Pada tanggal 30 September pukul 12.00 WIB, ayahku dipindahkan ke ruang ICU dan ayah masih belum sadarkan diri. Di tubuhnya terpasang banyak alat medis, namun tidak ada perubahan sama sekali dari ayah. Aku masih terus disamping ayah, membisikan ke telinga ayah. "Ayah bangun ya, jangan kalah sama penyakit. Pokoknya harus bangun, harus sembuh. Hatiku sakit Yah, melihat Ayah terbaring lemah seperti ini".
      Dan pada saat aku ke ruang ICU kembali, suhu tubuh ayah hangat dan ayah bisa menggerakan tangannya sedikit. Di situ Aku mulai lega karena ada perubahan pada tubuh ayah dan itu membuatku tambah yakin kalau ayah akan segera bangun. Tidak lepas untuk selalu berdoa dan meminta kepada Allah untuk mengambil penyakit ayah dan ayah bisa segera sembuh.
      Jadwal untuk menjenguk pasien sudah habis dan aku kembali ke luar. Sebab, aku dari semalam tidak tidur. Jadi aku memutuskan untuk tidur sebentar karena mata sudah lelah kebanyakan nangis.  Tepat pukul  24.00 WIB, perawat ruang ICU memanggil keluargaku untuk masuk ke ruangan. Aku dan ibuku langsung lari karena aku kira ayah sudah sadar. Namun, apa yang terjadi? Tidak ada hal baik yang berpihak kepadku. Dokter menyampaikan bahwa ayah harus dipasang alat bantu napas karena napas ayahku menurun dan tadi sempat terhenti.  Tubuhku langsung kembali lemas dan ibu masih terus menangis. Akan tetapi, seperti biasa aku masih sangat yakin bahwa ayahku akan segera bangun.
      Panggilan ke dua dari ruang ICU pada pukul 03.15 WIB.  Semua keluargku langsung bergegas masuk ke ruang ICU. Dan ternyata? Ayahku masih dalam keadaan drop parah, monitor medis terus bersuara, dokter dan suster sibuk memberi tindakan. Dan, ya, lagi-lagi hal baik yang aku tunggu ternyata tidak berpihak kepadku. Monitor medis yang tadi nya bersuara langsung terhenti seketika dan dokter bilang, "Inalillahi wainailaihi rojiun, saya sudah memberikan tindakan sebaik mungkin tapi takdir berkata lain dan ayahmu sudah tidak bisa diselamatkan."
      Ya, saat itu duniku hancur. Aku kehilangan cinta pertamaku. Ayah yang tidak pernah memberi luka untuk anaknya, ayah yang hebat sudah bisa membuat aku merasakan jadi anak perempuan paling beruntung. Aku selalu bilang ke diri sendiri kalau, "Aku bisa tidak, ya hidup tanpa ayah?". Namun, hukum alam yang harus aku terima yaitu hidupku harus terus berjalan walaupun tanpa ayah. Sulit, memang. Anak mana yang merasa baik-baik saja setelah ditinggalkan oleh ayahnya. Hidupnya kini bagaikan burung yang kehilangan satu sayap.
                                                                 Â
                                                                  Karya
                                                            Laila Fadia Alpus
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI