Kegaduhan makin meluas, Presiden Jokowi baru berkesempatan menyimak kalaimat per kalimat dalam isi rekaman. Marahnya meledak. Namanya (ia rasa) dicatut. Ada pula julukan yang tak pantas. Wajarlah Beliau marah. Aparat penegak hukum, Kepolisian dan kejaksaan, ketar-ketir. Ditafsirkannya sebagai signal untuk mencari celah pelanggaran hukum. Sayangnya jokowi mungkin tak bermaksud demikian. Jokowi memang marah. Tapi ia marah pada situasi. Ia memang marah pada SN, tapi ia juga mungkin marah pada JK, marah pada LP, marah pada SS, dan marah pada dirinya sendiri. Ia marah pada dirinya karena yang tak kuasa mengendalikan ini semua. Ia marah karena ia merasa sendiri. Jokowi marah pada LP karena sesungguhnya ia berharap setelah porsi kekuasan cukup besar diberikan kepadanya, LP akan menjadi tameng sejatinya. Tak disangka LP justru membangun jaringan sendiri tanpa sepengetahuannya. Jokowi marah pada JK bukan karena JK terlibat dalam persekongkolan, tapi karena JK punya agenda sendiri, lagi-lagi tanpa sepengetahuannya. Jokowi marah pada SS karena ia lebih tunduk pada JK daripada dirinya, juga karena SS bertindak gegabah yang berakibat pada kegaduhan. SS tidak taktis dalam bekerja. Akibatnya, ya seperti yang kita saksikan; Ibu pertiwi gaduh. Apa untungnya bagi Jokowi...? Tak ada. Atau pertanyaannya dibalik; apa ruginya bila rekaman ini tak dipublish...? juga tak ada. Toh, keseluruhan materi pembicaraan antaar SN, MR, dan MS tak lagi berlaku begitu Presiden Jokowi bertemu pemilik Freeport, James R. Moffett.
Satu-satunya keuntungan bagi Jokowi adalah bahwa ia makin memahami sekelilingnya. Tapi itu tentu tak sebanding dengan akibat yang tak bisa ditebak dari kegaduhan ini. Termasuk persepsi publik terhadap dirinya yang ikut disebut-sebut dalam rekaman. Apa publik tidak percaya begitu saja terhadap beberap kejadian yang melibatkan dirinya yang diceritakan oleh MR dan SN...? Dan yang paling penting, Freeport harusnya tak boleh dibuka secara vulgar. Freeport terlalu strategis untuk menjadi konsumsi publik. Sekarang, dan tentu saja seteleh ini, Freeport akan ada dalam sorotan publik hingga 2019 nanti. Padahal, salah satu hal yang paling membebani Jokowi saat ini dalah masalah Freeport. Bukan apa-apa, atas nama kedaulatan ekonomi, Ia sudah terlanjur sesumbar untuk tidak lagi memperpanjang izin Freeport. Disisi lain, menghentikan Freeport di 2012 nanti taruhannya terlalu besar. Pemerintah bahkan belum mempunyai skenario jika sekiranya Freeport benar-benar tak lagi mendapat perpanjangn izin; bagaimana proses peralihan, teknologi pengolahan jika Freeport menarik seluruh peralatan, tenaga kerja, dan tentu saja dampak ekonomi salama masa peralihan. Itu semua menjadi alasan logis untuk memperpanjang Freeport nantinya. Belum apa-apa, SS, tentu saja dengan dukungan kelompoknya, telah memberikan signal untuk memperpanjang Freeport.
Saat ini, bola di tangan MKD (anggap saja bola volly, jadi bukan di kaki). Ditayangkan di tv bak opera sabun, bak sinema, dan kita menikmatinya. Lucu soalnya. Lucu dan menarik. Lucu karena sebagaian besar yang menjadi konsen anggota MKD keluar dari frame MKD. Padahal kalau mau jujur, substansi etikanya adalah apakah Ketua DPR benar-benar terlibat untuk memfasiitasi seorang pengusaha untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya dengan manajemen PT freeport...? Simpel. Menarik karena kita serba menebak-nebak ke mana arah dari episode ini. Kalaupun bisa ditebak, implikasi dari tebakan kita masih akan menciptakan episode baru. Sebuah episode yang lagi-lagi akan melahirkan tebak-tebakan baru. Siapakah pemerannya, siapa pula yang akan menjadi antagonis dan progonis, berapa lama durasinya, dan berapa biaya produksinya, apa pula judulnya? Itulah kurang lebih pertanyaan-pertanyaan yang akan lahir dari episode lanjutan. Episode yang mungkin tanpa anti klimaks.
Sebagai contoh, jika SN, oleh MKD dianggap melanggar kode etik Dewan, lalu apakah sanksinya? Apakah hanya teguran atau diberhentikan sebagai Ketua DPR RI. Lalu kalau SN diganti, siapa pula penggantinya? Golkar atau Kocok ulang...? lalu kalau kocok ulang, mungkinkan masih dipegang oleh KMP...? Atau jika kasus tersebut dianggap melanggar, apakah dari sekian banyak anggota DPR, hanya SN yang melakukan hal serupa...? benarkah tidak ada anggota DPR lainnya yang telah melakukan hal yang sama? Bila di kemudian hari ada anggota DPR yang dilaporkan pernah melakukan hal serupa dengan perusahaan lainnya (tak mesti freeport) apakah MKD juga akan melakukan hal yang sama...? Atau jika saja MKD memutuskan SN tak melanggar, lalu apa kompensasinya (tentu ada kompensasi dong...).
Ini semua menjadi menarik, sebab berkaitan langsung dengan kepentingan bangsa yang lebih besar, dan tentu saja kepentingan parpol, juga kepentingan orang per orang yang sedang menggenggam kekuasaan. Pada titik ini MKD gamang. Apapun putusannya akan berimplikasi sangat luas. Dan MKD terlalu berat untuk memutuskan sebuah perkara yang ujungnya masih abu-abu. Menguntungkan golongannya kah atau tidak? Begitulah pikiran mereka. Pada akhirnya, putusan MKD adalah kompromi dari berbagai kepentingan. Apa itu? Mari menebak-nebak. Sebagian mereka mungkin sudah tahu, mungkin sedang menyusun skenario untuk itu. Tapi sebagai orang awan yang hanya mengamati dari luar kerumunan, tentu kita hanya bisa menduga-duga. Dugaan yang dibarengi keprihatinan bahwa pada akhirnya ini semua hanya panggung sandiwara yang didesain dramatis. Panggung sandiwara yang dikemas dalam politainment.
Selamat menonton, Selamat Menikmati
Â
Catatan
Seluruh dialog di atas hanyalah fiktif belaka. Dan seluruh analisis hanyalah mewakili kaum awam agar kalian tahu bahwa begitulah kami, kaum awam menganalisinya. Setiap peristiwa abu-abu akan melahirkan analisis yang liar, dan tulisan ini bagian dari yang liar itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H