Mata Nawisa Si Pengembara bersinar kagum. Tampak dari sebalik dedaunan rimbun, terdapat sebuah desa. Perlahan, Si Pengembara menuruni bukit dengan hati-hati. Seorang pemuda yang memanggul alat cangkul menyapanya. Si Pengembara menghentikan langkah pemuda itu, “Wahai pemuda, di manakah saya berada saat ini?”. Sang Pengembara dengan ramah menjawab, “Anda berada di Desa Weninggati Adiluwih. Apakah Anda penduduk baru, wahai gadis cantik?”. Nawisa Si Pengembara menjawab, “Bukan, wahai pemuda. Saya hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat di desa ini. Terima kasih, wahai pemuda. Saya ingin melanjutkan perjalanan saya, permisi”. “Silakan, hati-hati,” jawab pemuda dengan senyum ramah.
Langkah Nawisa membawa dirinya melewati sebuah desa yang tampak sibuk dan ramai dengan aktivitas. Para pedagang sayur memikul sekeranjang sayur, pedagang daging mengipasi daging agar tidak dihinggapi lalat, penjual menawarkan dagangan di sepanjang jalan, dan suara palu dari tukang las menggema di udara, menambah riuh suasana. Dalam hati, Nawisa merenung, "Setiap orang di sini tampak sibuk menjalani perannya masing-masing. Apakah mereka pernah mempertanyakan tujuan dari semua ini? Ataukah justru dalam kesibukan inilah mereka menemukan arti hidup?"
Nawisa berhenti sejenak di sudut jalan, memperhatikan keramaian yang begitu hidup. Di tengah hiruk-pikuk itu, matanya tertuju pada seorang anak kecil yang duduk di bawah pohon rindang. Wajahnya ceria, senyumnya tulus, dan setiap orang yang lewat tampak menyapa anak itu dengan ramah. Anak kecil itu pun membalas setiap sapaan dengan kalimat-kalimat pendek yang sederhana, tetapi penuh makna.
Pikirannya terus melayang ketika tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara seorang pria paruh baya. "Pengembara, kau terlihat asing di sini. Apa yang kau cari?" tanya pria itu dengan senyum ramah. Nawisa terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan, "Aku mencari... makna hidup”. Pria itu tertawa kecil. "Mungkin kau tidak perlu mencari terlalu jauh. Lihatlah desa ini. Setiap suara, setiap langkah, dan setiap tawa menyimpan jawaban—hanya saja, kita sering kali tidak mendengarnya." Kata-kata itu menggema di benak Nawisa. Ia pun memutuskan untuk tinggal lebih lama di desa tersebut, menyelami kesibukan dan keramaian, berharap menemukan jawaban di sela-sela rutinitas kehidupan sederhana yang tampak biasa, tetapi penuh arti.
Perpisahan: Sampai Jumpa Lagi
Dalam mengakhiri artikel "Kekuatan Komunikasi: Nawisa Si Pengembara & Sang Mata Bercerita," penyunting artikel menyadari bahwa tulisan ini merupakan perpaduan antara kisah imajinasi dan cerita berdasarkan pengalaman nyata, yang diolah untuk memberikan suatu pesan moral. Cerita ini mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya komunikasi dalam menjalani kehidupan, serta bagaimana setiap langkah dan pertemuan memiliki makna yang mendalam. Seperti Nawisa yang menatap Sang Mata Bercerita dengan tatapan penuh tanda tanya, "Apakah jawaban yang ia cari benar-benar ada di desa ini? Ataukah perjalanan sebenarnya baru akan dimulai?". Semoga karya ini dapat memberikan inspirasi dan bermanfaat bagi pembaca, serta mengingatkan kita bahwa setiap perjalanan hidup, baik nyata maupun imajinasi, selalu mengandung pelajaran berharga. Penyampaian saran dan komentar yang membangun sangat diperlukan untuk menunjang karya, jika Anda ingin mengetahui kelanjutan cerita “Nawisa Si Pengembara & Sang Mata Bercerita” atau ingin mengirimkan saran dan komentar yang membangun, sangat dipersilakan untuk menghubungi melalui DM di Instagram @aisyahnoviadwina
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H