Mohon tunggu...
Kinu Natlus
Kinu Natlus Mohon Tunggu... lainnya -

Tukang Kebun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghukum Mati Atas Nama Kedaulatan

20 Februari 2015   14:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:50 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abraham Lincoln mati terbunuh 14 April 1865. Presiden paling dicintai rakyat Amerika itu ditembak oleh salah satu anggota kelompok oposisi pada masa CivilWar. Dampaknya hebat. Rakyat marah, Pemerintah marah. Tercatat usaha pencarian si penembak adalah usaha yang melibatkan tentara dengan jumlah tertinggi disepanjang sejarah dunia. Orang orang yang dianggap terlibat dihukum dan dijatuhi hukuman berat dari seumur hidup hingga hukuman mati.Salah satunya adalah Mary Surrat, yang dalam pembelaannya ia tidak mengaku bersalah, tidak terlibat. 'Keapesannya' hanya karena rumahnya dijadikan tempat rapat dimana rencana pembunuhan itu dibuat, tanpa ia menyadarinya!. (Kisahnya diangkat dalam film The Conspirator). Mary Surrat digantung bersama 7 orang lainnya yang notabene juga 'apes'. Tetapi karena tuntutan mayoritas rakyat yang 'marah' dan bernafsu mencari 'kambing hitam', maka peradilan dan putusan itu dibuat sangat cepat dan singkat, hanya dalam waktu dua bulan setelah kejadian pembunuhan.

Cerita diatas adalah usaha saya menggambarkan mengenai respon dan sikap masyarakat kebanyakan pada isu pelaksanaan eksekusi hukuman mati kali ini. Rasa amarah, rasa frustasi. Apalagi keputusan ini dibuat oleh tokoh paling dicintai saat ini, Jokowi! Tak mungkin ia salah!.

Lain menurut saya. Banyak masyarakat yang mendukung 'buta' keputusan Jokowi menolak 64 grasi permohonan ampunan hukuman mati. Keputusan ini pun sebenarnya mencengangkan mengingat profil yang ditampilkan selama pilpres adalah Jokowi yang 'humanis dan rendah hati'. Tanda tanya besar bagi komnasHAM dan negara negara sahabat, juga saya tentunya. (bisa di google reaski lengkap mereka)

Isu ini kemudian melebar menjadi sentimen 'Anti disetir Asing' melihat  upaya keras Australia yang hanya sekedar ingin menyelamatkan warganya. Sebenarnya ini wajar. Kalau untuk kasus TKI, upaya negara ada solusinya yaitu dialog dengan keluarga korban dan pembayaran denda. Lha yang ini? Jokowi bungkam. No option. Tiba tiba ia menjadi patung tirani mengerikan tanpa negosiasi dan dialog. Wajar jika kemudian muncul wacana #BoycottBali. Kemudian direaksi dengan sentimen murahan 'silahkan boikot, kami tak butuh Anda' menjadi pemuas kejengkelan.

Pembenaran yang lainnya adalah terdakwa adalah Gembong Narkoba. Supaya memberi efek jera. Kondisi negara darurat narkoba. Tidak hanya remaja gadungan, kini anggota dewan pun terkena narkoba. Dengan 'mematikan' gembong gembongnya, logikanya peredaran akan surut.

Fakta:

Capital punishment tidak terbukti efektif menurunkan tindak kejahatan.

Capital punishment tidak terbukti memberi efek jera

Capital punishment justru meruwetkan proses keadilan karena keputusan hukum bisa saja salah, bisa karena fitnah, faktor persaingan politik, bisnis dsb. Apalagi dalam prosesnya, polisi dibenarkan menggunakan taktik 'jebakan'. Ini merupakan peluang bagi tumbuhnya kultur ceroboh dan korup di badan penegak hukum.

http://www.amnestyusa.org/our-work/issues/death-penalty/us-death-penalty-facts

http://www.amnestyusa.org/our-work/issues/death-penalty/us-death-penalty-facts/death-penalty-and-innocence

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun