Jika setiap buku yang telah saya jumpa bisa berbicara seolah mereka mahluk hidup mungkin mereka akan mengatakan hal yang serupa pada saya, dan barangkali pada setiap manusia yang mereka jumpai juga didunia ini.
"Kamu adalah tanggung jawab kamu."
Ah, bukannya itu terdengar begitu familier? Klise, iya. Tapi kenyataannya ,saya atau kamu bahkan perlu berulang kali ditampar oleh pernyataan tersebut selamanya karena, well.. Kita tidak sebertanggung jawab itu dalam segala aspek dihidup kita.
Ada banyak tanggung jawab didunia ini, sama halnya seperti kebahagiaan. Namun, jika memaknai tanggung jawab, secara umum orang-orang akan menjawab tanggung jawabnya sebagai posisi ini dan itu.Â
Peran dalam struktur sosial, entah itu sebagai pelajar, pekerja, orang tua, atasan, rekan, kawan dan sebagainya. Tetapi kita terkadang melupakan tanggung jawab kita sebagai diri sendiri, sebagai mahluk yang begitu personal, dalam segi identitas, kepribadian dan pikiran (self-thought).
Kita sangat mengetahui bahwa kita sebagai manusia sangat beragam, unik, dan tidak ada yang benar-benar serupa. Lantas, mengapa sebuah tanggung jawab ini hanya ditekankan hanya dalam posisi/peran-peran umum yang jutaan orang lainnya juga memegang posisi tersebut?
Inilah yang dimaksud dari "Kamu adalah tanggung jawab kamu." dari setiap buku yang saya baca.
Kita memegang tanggung jawab terhadap personal, yang juga berpengaruh kepada kehidupan sosial dan seiring waktu pengaruh itu meluas dampaknya.Â
Tanggung jawab ini berupa sebentuk usaha, respons, sudut pandang, nilai, perilaku, etika, kebiasaan (habits), suara personal (internal voice) yang tidak dipengaruhi oleh aspek luar atau kondisi-kondisi yang berasal dari manusia lain.Â
Hal tersebut merupakan hal-hal yang sepenuhnya bisa kita kontrol melalui penalaran dan pemikiran yang berulang. Inilah yang membedakan diri kita terhadap orang lain ataupun binatang. Kita memiliki pemikiran, prinsip dan tujuan yang berbeda.Â
Tumbuh di lingkungan yang berbeda dan kondisi yang berbeda, membuat kita lebih paham mengenai persoalan yang dialami terhadap diri sendiri dan juga lingkungan kecil kita.
Berfokus pada tanggung jawabmu sebagai posisi dalam kehidupan sosial hanya akan berdampak memberi pemikiran bahwa orang lain tidak mengerjakan tanggung jawab sesuai perannya.
Bahwa orang lain menghalangi kewajiban kita sebagai pemeran ini dan itu, dan dunia ini selamanya tidak akan berjalan baik jika semua orang menghalangi tanggung jawabmu.
Yah.. Kembali lagi, barangkali semua itu adalah kenyataan, fakta yang harus ditelan bahwa dunia tidak berputar sesuai ketentuan kita dan banyak manusia yang tidak memegang tanggung jawabnya.Â
Tapi satu alasan lagi yang bisa dikatakan bahwa, berfokus pada tanggung jawabmu sebagai posisi akan memberi dampak pemvalidasian adalah kamu berhak menyentuh garis batasan manusia lain karena posisi dalam kehidupan sosialmu lebih tinggi dan penting. Dan ini yang menyangkut dengan pernyataan yang kedua.
"Sekali lagi, kamu tetaplah manusia."
Terlepas dari siapa kamu didunia ini, apa yang telah kamu capai, apa yang kamu miliki saat ini, berapa banyak manusia yang berada disisimu, mendukungmu, sekali lagi, kamu tetaplah manusia.
Kita seringkali terjebak dalam ilusi bahwa nilai personal kita terletak dari segala hal yang terlihat kepada manusia lain tapi melupakan bahwa kita masih membawa karakter dan nilai dasar yang secara umum dimiliki oleh manusia.
Perasaan superioritas merupakan hal yang lumrah, kecemasan dan ketakutan juga sangat umum dimiliki. Namun jika itu memvalidasi hak kita untuk memerangi manusia lain lah yang salah.
Banyak dari kita yang sering kali mencoba menang-kalahkan suatu permasalahan daripada solusi dan negosiasi.Â
Mengatasnamakan posisi untuk mengambil tindakan atas dasar ego sampai memungkinkan untuk mengeksploitasi, memanipulasi manusia lain hingga akhirnya kita mengurangi salah satu nilai yang seharusnya dimiliki semua mahluk hidup. Kualitas hubungan dan keselarasan diri dengan alam sekitar.
Mulailah dari melihat dampak jangka panjang yang telah kita lakukan dalam hubungan interpersonal kita serta evaluasi ulang mengenai tindakan yang kita perbuat.Â
Kita tetaplah manusia, begitu juga teman-temanmu, keluargamu, pasanganmu, atasanmu, gurumu. Kita yang memulai segalanya dari kesalahan dan terus memperbaiki diri secara berulang.Â
Nilai dan karakter dasar ini akan masih tetap ada, yang kita lakukan hanya penyadaran diri secara berulang.
Segala hal tidak berjalan dengan jangka waktu yang panjang, kita tidak secara konstan bahagia, begitu juga tidak disetiap keadaan dengan perasaan optimis. Kadang kala kita melakukan penilaian secara subjektif, bukannya objektif.Â
Dan semua hal yang kita serap itu tidak lebih dari teori yang membawa hanya membawa perubahan kecil. Namun juga perubahan kecil ini jauh lebih berarti dibandikan dengan perubahan besar tiba-tiba yang seringnya membawa kehancuran.
Setelah tulisan yang agak panjang ini kamu kira saya merasa percuma membaca buku-buku best seller diluar sana? Tidak, bahkan ada banyak hal baik yang belum saya katakan dari setiap pertemuan saya dengan buku-buku itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H