Salah satu prosedur yang dilakukan pada percobaan tersebut adalah menempatkan tikus wild-type dan transgenik dengan massa yang sama pada treadmill yang memiliki suplai oksigen secara terus-menerus dan dibiarkan berlari sampai mengalami kelelahan. Hasil prosedur tersebut menunjukkan bahwa tikus transgenik mampu berlari selama 67% lebih lama dan jarak yang ditempuhnya 92% lebih jauh dibandingkan dengan tikus wild-type.
Tikus transgenik berlari 1 jam lebih lama daripada tikus wild-type, yang berarti hampir 1 kilometer lebih jauh. Tidak ada perbedaan massa dan lamanya aktivitas harian antara tikus transgenik dan wild-type. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ketahanan berlari yang dimiliki oleh tikus transgenik pastilah merupakan perubahan tipe serabut otot yang diinduksi oleh ekspresi berlebih dari gen PPAR.
Serabut otot tipe I dapat dengan jelas dibedakan dari serabut otot tipe II karena warna merahnya yang diakibatkan oleh kandungan mioglobin, sejenis hemoglobin yang terdapat pada otot. Pada tikus transgenik, otot kakinya memiliki warna yang lebih kemerahan. Pengamatan lebih lanjut menunjukkan bahwa ikus transgenik juga mengalami peningkatan produksi gen pengode protein kontraktil untuk serabut lambat (slow fiber), biogenesis mitokondria, dan -oksidasi yang menguatkan bahwa perubahan tipe serabut otot secara cepat, sistematik, dan terkoordinasi menuju serabut otot tipe I dapat dicapai dengan aktivasi jalur PPAR
PPAR merupakan faktor transkripsi yang membutuhkan ligan tertentu untuk berikatan agar bisa bekerja. Bagaimana PPAR endogen bisa diaktivasi melalui latihan dan olahraga rutin? Pertama, diduga kuat bahwa olahraga meningkatkan jumlah ligan PPAR seiring dengan pengambilan dan pembakaran asam lemak oleh sel. Asam lemak dan metabolitnya dapat mengaktivasi PPAR. Kedua, olahraga mungkin menginduksi ekspresi PGC-1 yang kemudian mengaktivasi PPAR. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami interaksi antara PPAR dan komponen regulasinya dalam mengubah tipe serabut otot.
Penjelasan mengenai hasil penelitian di atas mengindikasikan bahwa faktor eksternal, yaitu olahraga dan latihan rutin dapat memberikan pengaruh berupa penebalan otot bilik kiri yang akhirnya akan meningkatkan cardiac power output (kemampuan memompa oleh jantung). Selain itu, olahraga juga menyebabkan peningkatan jumlah serabut otot tipe I melalui konversi serabut otot yang dalam hal ini sangat diperlukan untuk ketahanan (endurance) yang salah satunya merupakan faktor penting dalam maraton.
Jadi, kesimpulan yang bisa diambil adalah kita tidak bisa mengatakan bahwa kemampuan berlari semua orang adalah sama sejak lahir. Memang kemampuan berlari seorang atlet sebagian besar dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu frekuensi latihan yang akan mempengaruhi ukuran otot, tipe serabut otot, dan curah jantung.Â
Akan tetapi, berdasarkan beberapa penelitian juga mengemukakan bahwa faktor genetis turut berkontribusi terhadap kemampuan berlari seseorang. Seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat beberapa gen yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan kerja otot manusia, yaitu ACTN3 dan angiotensin-I-converting enzyme (ACE). Terdapat kecenderungan bahwa atlet profesional memiliki genotipe tertentu untuk kedua gen tersebut. Jadi, sebenarnya seseorang dengan genotipe yang menguntungkan bila melakukan latihan optimal akan lebih diuntungkan (lebih mudah) untuk menjadi seorang atlet, dalam hal ini adalah pelari maraton, dibandingkan dengan seseorang dengan genotipe yang kurang menguntungkan.
Referensi:
Sherwood, L. 2004. Human Physiology from Cells to System 5th ed. New York: Thompson Learning-Brooksdale Cole.
Guth, Lisa M., Roth, Stephen M., Genetic Influence on Athletic Performance. Curr Opin Pediatr 25(6): 653--658.