***
"Bagaimana meetingnya" nada suara dengan penuh semangat dari SS diterima MS sehari setelah pertemuan segitiga
"Wah, mantap pak. Saya copy dulu pak baru saya kasih ke Bapak" balas MS dari balik telpon
"Benar ya mbahas Freeport?" SS masih penuh semangat
"wah, pokoknya mantap, Pak. Kaget nanti bapak dengarnya"
"Oh ya. Jangan lama-lama ya, saya tunggu ya!" SS menutup telpon.
(Dialog ini tentu saja masih imajinasi saya belaka, toh diantara kita tak ada yang  tau kejadian persisnya kok)
Tak berapa lama, SS menerima paket copian rekaman dari MS lewat stafnya. SS tak sabar ingin mendengarnya. Seluruh pekerjaannya dikesampingkan untuk mendengar yang satu ini. Seolah ini jauh lebih penting dari urusan ESDM manapun. Putar rekaman dimulai. SS menyimak. Sesekali menuliskan bagian-bagian penting. Sesekali memutar ulang rekaman yang agak samar lalu lanjutkan memutar. 1 jam 20 menit, rekaman selesai. SS menyandarkan punggungnya. Matanya mengitari ruangan, menerawang, lalu sekilas ada senyum nanar di bibirnya. Pikirannya kembali menerawang.
"Gila" gumamnya. Ketika menyebut kata ini, ada MS di pelupuk matanya, bukan SN. Entah apa yang melintas di pikirannya tentang si Riza ini. SS sedang berpikir keras. Senjata ada ditanganya sekarang. Shoot...? Oh No. Itu kasar. Lapor Presiden...? Hm, ntar bocor ke Luhut. Ya udahlah, sepertinya JK akan punya jalan keluar. Tapi seblum ketemu JK, SS telah menyunting bagian-bagian penting dari rekaman. Rekaman utuh tak boleh muncul, riskan dan bisa menjadi bumerang. Cukuplah potongan-potongan yang dapat menyudutkan SN dan MR. Potongan rekamannya sudah ketemu, 12 menit, cukup.
Meluncurlah SS ketemu JK. diperlihatkannya transkrip potongan rekaman pertemuan segi tiga ke JK. JK meradang. Bukan saja soal saham Freeport, karena MR ternyata juga menyebut-nyebut PLTA, salah satu basis bisnis Kalla Group. Tapi bukan JK jika tak punya jalan keluar. Siapapun tahu, JK memang problem solver yang piawai. Dia teruji mendamaikan konflik SARA di tanah air, bahkan melunakkan separatis GAM. Karena melibatkan anggota DPR yang kebetulan menjabat ketua, ia tak ingin frontal. Ia tak ingin terjebak. Biarlah ini menjadi pekerjaan rumah SS. JK menyarankan persoalan ini di bawa saja ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Biarkan isu ini bergulir di MKD sembari menanti bagaimana respon parlemen, parpol, dan publik. SS yang sangat patuh pada JK pun dengan penuh semangat membawa ini ke MKD. Tapi sebelumnya SS menyempatkan menyampaikan ini ke Presiden Jokowi. Sayangnya Jokowi tak sempat menyimak secara utuh isi rekaman. Pada akhirnya ia sepakat dengan strategi yang disulkan oleh JK; bawa masalah ini ke MKD. Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa semua ini adalah skenario Jokowi, saya meragukannya. Jokowi belum sepiawai itu.
Sayangnya, ada hal tak diduga oleh SS. MKD meminta rekaman asli dan utuh. SS kebingungan. Membuka rekaman utuh sama saja membuka jejak-jejak buram pemerintahan Jokowi. Terlalu banyal hal yang vulgar dalam rekaman. Mungkin tak sepenuhya benar. Tapi tak mempercayainya sama sekali juga tak masuk akal. SN sebagai ketua DPR tentulah tak bicara sembarangan, apalagi pamer kekuasaan dengan menyebut-nyebut nama presiden di depan seorang mantan intelejen. Adalah hal lumrah bila ketua parlemen dan presiden mengobrol hal-hal penting mengenai negara. MR pun rupanya tahu terlalu banyak hal. Bahkan ia menjadi bagian yang SS pun tak terlibat di dalamnya. Ketika desakan publik makin kuat, SS tak kuasa menahan rekaman utuh. Diserahkannya itu di MKD, diputar disana, publik mendengar, dan kegaduhan pun makin meluas, tak sekedar ‘papa minta saham’.