Mohon tunggu...
King Kwan Yew
King Kwan Yew Mohon Tunggu... Administrasi - Aparat Rakyat Indonesia

Ex - treemJienak

Selanjutnya

Tutup

Politik

Freeport Cinema, Tonton di Layar TV Anda

14 Desember 2015   11:26 Diperbarui: 14 Desember 2015   13:19 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Lihai bener kamu ya, udah gue babat di Petral, lhu nongol lagi di Freeport. Nggak, gak bisa, lhu gak boleh ada di wilayah gue. Selama gue megang ESDM, gak  ada tempat buat lhu. Gue habisin lhu". begitu kira-kira yang ada di kepala Sudirman Said (SS) begitu mendapat info dari Ma'ruf Syamsudin (MS) kalau Muh. Riza Chalid MR), lewat Setya Novanto (SN) dan Luhut B. Panjaitan (LP), mau ikut cawe-cawe di Freeport.

"Mereka mau ketemuan lagi" tanya SS ke MS

"Mmmh, rencananya minggu depan, Pak"

"Dimana?"

"Belum tau, Pak. Tapi Pak Ketua (Ketua DPR RI tentunya) pasti telpon saya"

"Ok, ditemuin aja, Pak. Tapi saya mau direkam ya, biar kita tau mau dia itu apa sih" kata SS lagi ke MS.

"Siap pak" MS mengiyakan sambil mengangguk.

(Dialog ini tentu khayalan saya belaka)

Benar saja. Beberapa hari kemudian MS dapat SMS dr SN. MS tahu diri sedang  berhadapan dengan ketua DPR, MS insiatif menelpon. Janjian. Waktu dan tempat ok. Pertemuan segitiga pun siap dilaksanakan. SN masih dengan sobat karibnya, Reza Chalid.  Pesanan SS utk record pun dipersiapkan matang oleh MS. Kapasitas memori yang cukup  plus hp full charging. MS datang belakangan. Tentu saja strateginya harus begitu. Sebagai mantan orang BIN, tahulah dia bahwa dia harus datang belakangan. Tak perlu menunggu dan merekam suara angin. Dan yang paling penting, SN dan MR tak perlu curiga karena MS harus menyetel tombol record pada saat sudah berhadapan.

--- klik – Recording ON--- MS melangkah memasuki ruangan

"Assalamualaikum". MS menyapa dua orang yang sedang menanti kedatangannya,- SN dan MR sedang mengobrol santai di sebuah meja cukup besar; meja rapat.

"Widdiiihh", sambut SN dan MR kompak, bukannya waalaikum salam. Keduanya berdiri menyambut MS, salaman, SN memberi isyarat ke MS untuk mengambi posisi duduk di seberang meja SN. MR menarik kursi dan mengambil posisi duduk. Smartphone dilatekkan di meja dengan posisi terbalik, bagian layar menghadap ke bawah.

“Nggak keluar, Pak” SN membuka perbincangan

‘Nggak, ada tahlilan” MS menjawab seadanya sambil menyandarkan punggungnya.

Obrolan mengalir, ngolar ngilur dari Solo sampai Papua, China sampai San Diego, pilkada sampai pilpres, PSSI, investasi, dan tentu saja saham Freeport, Smelter, dan PLTA. Beberapa nama beken ikut pula disebut-sebut, Jokowi, JK, Luhut, Darmo, hingga Jim Bob. SN  dan MR tak sadar sedang direkam. MS yang sadar on the record, berbicara seadanya, menimpali sesekali, dan tentu saja tak boleh kepleset. Ia menjaga betul setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Sebisa mungkin kalimat-kalimat itu nantinya  terdengar pantas, idealis, dan yang paling penting harus nasionalis meskipun ia sedang memimpin sebuah perusahaan asing.

Tak terasa sudah satu jam, MS menyadarinya setelah melirik jam di tangannya.

"Terimakasih waktunya, Pak". MS mulai gerah dan mohon pamit. Tak berhasil. Obrolan masih lanjut. MS memperbaiki posisi duduknya sambil melirik smartphonenya di atas meja. Ada sedikit kerisauan jangan2 hasil rekamanya tidak bagus, atau malah gagal record. Konsentrasinya tak lagi tertuju pada obrolan.

