Mohon tunggu...
kiprah uniga
kiprah uniga Mohon Tunggu... Jurnalis - KIPRAH UNIGA

KOMUNITAS PENA MERAH UNIVERSITAS GAJAYANA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hari Terakhir bersama Ayah

7 Desember 2022   10:05 Diperbarui: 7 Desember 2022   10:20 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Alena, Aku yang kehilangan cinta pertamaku di usia 18 tahun.

            Pada hari Selasa pukul 17.00 WIB ayah membangunkanku dari tidur siangku. Seperti biasa ayahku mempunyai cara tersendiri untuk membangunkanku dari tidur yaitu dengan cara dipeluk dan dicium.

            Setelah Aku terbangun dari tidurku, Aku tidak langsung bergegas mandi karena ingin bersantai-santai terlebih dahulu bersama ayah dan ibuku. Sambil meminum secangkir teh hangat dan makanan ringan buatan ibuku, kita menghabiskan waktu sore hari dengan berbincang-bincang, bercerita hal random, dan berdiskusi tentang bagaimana pendidikan selanjutnya yang ingin Aku tempuh. Di situ ayahku bilang, "Bagaimanapun keadaanya, kamu harus kuliah, ya".

            Setelah berbincang-bincang cukup lama, kami memutuskan untuk mandi dan bersiap-siap karena sebentar lagi waktunya sholat maghrib. Setelah sholat maghrib berjamaah, kami memutuskan untuk makan malam bersama karena sudah lapar. Menu makan malam kali ini adalah balado terong, sambal, petai dan ikan asin. Sederhana namun terasa sangat mewah karena makanan tersebut buatan ibuku dan kami masih diberi kesempatan untuk makan malam bersama keluarga kecilku ini.

            Ayahku sangat lahap memakan makanan tersebut karena menunya ada terong balado yang menurut beliau itu makanan terenak. Kami semua menikmati makan malam tersebut dengan diselingi obrolan-obrolan santai dan sesekali becanda. "Ayah makannya lahap banget. Udah nambah berapa kali, Yah? Hehe," ucapku. Dan ayah hanya tersenyum sambil terus menikmati makanan tersebut. Karena ayah terlalu fokus dengan makanannya, Aku ambil terong baladonya sampai beliau berkata, "jangan diambil dong. Ayah masih mau makan itu". Aku yang jail terus menjauhkan mangkok berisi terong balado itu. Aku dan ayahku memang suka becanda dan jail satu sama lain ketika makan. Contohnya, ya rebutan makanan seperti tadi. Ibu yang sudah biasa melihat kelakuanku dengan ayah hanya bisa tersenyum saja.

            Setelah selesai makan malam, Aku langsung bergegas ke kamar dan duduk di meja belajar sambil membuka laptop untuk mengerjakan laporan persiapan sidang karena kebetulan saat itu Aku baru saja selesai menjalani Praktek Kerja Lapangan (PKL) di sebuah rumah sakit. Sedangkan ayah dan ibuku sedang asik bersantai di ruang keluarga sambil menonton sinetron kesukaan ibuku.

            Tepat pukul 20.00 WIB, ayahku meringis sambil bilang kepada ibu, "Kepala Ayah sakit." Kemudian ibu langsung berteriak dan memanggil namaku, "Alenaaa, sini keluar. Ayah sakit." Aku yang mendengar itu kaget karena sebelumnya ayah baik-baik saja. Aku langsung bergegas keluar kamar dan menemui ayah yang sudah tergeletak di atas kasur sambil terus meringis kesakitan. Aku sibuk mencari obat sedangkan ibu sedang menenangkan ayah.

            Tidak selesai sampai di situ, ayah langsung tidak sadarkan diri dan sedikit mengeluarkan busa dari dalam mulutnya. Aku dan ibuku berteriak histeris karena melihat keadaan ayah yang sudah tidak sadar. Namun, ayah masih sempat menggerakan jari telunjuknya ke depan mulut seakan dia berkata "Jangan nangis, ayah baik-baik saja".

            Selang beberapa menit kami langsung membawa ayah ke rumah sakit. Sewaktu di perjalanan, aku menggengam tangan ayah dan masih terus menangis dan berkata, "tadi ayah baik-baik saja. Kenapa sekarang jadi begini?" Seperti mimpi rasanya.

