Amira mengelus surai Raisa, mencoba menenangkan.Â
"Suatu saat, mama dan ayah pasti akan menceritakan semuanya ke kamu, sayang.. Sekarang belum saatnya. Mama janji hari itu pasti datang." Sahut Amira ditengah keheningan.
"Berita sukanya apa mas?" Lanjut Amira.
"Berita sukanya, ayah sudah berhasil mendapat rumah baru di Majalengka. Rumah sederhana dipinggiran kota. Ayah juga sudah mendaftarkan Raisa di salah satu sekolah dekat rumah. Kebetulan kepala sekolahnya teman kecil ayah."
Mendengar hal tersebut, air mata Raisa meleleh. Seperti biasa, selalu ada pertimbangan sepihak dari kedua orangtuanya -terutama ayah. Raisa memang tipikal anak penurut selama ini. Ia hanya bisa memendam semua keluh kesahnya sendirian. Tidak ada yang pernah tau bagaimana perasaan Raisa selama ini. Ia tidak pernah menangis di depan orang lain, termasuk kedua orangtuanya. Namun ia juga tidak ceria. Dalam artian lain, Raisa terlalu tidak ekspresive akan perasaannya. Namun berbeda dengan malam ini, ia tidak bisa lagi sembunyi dan menahan air matanya.Â
Melihat itu, Amira segera meraih Raisa ke dalam pelukannya. Membiarkan putri semata wayangnya itu menumpahkan kekecewaan atas keputusan yang suaminya buat.Â
-----Flasback of-----
"Weh Sa, bener-bener ya, malah ngelamun lagi." Sahut Fita.
"Eh iya, gimana tadi?"
"Ya kamu gimana, jadi ikut apa ngga ke Puncak?"
"Hmm, Fit, sebenernya..." (Teng Teng Teng)