Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Belajar, Bukti Pendidikan Kita Krisis Nalar?

14 Juni 2020   18:21 Diperbarui: 14 Juni 2020   18:24 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Merdeka Belajar | Dok. KEMENDIKBUD

75 tahun yang lalu, tepatnya 6 hari setelah Little Boy dan Fat Man dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki yang menyebabkan Jepang menyerah tanpa syarat pada Perang Dunia II (1942-1945).

Kaisar Hirohito (1926-1989) berupaya membangun kembali bangsanya yang sudah porak-poranda. Dan pertanyaan yang pertama kali keluar dari mulut sang Kaisar adalah "Berapa jumlah guru yang tersisa saat ini?"

Para jendral dibuatnya bingung dengan pertanyaan tersebut. Lantas mereka menegaskan kepada sang Kaisar bahwa mereka masih bisa menyelamatkan serta melindunginya meskipun tanpa guru.

Namun, Kaisar Hirohito kembali berkata, "Kita telah jatuh, karena kita tidak belajar. Kita kuat dalam hal persenjataan dan strategi perang. Namun kita tidak tahu bagaimana mencetak bom sedahsyat itu. Kalau kita semua tidak bisa belajar bagaimana kita akan mengejar mereka?"

"Maka kumpulkan sejumlah guru yang masih tersisa di seluruh pelosok kerajaan ini. Karena sekarang kepada mereka lah kita akan bertumpu, bukan kepada kekuatan pasukan." Tegas Hirohito.

Apa yang diucapkan Kaisar Hirohito menegaskan betapa pentingnya guru dan pendidikan dalam membangun dan memajukan sebuah bangsa.

Pendidikan merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa yang unggul. Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang masih memiliki masalah dalam dunia pendidikan.

Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Mendikbud Nadiem Makarim mengusung konsep Merdeka Belajar sebagai solusi untuk mereformasi sistem pendidikan Indonesia.

Ia mendefinisikan konsep Merdeka Belajar sebagai kemerdekaan dalam berpikir, dengan terlebih dulu menerapkannya kepada guru. Menjadi masuk akal, karena tanpa guru yang baik tidak akan mencetak generasi bangsa yang baik pula.

Merdeka Belajar akan menjadi arah pembelajaran yang difokuskan pada peningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Dengan kata lain, ada yang salah dengan sistem pendidikan kita selama ini.

Educational system | imgur.com/andresirhino
Educational system | imgur.com/andresirhino
Sistem pendidikan kita seolah-olah diciptakan untuk mencetak robot yang bertindak berdasarkan sistem yang dibuat oleh penciptanya. Artinya, ia tidak dapat melakukan tugas selain apa yang diprogramkan.

Dalam Merdeka Belajar itu sendiri mengungkapkan bahwa sebelumnya kita masih terjajah oleh sistem pendidikan. Kita hanya diciptakan untuk melakukan tugas tertentu sesuai apa yang diperintahkan oleh sistem. Sehingga sisi humanisme kerap dilupakan.

Jika dilihat dari aspek guru. Mereka lebih disibukkan dengan laporan administrasi yang sejatinya harus lebih banyak digunakan untuk berinteraksi dengan murid-muridnya.

Berkurangnya waktu oleh guru dalam berinteraksi dengan murid-muridnya akan mengurangi kedekatan emosional. Padahal dalam proses belajar mengajar kedekatan emosional antara guru dan murid sangat vital dalam terciptanya pembelajaran yang efektif.

Selain itu, dalam hubungannya dengan konsep pembelajaran. Maka kemerdekaan akan berhubungan erat dengan tingkat penalaran atau yang lebih dikenal dengan higher order thinking skills (HOTS) atau penalaran tingkat lebih tinggi.

Konsep HOTS memiliki 6 level kemampuan nalar, dimulai dari yang paling rendah yakni menghafal (remembering), lalu memahami (understanding), menerapkan (applying), menganalisis (analyzing), menilai (evaluating), dan yang paling tinggi adalah mencipta (creating).

Kemampuan berpikir menghafal, memahami, dan menerapkan disebut dengan penalaran dengan tingkat lebih rendah atau lower order thinking skills (LOTS). Sedangkan, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan, termasuk ke dalam kemampuan berpikir tingkat lebih tinggi (HOTS).

Sementara itu, konsep pembelajaran kita selama ini lebih banyak ditekankan pada hafalan yang diukur dengan pencapaian nilai-nilai tertentu. Taruhlah Ujian Nasional (UN) yang baru-baru ini dihapuskan.

Sehingga murid lebih disibukkan untuk menghafal. Tidak ada ruang untuk mengembangkan daya nalar yang lebih tinggi (HOTS) sesuai dengan daya afektif, kognitif dan karakter individu peserta didik.

Maka tidak heran jika banyak murid yang mengeluh stres karena sistem pendidikan kita salama ini akan memaksa kita untuk menelan terlalu banyak materi untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian (UN).

Teknik hafalan melibatkan ingatan jangka pendek (short-term memory) yang sifatnya terbatas baik dalam kapasitas maupun durasi. Alhasil, akan ada sebagian materi yang hilang, dan sebagian lagi diteruskan ke dalam ingatan jangka panjang.

Kita dipaksa belajar siang-malam selama beberapa bulan untuk menghadapi sebuah ujian, lantas usai mengerjakan ujian itu perlahan-lahan kita mulai lupa dengan materi yang telah kita pelajari.

Bahkan saya pernah berkelakar dengan seorang teman karena stres akibat terlalu banyak belajar menjelang ujian. Ketika tidak sengaja tersandung tangga pun, materi yang kita pelajari akan rontok berceceran dengan sendirinya.

Artinya apa yang sudah kita pelajari siang malam mengorbankan waktu istirahat serta berkumpul bersama keluarga selama ini tidak bermanfaat untuk kehidupan kita--karena sudah dilupakan.

Setelah ditiadakannya UN, kini guru berhak penuh untuk menguji siswa yang semula diambil alih oleh pusat. Sebuah keputusan yang tepat, mengingat guru adalah pihak yang lebih memahami kapasitas kognitif, afektif, penalaran serta karakter peserta didiknya.

Dengan demikian--dalam fungsinya mencerdaskan kehidupan bangsa--Negara mempunyai tugas berat untuk meningkatkan profesionalitas tenaga pengajar dalam hal kapasitas dan kompetensi.

Karena daya nalar juga terkait dengan kemampuan guru untuk mendesain model-model pembelajaran. Semakin baik sistem yang diterapkan oleh tenaga pengajar, maka akan semakin baik pula daya nalar peserta didiknya terhadap apa yang diajarkan.

Sebaliknya, kesalahan sistem akan menghambat daya nalar murid dalam kaitannya dengan aspek intelektual dan psikologis peserta didik. Tanpa sistem pendidikan yang baik, akan mustahil untuk mencetak generasi bangsa yang unggul.

Sumber literasi: 1 & 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun