Dalam beberapa penelitian, ditemukan bahwa alel R cenderung menguntungkan untuk kegiatan yang membutuhkan kekuatan (power) karena genotipe RR untuk gen ACTN3 diekspresikan secara berlebih pada atlet-atlet yang membutuhkan kekuatan besar, seperti pelari jarak pendek (sprinter), sedangkan genotipe XX diasosiasikan dengan kemampuan sprinting yang lebih rendah, namun ketahanan yang lebih besar.
Dalam sebuah penelitian, power athletes seperti sprinter memiliki kemungkinan bergenotipe XX 50% lebih rendah dibandingkan kelompok  non-atlet dan endurance athletes seperti pelari maraton memiliki kemungkinan bergenotipe XX sebesar 1,88 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bergenotipe RR dan kemungkinan ini lebih besar 3,7 kali pada atlet tingkat dunia dibandingkan dengan atlet dengan tingkat kompetisi yang lebih rendah, menunjukkan bahwa genotipe ACTN3 berperan besar dalam performa atlet pada kompetisi tingkat dunia.
Penjelasan di atas menyatakan bahwa terdapat pengaruh faktor genetik yang cukup kuat pada performa atlet maraton.
Faktor eksternal seperti latihan rutin dapat mempengaruhi keadaan anatomi seseorang. Aleksandar V. Klasnja dan koleganya melakukan sebuah penelitian pada 20 orang atlet sepak bola dan basket dan 32 pria non-atlet untuk mengetahui perbedaan performa jantung antar kedua kelompok. Para subyek penelitian diminta untuk bersepeda dengan kecepatan awal 50 rotasi per menit (rpm) yang dipercepat setiap 3 menit. Uji dihentikan ketika subyek telah mencapai heart rate maksimal menurut perkiraan usia, meminta untuk dihentikan karena kelelahan, atau tidak bisa mempertahankan kecepatan 50 rpm. Saat mendekati penghentian uji, tekanan darah subyek diuji. Setelah itu dilakukan perekaman parameter ekokardiografi. Data yang diperoleh kemudian dianalisis.Â
Dari penelitian tersebut, didapatkan hasil bahwa saat beristirahat, tekanan darah sistolik para atlet lebih rendah daripada para non atlet. Rata-rata tekanan darah arteri dan cardiac poweroutput (kemampuan memompa oleh jantung) saat pengujian lebih tinggi pada kelompok atlet dibandingkan dengan kelompok non-atlet.
Saat proses latihan, terjadi peningkatan pada muatan hemodinamik jantung pada atlet. Salah satu mekanisme kompensasi dasar yang terjadi di jantung adalah hipertrofi miokardia yang berarti terjadi peningkatan massa otot di bilik kiri (Abergel et al., 1995). Setelah membandingkan nilai rata-rata ukuran dan volume jantung antara kelompok atlet dan non-atlet, mereka menemukan bahwa terdapat perbedaan signifikan pada ketebalan dinding posterior bilik kiri, septum interventrikular, dan ukuran bilik kiri dalam keadaan sistol.Â
Hal ini membuktikan bahwa latihan yang intensif memberikan perubahan pada otot jantung. Jantung yang lebih kuat memompa darah dengan usaha yang lebih kecil. Atlet, terutama atlet aerobik, cenderung memiliki tekanan darah sistolik yang lebih kecil (Cornelissen & Fagard, 2005). Hal ini mungkin bisa menjelaskan perbedaan tekanan darah sistolik dan rata-rata tekanan darah maksimal antara kelompok atlet dan non-atlet.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Costill dan koleganya, ditemukan bahwa individu non-atlet memiliki perbandingan yang hampir seimbang antara otot fast twitch dan slow twitch.Pelari jarak menengah dan pelari maraton memiliki proporsi otot slow twitch sebesar 60-70%, sedangkan pelari jarak pendek (sprinter) memiliki proporsi otot fast twitchsebesar 80%.Â
Penelitian lain menunjukkan bahwa atlet yang membutuhkan kapasitas aerobik dan ketahanan (endurance) yang tinggi memiliki proporsi otot slow twitch sebesar 90-95% dan atlet yang membutuhkan kapasitas anaerobik, kekuatan, dan tenaga yang besar (misalnya atlet angkat beban dan sprinter) memiliki proporsi otot fast twitch sebesar 60-80%.
Mengapa hal ini dapat terjadi? Penelitian yang dilakukan oleh Yang-Xu Wang dan koleganya membuktikan bahwa ternyata tipe otot manusia bisa berubah melalui latihan dan pembiasaan. Mereka menduga bahwa ekspresi gen peroxisome proliferator-activated receptor (PPAR) dapat memicu penigkatan rasio serabut otot tipe I (slow twitch) dibandingkan dengan serabut otot tipe II (fast twitch).Â
Dalam penelitiannya, dilakukan percobaan rekayasa genetik terhadap tikus rumah (Mus musculus), organisme model yang cukup mirip dengan manusia dalam hal ekspresi gen. Rekayasa genetik dilakukan dengan menginjeksikan transgen PPAR ke dalam zigot tikus. Backcross kemudian dilakukan terhadap tikus transgenik tersebut selama 2 generasi. Hasil tikus anakan terakhir kemudian digunakan sebagai subyek percobaan dan tikus wild-type digunakan sebagai kontrol.