Beberapa menit kemudian:

"Baik Pak. Terima kasih Pak Ketua. Saya duluan Pak. Makasih Pak, mari. Pak Riza makasih Pak. Mari ". Kali ini MS memohon dengan wajah serius sambil berdiri, merebut smartphonenya dari atas meja.

"Yuk, Pak " Jawab SN singkat, tak ada reaksi berlebihan. SN menyudahi obrolan dan membiarkan MS keluar dari ruangan.

"Cakep deh" Gumam MR dengan nada puas sambil merenggangkan punggungnya ketika MS sudah berlalu. Entah apa maksudnya.

Tapi yang pasti, ada sekelumit harapan yang mengobati kekecewaannya akibat ladang besarnya, Petral, telah dibabat habis. Harapan yang tidak saja tidak terwujud, tapi menjadi petaka bagi dirinya dan sobat karibnya, SN di kemudian hari.

***

"Bagaimana meetingnya" nada suara dengan penuh semangat dari SS diterima MS sehari setelah pertemuan segitiga

"Wah, mantap pak. Saya copy dulu pak baru saya kasih ke Bapak" balas MS dari balik telpon

"Benar ya mbahas Freeport?" SS masih penuh semangat

"wah, pokoknya mantap, Pak. Kaget nanti bapak dengarnya"

"Oh ya. Jangan lama-lama ya, saya tunggu ya!" SS menutup telpon.

(Dialog ini tentu saja masih imajinasi saya belaka, toh diantara kita tak ada yang  tau kejadian persisnya kok)

Tak berapa lama, SS menerima paket copian rekaman dari MS lewat stafnya. SS tak sabar ingin mendengarnya. Seluruh pekerjaannya dikesampingkan untuk mendengar yang satu ini. Seolah ini jauh lebih penting dari urusan ESDM manapun. Putar rekaman dimulai. SS menyimak. Sesekali menuliskan bagian-bagian penting. Sesekali memutar ulang rekaman yang agak samar lalu lanjutkan memutar. 1 jam 20 menit, rekaman selesai. SS menyandarkan punggungnya. Matanya mengitari ruangan, menerawang, lalu sekilas ada senyum nanar di bibirnya. Pikirannya kembali menerawang.

"Gila" gumamnya. Ketika menyebut kata ini, ada MS di pelupuk matanya, bukan SN. Entah apa yang melintas di pikirannya tentang si Riza ini. SS sedang berpikir keras. Senjata ada ditanganya sekarang. Shoot...? Oh No. Itu kasar. Lapor Presiden...? Hm, ntar bocor ke Luhut. Ya udahlah, sepertinya JK akan punya jalan keluar. Tapi seblum ketemu JK, SS telah menyunting bagian-bagian penting dari rekaman. Rekaman utuh tak boleh muncul, riskan dan bisa menjadi bumerang. Cukuplah potongan-potongan yang dapat menyudutkan SN dan MR. Potongan rekamannya sudah ketemu, 12 menit, cukup.

Meluncurlah SS ketemu JK. diperlihatkannya transkrip potongan rekaman pertemuan segi tiga ke JK. JK meradang. Bukan saja soal saham Freeport, karena MR ternyata juga menyebut-nyebut PLTA, salah satu basis bisnis Kalla Group. Tapi bukan JK jika tak punya jalan keluar. Siapapun tahu, JK memang problem solver yang piawai. Dia teruji mendamaikan konflik SARA di tanah air, bahkan melunakkan separatis GAM. Karena melibatkan anggota DPR yang kebetulan menjabat ketua, ia tak ingin frontal. Ia tak ingin terjebak. Biarlah ini menjadi pekerjaan rumah SS. JK menyarankan persoalan ini di bawa saja ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Biarkan isu ini bergulir di MKD sembari menanti bagaimana respon parlemen, parpol, dan publik. SS yang sangat patuh pada JK pun dengan penuh semangat membawa ini ke MKD. Tapi sebelumnya SS menyempatkan menyampaikan ini ke Presiden Jokowi. Sayangnya Jokowi tak sempat menyimak secara utuh isi rekaman. Pada akhirnya ia sepakat dengan strategi yang disulkan oleh JK; bawa masalah ini ke MKD. Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa semua ini adalah skenario Jokowi, saya meragukannya. Jokowi belum sepiawai itu.

