknya untuk sedikit mengurangi intensitas kebisingan di media massa dan sosial.

Bara api kontestasi dalam Pilpres 2014 dan 2019 seakan padam begitu saja semenjak kubu opisisi berangkulan mesra dengan rezim penguasa.

Masih hangat dalam benak, bagaimana Prabowo "meledak-ledak" sembari menggebrak-gebrak meja podium saat menyinggung antek asing di hadapan para pendukungnya pada 2019 lalu.

Luapan emosional yang sama juga diperlihatkan Prabowo di depan musuh bebuyutannya itu pada ronde ke-4 debat Pilpres 2019 ketika membahas tentang isu pertahanan.

Namun, setelah jabatan menteri ia sandang, ledakan itu tidak lagi terlihat. Kritik-kritik pedas yang kerap ia lontarkan sebelum menjadi mancan ompong pun tak lagi terdengar.

Sebelum itu, kompatriotnya di Pilpres 2014, Aburizal Bakrie, Hary Tanoe, dan Ali Mochtar Ngabalin sudah lebih dulu merapat ke kubu Jokowi. Ketiga nama itu juga tidak kalah vokalnya dalam melontarkan kritikan-kritikan tajam sebelum bergabung ke dalam tampuk kekuasaan.

Tanda kehormatan dari Presiden RI, Bintang Mahaputera. Salah satunya adalah Bintang Mahaputera Nararya.| (https://www.setneg.go.id/) via Kompas.com
Tanda kehormatan dari Presiden RI, Bintang Mahaputera. Salah satunya adalah Bintang Mahaputera Nararya.| (https://www.setneg.go.id/) via Kompas.com
Polemik mengalir deras setelah kabar penghargaan Bintang Mahaputera Nararya yang akan diterima oleh Fadli Zon dan Fahri Hamzah itu disampaikan oleh Menkopolhukam, Mahfud MD via akun Twitter-nya.

Munculnya Duo F pada daftar nama yang berhak atas penghargaan dari Presiden Jokowi cukup mengejutkan publik. Banyak yang menilai dua sejoli partai Gerindra dan partai Gelora itu tidak pantas menerima penghargaan.

Pasalnya, sepak terjang kedua politisi yang gemar mengkritik dibandingkan melakukan kerja aspiratif-konstruktif sebagai wakil rakyat yang terhormat.

Tak jarang pula sebagai figur publik mereka melakukan provokasi yang menimbulkan perpecahan.

Saat ini, Fadli sedang getol-getolnya mengkritik cara pemerintah menangani Covid-19, sementara Fahri mengkritik kapabilitas Jokowi dalam memerintah.

Jokowi sudah cukup berpengalaman menaklukkan lawan-lawannya di dua periode Pilpres. Kubu oposisi yang dikomandani oleh Prabowo sukses ia jinakkan, kecuali dua sosok politisi "liar" yang akan menerima penghargaan prestisius itu pada HUT ke-75 RI nanti.

Bisa jadi itulah yang melatarbelakangi Jokowi untuk memberikan penghargaan kepada duo kritikus yang paling berisik seantero negeri ini.

Jika boleh diibaratkan, Jokowi tak ubahnya samsak tinju yang siap dihantam kapan saja oleh keduanya. Selalu saja ada celah kritik dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Setidaknya mereka berdua sudah bekerja dengan baik meski hanya bermodal retorika.

Di sisi lain, berkurangnya oposisi dapat berakibat pada laju demokrasi yang terseok-seok, atau bahkan berjalan mundur. Tidak ada kontrol parlemen yang kuat terhadap eksekutif, karena anggota parlemen satu per satu berada di dalam genggaman koalisi pemerintah.

Selain untuk membungkam kritik dari oposisi, penghargaan itu juga menjadi momentum yang sangat tepat jika digunakan untuk kepentingan Pilkada mendatang.

Sebagaimana kita tahu, majunya Gibran dan Bobby syarat akan nuansa dinasti politik. Hal ini menjadi pemicu utama bagi pihak opisisi untuk melawannya. Di samping itu, Jokowi juga sedang membutuhkan dukungan.

Perlu diketahui, Bintang Mahaputera ialah tanda kehormatan tertinggi setelah tanda kehormatan Bintang Republik Indonesia. 

Penghargaan itu diberikan kepada mereka yang telah berjasa di berbagai bidang yang bermanfaat bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa dan negara.

Lantas apakah Fadli dan Fahri sudah memenuhi semua unsur tersebut? Apalagi syarat umum untuk memperoleh tanda kehormatan ini adalah memiliki integritas moral dan keteladanan serta berkelakuan baik sesuai Pasal 25 UU Nomor 20 Tahun 2009.

Bahkan sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, menilai bahwa pemberian Bintang Mahaputera Nararya itu sebagai 'obral penghargaan' yang juga terjadi di era Soeharto dan Habibie.

Justru mereka yang selama ini sudah bekerja dalam senyap demi persatuan dan keutuhan bangsa tidak memperoleh apresiasi yang sama. Sebut saja para tokoh NU dan Muhammadiyah atau para pegiat kemanusiaan.

Jokowi bisa sedikit bernafas lega. Pada akhirnya, satu-persatu lawan politiknya berhasil ia rangkul untuk menjadi kawan dan ia sudah melakukannya dengan sangat baik. Lagi-lagi arah wajah politik semakin monolitik.

Jika memang penghargaan itu "murni" diberikan untuk orang yang telah berjasa besar bagi bangsa dan negara, masih banyak nama-nama lain yang lebih berhak menerima.

Fahri dan Fadli sudah, Rizieq kapan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun