Mohon tunggu...
kiprah uniga
kiprah uniga Mohon Tunggu... Jurnalis - KIPRAH UNIGA

KOMUNITAS PENA MERAH UNIVERSITAS GAJAYANA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Secercah Hidup

28 Oktober 2022   01:46 Diperbarui: 28 Oktober 2022   01:50 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secercah Hidup

Oleh : Tri Puspa Retno Sari


Langit jingga yang membentang indah, kicau burung yang bersahutan untuk memanggil pulang kawanannya, semilir angin yang mengacak-acak rambutku, dan rona senja yang menyinari wajahku. Inilah tempat yang sempurna untuk berpulang.

Aku menaikkan kakiku pada pembatas. Sekali lagi kuhirup udara sejuk di sore ini. Untuk mengingat bagaimana rasanya napas terakhir. Walaupun entah di alam baka, aku mampu mengingatnya atau tidak. Kini aku telah siap.

Menyambut kehidupan baru yang tidak pernah dirasakan manusia hidup sebelumnya. Namun, ketika kaki kananku mulai menginjak udara, sebuah tangan kekar menarikku ke bawah. Membuatku terjatuh di dadanya yang bidang.

"Apa yang kamu lakukan?!" Teriakku marah.

"Seharusnya Aku yang bertanya. Apa yang kamu lakukan? Kamu sedang mencoba mengakhiri hidupmu?" Balasnya dengan teriakan pula.

Aku mendorong tubuhnya dengan kesal dan berdiri.

"Itu bukan urusanmu. Urus saja masalahmu sendiri!" Kesalku.

Dia turut berdiri dan merapikan bajunya. Mengibaskan debu yang menempel pada lengannya.

"Tidak peduli seberapa beratnya masalahmu. Mengakhiri hidup bukanlah pilihan yang tepat. Kamu bisa mencari bantuan untuk meringankan bebanmu," ujarnya.

Aku menatapnya dengan nyalang.

"Kau pikir dunia ini dipenuhi oleh orang-orang baik yang selalu menawarkan bantuan? Mereka akan membantu jika itu ada untungnya untuk mereka. Semua orang di dunia ini hanyalah sekumpulan orang-orang jahat dan kejam. Mereka tidak akan peduli dengan deritamu," jawabku.

"Jika aku adalah salah satu orang yang kau sebut jahat, maka aku tidak akan menghentikan langkahmu tadi. Namun, kenyataannya aku menolongmu. Itu artinya masih ada orang baik yang selalu menawarkan bantuan padamu."

Aku tertawa sinis mendengar ucapannya itu.

"Sudah kukatakan pula kalau orang mau membantu, hanya karena mau untung. Sama sepertimu. Kamu membantuku hanya agar diakui bahwa kamu orang baik, kan? Kamu sedang mencari pengakuan. Lagipula aku tidak pernah meminta bantuanmu!"

Aku kembali membalikkan badan. Berniat melanjutkan kegiatan yang dihentikan pria tak kukenal ini. Namun, dia berjalan menuju pembatas mendahuluiku dan melihat ke bawah.

"Apakah kamu tahu apa yang disebut takdir? Jika kamu belum ditakdirkan untuk mati, maka apa yang akan terjadi jika kamu jatuh ke bawah sana? Mungkin tubuhmu remuk dan tulangmu hancur. Sementara kamu belum juga mati dan merasakan betapa sakitnya itu. 

Kamu tidak hanya akan merepotkan dirimu sendiri, tetapi juga orang lain yang harus membantu merawatmu. Menghabiskan banyak dana untuk pengobatanmu. Menghabiskan banyak waktu untuk mengurusmu. Apakah kamu pernah memikirkan itu sebelumnya?"

Pertanyaan dan pernyataan yang keluar dari mulut pria ini membuatku membeku. Pikiranku dengan liar membayangkan apa jadinya jika bunuh diriku gagal. Aku tidak pernah memikirkannya. Pendirianku yang tidak takut mati sebelumnya, kini menjadi rasa takut.

Ia menatapku cukup lama untuk menunggu jawaban. Namun, tak sepatah katapun keluar dari bibirku. Aku tidak mampu menjawabnya. Dia menghampiriku. Meletakkan kedua tangannya pada pundakku.

"Aku tak tahu seberapa beratnya masalahmu tetapi aku cukup yakin bahwa kau sudah mampu bertahan sejauh ini adalah hal yang hebat. Kamu mampu menanggung masalahmu dan menghadapinya. Jika kau menyerah sekarang, apakah perjuanganmu selama ini tidak sia-sia?"

 Aku masih belum mampu menjawab. Yang kurasakan hanyalah mataku yang semakin pedih. Beberapa bulir air mata yang memaksa ingin membasahi pipi terus kutahan. Kugigit bibirku karena tidak ingin ada isakan yang terdengar.

"Kamu sudah hebat. Lanjutkanlah perjalanan dan perjuanganmu. Jika kau berhenti, kau tidak akan pernah bisa menemui sesuatu hebat yang sedang menunggumu. Kamu percaya bahwa pelangi bisa muncul setelah hujan badai, kan?" Lanjutnya.

 Pada akhirnya aku tidak bisa menahannya lebih lama. Kubiarkan buliran-buliran air mata membasahi pipiku. Kubiarkan isakan tangisku terdengar di seluruh rooftop.

"Kamu tidak mengerti! Kamu tidak akan mengerti bagaimana rasanya menghadapi semuanya sendirian. Meskipun berulang kali mencoba mencari bantuan, mereka tidak akan benar-benar peduli. Aku tetap menghadapi semuanya sendirian. Aku sudah lelah. Sangat lelah," curhatku.

"Setiap orang memiliki masalahnya masing-masing. Aku, kau, maupun orang lain. Kita semua disibukkan dengan masalah masing-masing. Orang lain hanya bisa membantu sedikit hal karena mereka juga harus mengurus masalahnya sendiri. Satu-satunya orang yang bisa membantumu seutuhnya adalah dirimu sendiri.

Kau hanya belum menemukan penolong yang tepat sehingga kau mengatakan semua orang tidak peduli. Namun, aku yakin akan ada seseorang yang benar-benar peduli padamu. Yang akan siap membantumu pulih. Jangan pernah merasa sendirian! Kau tidak pernah sendiri."

Ucapan pria ini sungguh menenangkan tetapi membuatku semakin terisak. Ia menarik tanganku dan membawaku ke pelukannya.

"Maaf jika memelukmu tiba-tiba. Sebuah pelukan akan membantumu menjadi lebih tenang. Menangislah sepuasnya dalam dekapanku. Habiskan saja air matamu hingga mengering!" Ucapnya.

Benar, aku merasa menjadi lebih tenang. Perasaan ingin mati itu lenyap entah ke mana. Aku masih ingin hidup. Aku masih ingin melihat esok hari. Perjuanganku tak akan berhenti di sini. Aku percaya mengenai pelangi setelah hujan badai. Aku melepaskan pelukanku padanya.

"Terima kasih. Aku sudah lebih tenang sekarang," ucapku.

Ia kembali menarikku ke dalam pelukannya. Kini aku menjadi takut. Takut jika ternyata ia adalah orang jahat. Namun, perkataan berikutnya membuat lebih syok dan diam seribu bahasa.

"Mengenai seseorang yang siap membantumu pulih seutuhnya,  ijinkanlah aku menjadi seseorang itu. Aku Gavin Raharja. Seseorang yang telah mencintaimu dalam diam selama delapan tahun."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun