Baru-baru ini kasus kekerasan seksual sedang menjadi pokok pembicaraan dan masalah masyarakat Indonesia. Pasalnya kasus ini sedang marak terjadi dan banyak korban yang mulai speak up atau buka suara tentang kekerasan seksual yang telah menimpanya.Â
Kebanyakan, para korban akhirnya membuka suara setelah kejadiannya telah berlangsung lama. Hal ini karena rasa takut,cemas, mendapat ancaman dari pelaku, rasa trauma serta pertimbangan dampak apa yang akan teradi jika melapor sehingga korban kesulitan mendapat keadilan atas kekerasan seksual.
Perbuatan cabul dalam KUHP diatur dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan (Pasal 281 sampai Pasal 303). Misalnya, perbuatan cabul yang dilakukan laki-laki atau perempuan yang telah kawin (Pasal 284), Perkosaan (Pasal 285), atau membujuk berbuat cabul orang yang masih belum dewasa (Pasal 293). Seharusnya, hukum di Indonesia dapat mengatasi kasus seperti ini dengan lebih serius agar tidak memakan korban lagi.
Kasus kekerasan seksual ini juga terjadi di industri perfilman Indonesia. Salah satunya pada film Penyalin Cahaya, yang baru tayang di Netflix, pada 13 Januari 2022.Â
Film panjang pertama karya sutradara Wregas Bhanutedja itu sudah dinanti oleh khalayak yang kemudian disusul kemenangan besarnya di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2021 dengan memborong 12 Piala Citra dan 17 nominasi, termasuk kategori Film Cerita Panjang Terbaik dan Sutradara Terbaik.
Menurut isu yang beredar, terdapat salah satu krunya yang menjadi pelaku kekerasan seksual. Kabarnya, kru tersebut merupakan salah satu penulis skenario.Â
Informasi tersebut dirilis ke publik oleh rumah produksi film Penyalin Cahaya, Rekata Studio dan Kaninga Pictures, yang menyatakan mungkin akan mencoret nama kru yang diduga menjadi pelaku kasus kekerasan seksual di masa lalu.
Munculnya berita seperti ini sangat disayangkan karena film pertama Wregas Bhanuteja ini bercerita tentang sulitnya korban kekerasan seksual dalam mencari keadilan, terlebih lagi melawan pelaku yang memiliki kekuasaan dan status sosial yang terkenal.Â
Oleh karena itu, sebagai bentuk tanggung jawab etik dan komitmen terhadap penumpasan kekerasan seksual, pihak  produksi sepakat menghapus nama kru yang menjadi tersangka dari kredit film. Berdasarkan penyataan tersebut bahwa kru tersebut tidak lagi menjadi bagian dari film Penyalin Cahaya dan Rekata Studio.Â
Pencoretan nama yang diduga pelaku tersebut ternyata semakin membuat film ini jadi pembahasan publik. Warganet yang tetap mendukung penayangan film ini asalkan gelar yang telah dirain sebagai pemenang FFI dicabut.
Seharusnya dari film ini dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua agar dapat terhindar dari kekerasan seksual, tapi apa boleh buat jika ternyata penulis skenarionya sendiri diduga menjadi pelaku atas perbuatan di masa lalunya. Â
Sutradara Wregas Bhanuteja mengimplementasikan film Penyalin Cahaya sebagai sarana untuk menyuarakan isu kekerasan seksual yang selama ini disembunyikan oleh masyarakat Indonesia.Â
Ia menganggap film adalah sarana untuk berkomunikasi yang paling efisien untuk membuka suara dari kegelisahan yang sedang terjadi di masyarakat, termasuk isu kekerasan seksual yang tidak lain menjadi tema dalam film Penyalin Cahaya.
Agar kasus kekerasan seksual tidak selalu berlanjut sebaiknya pemerintah lebih tegas memperketat hukum dan undang-undang yang mengaturnya. Bukan hanya dari pemerintah yang kurang tegas, tapi sepertinya memang dari faktor manuasianya yang kurang mendapatkan pendidikan mendasar karena di Indonesia pendidikan seksual masih dianggap tabu.Â
Harapannya, kita sebagai kaum wanita ataupun laki-laki merasa aman ketika berada di suatu tempat dan memiliki perlindungan undang-undang yang kuat. Dan untuk para korban, jangan takut untuk segera melapor agar kejadian ini dapat dicegah dan segera diberantas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H