Sayangnya, ada hal tak diduga oleh SS. MKD meminta rekaman asli dan utuh. SS kebingungan. Membuka rekaman utuh sama saja membuka jejak-jejak buram pemerintahan Jokowi. Terlalu banyal hal yang vulgar dalam rekaman. Mungkin tak sepenuhya benar. Tapi tak mempercayainya sama sekali juga tak masuk akal. SN sebagai ketua DPR tentulah tak bicara sembarangan, apalagi pamer kekuasaan dengan menyebut-nyebut nama presiden di depan seorang mantan intelejen. Adalah hal lumrah bila ketua parlemen dan presiden mengobrol hal-hal penting mengenai negara. MR pun rupanya tahu terlalu banyak hal. Bahkan ia menjadi bagian yang SS pun tak terlibat di dalamnya. Ketika desakan publik makin kuat, SS tak kuasa menahan rekaman utuh. Diserahkannya itu di MKD, diputar disana, publik mendengar, dan kegaduhan pun makin meluas, tak sekedar ‘papa minta saham’.

Kegaduhan makin meluas, Presiden Jokowi baru berkesempatan menyimak kalaimat per kalimat dalam isi rekaman. Marahnya meledak. Namanya (ia rasa) dicatut. Ada pula julukan yang tak pantas. Wajarlah Beliau marah. Aparat penegak hukum, Kepolisian dan kejaksaan, ketar-ketir. Ditafsirkannya sebagai signal untuk mencari celah pelanggaran hukum. Sayangnya jokowi mungkin tak bermaksud demikian. Jokowi memang marah. Tapi ia marah pada situasi. Ia memang marah pada SN, tapi ia juga mungkin marah pada JK, marah pada LP, marah pada SS, dan marah pada dirinya sendiri. Ia marah pada dirinya karena yang tak kuasa mengendalikan ini semua. Ia marah karena ia merasa sendiri. Jokowi marah pada LP karena sesungguhnya ia berharap setelah porsi kekuasan cukup besar diberikan kepadanya, LP akan menjadi tameng sejatinya. Tak disangka LP justru membangun jaringan sendiri tanpa sepengetahuannya. Jokowi marah pada JK bukan karena JK terlibat dalam persekongkolan, tapi karena JK punya agenda sendiri, lagi-lagi tanpa sepengetahuannya. Jokowi marah pada SS karena ia lebih tunduk pada JK daripada dirinya, juga karena SS bertindak gegabah yang berakibat pada kegaduhan. SS tidak taktis dalam bekerja. Akibatnya, ya seperti yang kita saksikan; Ibu pertiwi gaduh. Apa untungnya bagi Jokowi...? Tak ada. Atau pertanyaannya dibalik; apa ruginya bila rekaman ini tak dipublish...? juga tak ada. Toh, keseluruhan materi pembicaraan antaar SN, MR, dan MS tak lagi berlaku begitu Presiden Jokowi bertemu pemilik Freeport, James R. Moffett.

Satu-satunya keuntungan bagi Jokowi adalah bahwa ia makin memahami sekelilingnya. Tapi itu tentu tak sebanding dengan akibat yang tak bisa ditebak dari kegaduhan ini. Termasuk persepsi publik terhadap dirinya yang ikut disebut-sebut dalam rekaman. Apa publik tidak percaya begitu saja terhadap beberap kejadian yang melibatkan dirinya yang diceritakan oleh MR dan SN...? Dan yang paling penting, Freeport harusnya tak boleh dibuka secara vulgar. Freeport terlalu strategis untuk menjadi konsumsi publik. Sekarang, dan tentu saja seteleh ini, Freeport akan ada dalam sorotan publik hingga 2019 nanti. Padahal, salah satu hal yang paling membebani Jokowi saat ini dalah masalah Freeport. Bukan apa-apa, atas nama kedaulatan ekonomi, Ia sudah terlanjur sesumbar untuk tidak lagi memperpanjang izin Freeport. Disisi lain, menghentikan Freeport di 2012 nanti taruhannya terlalu besar. Pemerintah bahkan belum mempunyai skenario jika sekiranya Freeport benar-benar tak lagi mendapat perpanjangn izin; bagaimana proses peralihan, teknologi pengolahan jika Freeport menarik seluruh peralatan, tenaga kerja, dan tentu saja dampak ekonomi salama masa peralihan. Itu semua menjadi alasan logis untuk memperpanjang Freeport nantinya. Belum apa-apa, SS, tentu saja dengan dukungan kelompoknya, telah memberikan signal untuk memperpanjang Freeport.

Saat ini, bola di tangan MKD (anggap saja bola volly, jadi bukan di kaki). Ditayangkan di tv bak opera sabun, bak sinema, dan kita menikmatinya. Lucu soalnya. Lucu dan menarik. Lucu karena sebagaian besar yang menjadi konsen anggota MKD keluar dari frame MKD. Padahal kalau mau jujur, substansi etikanya adalah apakah Ketua DPR benar-benar terlibat untuk memfasiitasi seorang pengusaha untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya dengan manajemen PT freeport...? Simpel. Menarik karena kita serba menebak-nebak ke mana arah dari episode ini. Kalaupun bisa ditebak, implikasi dari tebakan kita masih akan menciptakan episode baru. Sebuah episode yang lagi-lagi akan melahirkan tebak-tebakan baru. Siapakah pemerannya, siapa pula yang akan menjadi antagonis dan progonis, berapa lama durasinya, dan berapa biaya produksinya, apa pula judulnya? Itulah kurang lebih pertanyaan-pertanyaan yang akan lahir dari episode lanjutan. Episode yang mungkin tanpa anti klimaks.

Sebagai contoh, jika SN, oleh MKD dianggap melanggar kode etik Dewan, lalu apakah sanksinya? Apakah hanya teguran atau diberhentikan sebagai Ketua DPR RI. Lalu kalau SN diganti, siapa pula penggantinya? Golkar atau Kocok ulang...? lalu kalau kocok ulang, mungkinkan masih dipegang oleh KMP...? Atau jika kasus tersebut dianggap melanggar, apakah dari sekian banyak anggota DPR, hanya SN yang melakukan hal serupa...? benarkah tidak ada anggota DPR lainnya yang telah melakukan hal yang sama? Bila di kemudian hari ada anggota DPR yang dilaporkan pernah melakukan hal serupa dengan perusahaan lainnya (tak mesti freeport) apakah MKD juga akan melakukan hal yang sama...? Atau jika saja MKD memutuskan SN tak melanggar, lalu apa kompensasinya (tentu ada kompensasi dong...).

Ini semua menjadi menarik, sebab berkaitan langsung dengan kepentingan bangsa yang lebih besar, dan tentu saja kepentingan parpol, juga kepentingan orang per orang yang sedang menggenggam kekuasaan. Pada titik ini MKD gamang. Apapun putusannya akan berimplikasi sangat luas. Dan MKD terlalu berat untuk memutuskan sebuah perkara yang ujungnya masih abu-abu. Menguntungkan golongannya kah atau tidak? Begitulah pikiran mereka. Pada akhirnya, putusan MKD adalah kompromi dari berbagai kepentingan. Apa itu? Mari menebak-nebak. Sebagian mereka mungkin sudah tahu, mungkin sedang menyusun skenario untuk itu. Tapi sebagai orang awan yang hanya mengamati dari luar kerumunan, tentu kita hanya bisa menduga-duga. Dugaan yang dibarengi keprihatinan bahwa pada akhirnya ini semua hanya panggung sandiwara yang didesain dramatis. Panggung sandiwara yang dikemas dalam politainment.

Selamat menonton, Selamat Menikmati

 

Catatan

Seluruh dialog di atas hanyalah fiktif belaka. Dan seluruh analisis hanyalah mewakili kaum awam agar kalian tahu bahwa begitulah kami, kaum awam menganalisinya. Setiap peristiwa abu-abu akan melahirkan analisis yang liar, dan tulisan ini bagian dari yang liar itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun