Kemudian pada 2017 penyiraman juga dilakukan oleh Lamaji, lantas Majelis Hakim di PN Mojokerto memvonisnya dengan hukuman 12 tahun penjara. Ada pula kasus Ahmad Irawa, Majelis Hakim PN Palembang menjatuhkannya hukuman 10 tahun penjara.
Lalu apa yang membedakan kasus yang dialami Novel dengan kasus penyiraman serupa lainnya yang rata-rata diganjar dengan hukuman 10 tahun penjara?
Kasus-kasus high profile yang menyasar pembela HAM seringkali berakhir tidak adil dan mengambang seperti yang dialami Novel. Kasus serupa juga mengingatkan kita akan apa yang dialami Munir 15 tahun silam.
Motif yang diungkapkan di pengadilan juga sama, dendam pribadi. Ada kesan kasus dipersempit dan dikaburkan dengan hanya menjaring pelaku kelas teri, sedangkan aktor intelektual kelas kakapnya bebas tak tersentuh.
Di sisi lain, dalam kasus penusukan terhadap mantan Menkopolhukam Wiranto. Pelaku penusukan yakni Syahrial Alamsyah alias Abu Rara dituntut 16 tahun penjara.
Sementara dua terdakwa lainnya, yakni Fitri Diana alias Fitri Adriana (istri Abu Rara) dituntut 12 tahun penjara dan Samsudin alias Abu Basilah dituntut 7 tahun penjara. Seperti yang dilansir dari Kompas.com.
Abu Rara didakwa merencanakan pemufakatan jahat, persiapan, percobaan atau perbantuan untuk melakukan tindakan terorisme dengan melakukan penusukan pada Wiranto pada 10 Oktober 2019.
Meski sama-sama termasuk ke dalam kategori tindak penyerangan terhadap seseorang, namun terdapat perbedaan di kedua perkara. Perbedaan yang mencolok ialah kasus penusukan Wiranto dinilai sebagai terorisme. Sementara kasus penyerangan Novel dianggap penganiayaan.
Dalam KBBI, teroris ialah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik. Sedangkan terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik) atau praktik tindakan teror.
Jika merujuk pada pengertian yang dipaparkan oleh KBBI. Kasus penyiraman yang terjadi pada Novel tak ubahnya kasus yang menimpa Wiranto yang melibatkan kekerasan serta berpotensi pada hilangnya nyawa.
Selain itu juga dapat menimbulkan ketakutan dalam kapasitasnya sebagai penyidik senior KPK yang memiliki tugas utama memberantas segala tindak korupsi di negeri ini.