            Sesampainya di rumah sakit, ayahku langsung ditangani oleh tim medis. Aku yang sibuk sendiri untuk mengisi formulir pasien, ditanya-tanya dokter bagaimana kejadiannya, dan menenangkan ibu yang masih terus menangis. Ketika Aku masuk ke ruangan ayah, ayah sudah terpasang banyak alat medis ditubuhnya. Sakit, kaget melihat pria hebat yang Aku kenal sekarang terbaring lemah dan untuk membuka mata saja sulit bagi beliau.

            Setelah dilakukan beberapa proses penanganan medis, dokter memanggilku dan dia berkata, "pembuluh darah di otak ayahmu pecah. Ini sudah tidak bisa dioperasi karena sudah sangat parah dan kemungkinan ayahmu untuk hidup hanya beberapa persen saja." Seluruh tubuhku lemas setelah mendengar itu. Namun aku masih selalu yakin bahwa, "ayah pasti bangun dan sembuh lagi.

            Pada tanggal 30 September pukul 12.00 WIB, ayahku dipindahkan ke ruang ICU dan ayah masih belum sadarkan diri. Di tubuhnya terpasang banyak alat medis, namun tidak ada perubahan sama sekali dari ayah. Aku masih terus disamping ayah, membisikan ke telinga ayah. "Ayah bangun ya, jangan kalah sama penyakit. Pokoknya harus bangun, harus sembuh. Hatiku sakit Yah, melihat Ayah terbaring lemah seperti ini".

            Dan pada saat aku ke ruang ICU kembali, suhu tubuh ayah hangat dan ayah bisa menggerakan tangannya sedikit. Di situ Aku mulai lega karena ada perubahan pada tubuh ayah dan itu membuatku tambah yakin kalau ayah akan segera bangun. Tidak lepas untuk selalu berdoa dan meminta kepada Allah untuk mengambil penyakit ayah dan ayah bisa segera sembuh.

            Jadwal untuk menjenguk pasien sudah habis dan aku kembali ke luar. Sebab, aku dari semalam tidak tidur. Jadi aku memutuskan untuk tidur sebentar karena mata sudah lelah kebanyakan nangis.  Tepat pukul  24.00 WIB, perawat ruang ICU memanggil keluargaku untuk masuk ke ruangan. Aku dan ibuku langsung lari karena aku kira ayah sudah sadar. Namun, apa yang terjadi? Tidak ada hal baik yang berpihak kepadku. Dokter menyampaikan bahwa ayah harus dipasang alat bantu napas karena napas ayahku menurun dan tadi sempat terhenti.  Tubuhku langsung kembali lemas dan ibu masih terus menangis. Akan tetapi, seperti biasa aku masih sangat yakin bahwa ayahku akan segera bangun.

            Panggilan ke dua dari ruang ICU pada pukul 03.15 WIB.  Semua keluargku langsung bergegas masuk ke ruang ICU. Dan ternyata? Ayahku masih dalam keadaan drop parah, monitor medis terus bersuara, dokter dan suster sibuk memberi tindakan. Dan, ya, lagi-lagi hal baik yang aku tunggu ternyata tidak berpihak kepadku. Monitor medis yang tadi nya bersuara langsung terhenti seketika dan dokter bilang, "Inalillahi wainailaihi rojiun, saya sudah memberikan tindakan sebaik mungkin tapi takdir berkata lain dan ayahmu sudah tidak bisa diselamatkan."

            Ya, saat itu duniku hancur. Aku kehilangan cinta pertamaku. Ayah yang tidak pernah memberi luka untuk anaknya, ayah yang hebat sudah bisa membuat aku merasakan jadi anak perempuan paling beruntung. Aku selalu bilang ke diri sendiri kalau, "Aku bisa tidak, ya hidup tanpa ayah?". Namun, hukum alam yang harus aku terima yaitu hidupku harus terus berjalan walaupun tanpa ayah. Sulit, memang. Anak mana yang merasa baik-baik saja setelah ditinggalkan oleh ayahnya. Hidupnya kini bagaikan burung yang kehilangan satu sayap.

                                                                                                                                   

                                                                                                                                    Karya

                                                                                                                        Laila Fadia Alpus

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun