Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

George Floyd, Obby Kogoya, dan Jejak Rasialisme di Indonesia

4 Juni 2020   08:15 Diperbarui: 4 Juni 2020   09:36 2655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Obby Kogoya, Jogja 2016 | suarapapua.com

Akhirnya dia dikenakan tuduhan melawan petugas, kemudian dihukum penjara 4 bulan dengan masa percobaan satu tahun. Meskipun seluruh bukti menunjukkan justru Obby-lah yang menjadi korban.

Apa yang dialami oleh Obby adalah bukti bahwa sistem peradilan di negeri kita juga mengandung 'systemic racial bias' khususnya terhadap orang-orang Papua.

Impunitas merupakan noda dalam demokrasi yang dapat menimbulkan ancaman serius bagi hak asasi manusia. Terlebih jika itu menyangkut aparat yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat.

Gerakan protes melawan rasialisme lewat tagar #BlackLivesMatter menyebar sampai ke Indonesia. Tagar itu dipakai sejumlah aktivis dan simpatisan right to self-determination (hak menentukan nasib sendiri) Papua untuk mengingatkan bahwa Republik Indonesia memiliki masalah rasialisme yang sama.

Para aktivis dan simpatisan Papua meyakini bahwa, rasisme yang diterima orang kulit hitam di Amerika setara dengan nasib orang Papua di Indonesia.

Akar rasialisme di Indonesia bisa ditelusuri sejak upaya perebutan Papua Barat (Irian Barat) yang dilakukan oleh Indonesia dari kekuasaan Belanda.

Nasib Papua mencapai titik nadir ketika Soeharto memberikan ruang seluas-luasnya pada Freeport melalui kontrak karya berdasarkan UU Penanaman Modal Asing untuk mengeruk kekayaan alam Papua.

Pegunungan Erstberg yang disebut-sebut sebagai tambang emas terbesar di dunia yang juga menjadi tempat tinggal penduduk asli dari suku Amungme dikeruk habis-habisan.

Akibat aktivitas penambangan Freeport, Gunung Grasberg berubah menjadi lubang raksasa sedalam 700 meter. Selain itu, limbah pembuangan tambang juga mencemari sungai dan Danau Wanagon yang dianggap suci oleh orang-orang Suku Amungme.

Suku Amungme dan suku-suku lainnya akhirnya terjepit oleh migrasi pendatang baru dari luar Papua. Soeharto menganggap masuknya pendatang akan membawa modernitas ke daerah-daerah terpencil Papua, serta bertujuan untuk manjadikan mereka lebih berbudaya dan beradab. 

Dengan kata lain, Soeharto selama ini menganggap masyarakat Papua sebagai orang-orang tertinggal yang layak terusir dari tempat tinggalnya demi membuka akses invasi dan investasi Amerika untuk mengeruk kekayaan alam Papua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun