Bagi Suku Amungme, Freeport adalah gerombolan perampok yang menjarah kekayaan alam di rumah mereka tanpa ijin. Sedangkan, janji kompensasi untuk mendirikan fasiltas sosial berupa sekolah, pasar, hingga perumahan urung diberikan.
Hingga akhirnya terpiculah konflik pada 1977, suku Amungme yang terdesak murka. Mereka memotong pipa penyalur biji tembaga, membakar gudang, dan membuang persediaan bahan bakar milik Freeport sebagai bentuk perlawanan atas penindasan yang mereka alami di bumi Papua.
Tak berselang lama, insiden sabotase itu terdengar sampai ke istana. Soeharto kemudian bereaksi melalui pendekatan represif dengan menurunkan ABRI.
Kebun dan rumah-rumah milik suku Amungme serta suku lainnya dihancurkan, sejumlah orang dibantai. Pemerintah mengumumkan jumlah orang yang meninggal di Tembagapura sebanyak 900 orang. Para saksi lapangan memperkirakan dua kali lipatnya. Ungkap Harsutejo di laman Historia.id.
Represi lanjutan dilakukan dengan menetapkan Papua (d/h Irian Jaya) sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) selama 20 tahun (1978-1998).Â
Tindakan represif oleh Soeherto adalah simbol rasialisme terbesar di Indonesia. Bagaimana tidak, penduduk asli Papua yang terusir dari tempat tinggalnya serta kekayaan alamnya dikeruk secara masif, namun justru dilawan dengan sikap represif-militeristik hanya karena mereka menuntut keadilan.
Masuknya investasi Amerika yang dianggap sebagai tonggak pembangunan justru menjadi malapetaka bagi pribumi Papua. Gelar "Bapak Pembangunan" yang melekat pada dirinya sangat berlawanan dengan apa yang ia lakukan di tanah Papua.
Jika rasisme di Amerika merujuk pada superioritas kulit putih atas kulit hitam, maka pandangan rasisme di Indonesia ditandai dengan superioritas ras Melayu atas ras Melanesia.
Perlakuan diskriminasi rasial adalah faktor potensial yang merusak semangat kesatuan dan persatuan bangsa. Pun sangat berlawanan dengan asas Bhineka Tunggal Ika.
Selanjutnya dapat menciderai tatanan sosial dalam masyarakat serta mengancam keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia.
Bangsa Indonesia perlu belajar merangkul Papua dari mendiang Gus Dur yang memilih pendekatan persuasif yang humanis, menggelar dialog, dan menumbuhkan kepercayaan orang-orang Papua.