Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengenal Minimalism ala Fumio Sasaki dan Raditya Dika

6 Juni 2020   19:39 Diperbarui: 8 Maret 2022   13:10 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Minimalism | unsplash.com/benchaccounting

Ketika mendengar kata minimalis, pikiran kita akan secara otomatis menghubungkan dengan desain arsitektur sebuah bangunan atau konsep estetika dalam menata ruangan.

Walaupun sebenarnya, minimalis atau minimalism mempunyai makna yang luas sekaligus kompleks. Termasuk konsep minimalism yang diaplikasikan dalam aspek kehidupan sehari-hari sebagai sebuah gaya hidup.

Bagi yang pernah indekos pasti sudah sangat akrab dengan gaya hidup pas-pasan. Seperti halnya yang saya sendiri pernah rasakan. Dengan kamar kos yang hanya berukuran 3x3 meter--bisa jadi kurang dari itu, dan perabotan seadanya.

Itupun tergantung kemurahan hati dari pemilik kos, karena tak jarang juga yang enggan memberikan fasilitas sama sekali kecuali ruang kamar. Bahkan listrik dan air bersih untuk mandi dikenakan tarif.

Dengan ruang yang sebatas cukup buat rebahan. Regangin tangan ke kiri kena lemari, selonjorin kaki ke kanan mentok tembok. Kadang buat nafas juga ngap-ngapan. Entah ini minimalis apa gembel.

Prinsip pas-pasan itu tak sebatas untuk kamar kos, namun juga menular ke kebiasaan makan. Berangkat dari tradisi anak kos yang sering bangun kesiangan, akhirnya sarapan dirapel dengan makan siang. Hal itu bukan semata-mata dilakukan karena dorongan hidup irit, tapi ya memang tidak salah.

Lain halnya dengan konsep hidup minimalis yang tidak didasarkan karena para pelakunya gembel atau tidak memiliki uang, tetapi menyangkut keyakinan bahwa dengan memiliki barang yang terlalu banyak akan membuat orang menjadi tidak bahagia.

Sedangkan apa yang terjadi pada anak kos justru sebaliknya, keterbatasan atau tidak dimilikinya barang-barang tertentu akan membuatnya sengsara. Setidaknya begitulah yang dulu saya rasakan.

Dalam bukunya--Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang--Fumio Sasaki mengungkapkan awalnya ia adalah seorang maksimalis, sama seperti orang kebanyakan.

Dia tinggal di sebuah apartemen di Nakameguro (Tokyo) yang sudah dihuninya selama 10 tahun sambil bekerja sebagai editor sebuah penerbitan.

Apartemennya penuh dengan barang. Kamar tidurnya dipenuhi buku. Kebanyakan buku itu hanya dibacanya selembar-dua lembar lalu ia campakkan. Lemari pun penuh sesak oleh pakaian, sebagian besar hanya dikenakan beberapa kali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun