DISCLAIMER: Tulisan ini mengambil sudut pandang lingkungan, jadi mengecualikan peran pertumbuhan ekonomi dan bisnis objek wisata Tawangmangu hanya sebagai sampel.
***
Mungkin kamu pernah mengalami, nafsu liar untuk segera pergi berlibur kumat lagi karena melihat kumpulan foto-foto liburan teman kamu berseliweran di feed Instagram dengan caption yang menyitir quotes folk terkini.Â
Foto-foto lanskap gunung-gunung atau panorama alam lainnya tiba-tiba dengan menyebalkan muncul lewat push notification di Facebook, Instagram, dan medsos lain sering membuat bangun tidur pagimu jadi tidak mengenakkan disaat kamu masih harus dikejar waktu untuk bekerja mencari dana. Â Hal tersebut memang membuat kamu ingin segera meluangkan waktu untuk cuti, tapi jangan gelisah, terkadang langkah kamu tetap berdiam diri di kota bisa jadi adalah keputusan terbaik.
Fenomena "kurang piknik" menjadi penyakit jenis baru yang menjangkit rakyat Indonesia. Ketika kamu sedang  pusing karena kerjaan ataupun sedang galau, beberapa orang lain sering menanggapi dengan nada satire, "kamu kurang piknik bro," atau "dolanmu kurang adoh" yang artinya adalah, "mainmu kurang jauh." Tak jarang beberapa teman yang mengaku bijak, meresonansikan nada-nada menyindir kamu dengan kalimat "Ayolah bro main, kalau kurang piknik jangan hanya nge-mall tapi sekali-kali main ke gunung biar lebih mencintai alam Indonesia." Mencintai alam dengan piknik mengunjungi alam itu?
Banyak kegiatan paradoksial mengenai sikap manusia terhadap alam. Kita ambil contoh wisata alam yang belakangan ini dipromosikan secara masif ke masyarakat lokal bahkan mancanegara melalui iklan besar-besaran dari Indonesia. Maraknya pencarian investor oleh para stakeholder dibidang pariwisata juga dilandasi niat membangun berbagai infrastruktur yang menurut pemangku kepentingan bikin kita makin cinta alam Indonesia, tetapi disisi lain bakal merusak tatanan yang ada.Â
Niatnya sih mengangkat alam yang katanya dimiliki Indonesia itu agar mendatangkan devisa serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi apabila kita perhatikan lebih jauh, pertumbuhan ekonomi berbanding lurus dengan pengrusakan yang terjadi.
Kita ambil contoh (hanya contoh) pariwisata yang ada di daerah Karanganyar, ya Tawangmangu atau biasa disebut TW. Tawangmangu berada di lereng gunung Lawu, dan berbatasan langsung dengan kabupaten Magetan, Jawa Timur. Tempat ini dahulu sangat sejuk, penuh hutan-hutan dan area persawahan yang dapat dimanfaatkan penduduk sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidup. Alam-alamnya pun dahulu masih terjaga dengan epik, hal itulah yang membuat orang-orang mulai berorientasi bisnis mengembangkan pariwisatanya.
Mungkin pengunjung Lawu generasi lama sangat mengagumi tempat wisata ini, dan menceritakan kepada sanak keluarga dan teman-temannya. Melalui publikasi klasik jaman dahulu alias mouth to mouth menjadikan Lawu semakin ramai. Semua orang jadi kepingin menikmati indahnya gunung Lawu dan sejuknya udara disana. Apalagi Lawu adalah destinasi andalan penduduk urban Surakarta yang ingin melepas penat sejenak.
Semakin lama, promosi tempat semakin masif, ya maksud saya promosi secara tidak langsung dari pengunjung yang pernah kesana. Tapi sebenarnya didasari niat baik pengunjung juga sih, ingin membagi pengalaman sensasional menikmati dinginnya air Grojogan Sewu, hutan pinus, dan berbagai wahana ciptaan alam lainnya. Cerita pengalaman indah tersebut menarik berbagai orang untuk segera kesana, tak terkecuali kerabat yang jauh disana jadi ingin merasakan liburan di lereng Lawu yang bersih dan asri itu.
Karena permintaan akan suasana pedesaan dan pegunungan dari pengunjung naik drastis, pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan seperti pengusaha, masyarakat lokal, dan pemerintah mulai membangun fasilitas penunjang liburan dengan harapan agar pengunjung merasa nyaman dan bakal terus bertambah. Jalan-jalan diperbaiki, entah diaspal maupun di cor beton. Bangunan-bangunan vila didirikan, tumbuh subur bagaikan rumput lapangan. Warung-warung bermunculan, tapi ekonomi dapat maju melesat. Intinya sih, karena demand naik, supply dari pemangku pariwisata menggencarkan pembangunan ini-itu dan promosi dimana-mana agar semua orang dapat merasakan hawa sejuk lereng Gunung Lawu.
Dari penikmat wisata atau konsumen. Semisal ada wisatawan dari Jakarta ingin liburan ke Tawangmangu, setelah mendapat informasi harga tiket dan rute menuju lokasi tujuan, ia bergegas berangkat. Dari segi kendaraan yang dipakai, misal kereta api, bus, dan ojek, semuanya membutuhkan bahan bakar fosil, yang cara mendapatkan dan pendistribusian hingga sampai di tangki bensin mengeluarkan energi dan emisi yang besar.Â
Setelah dipakai berkeliling, tentu moda transportasi seperti kereta, bus, dan kendaraan bermotor mengeluarkan emisi asap karbon monoksida yang dapat melukai ozon. Penyusutan-penyusutan seperti ban karet, aki, dan oli juga mengeluarkan emisi yang cukup berbahaya apabila berlebihan.
Sebelum sampai lokasi, ada baiknya mengambil uang di ATM dahulu. ATM didirikan karena ada kebutuhan atas transaksi dan pengambilan uang tunai. Kita tau, ruangan ATM membutuhkan listrik untuk mesin dan AC yang juga mengeluarkan freon, padahal listrik menggunakan energi kotor seperti batubara yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan panas melalui film dokumenter Sexy Killers.Â
Selanjutnya, pasti pengunjung sampai lokasi akan membeli banyak aksesoris khas dan makanan untuk kebutuhan hidupnya. Kebanyakan makanan dan minuman yang dijual sebagai pengganjal rasa lapar, biasanya mengandung banyak plastik, apalagi jika membeli di mini market.Â
Plastik mengandung banyak bahan kimia yang susah diurai dan mengotori lingkungan. Sebenarnya plastik bisa didaur ulang, tetapi emisi yang dibutuhkan untuk mendaur ulang plastik cukup tinggi dan hanya sebagian dari total plastik yang dapat dan mampu didaur ulang.
Dari sisi pengusaha. Pengusaha dapat ikut andil dalam pengrusakan lingkungan karena ada dua faktor. Faktor yang pertama karena banyaknya minat pengunjung yang ingin kesana, pengusaha menangkap peluang itu dan membangun beragam villa, rumah makan, toilet, dan akses yang mempermudah pengunjung menikmati wisata.Â
Faktor yang kedua adalah, karena pengusaha lain sukses dalam bisnis pariwisata di lereng Lawu, pengusaha lain ikut-ikutan membangun sarana pariwisata agar mendapatkan keuntungan yang sama. Vila yang dahulu kebanyakan hanya dibawah, kini semakin lama semakin keatas sehingga apabila dilihat dari kejauhan, tawangmangu semakin didominasi bangunan semen untuk tempat tinggal.
Kedua faktor di atas apabila kita melihat supply chain dari bisnisnya, hampir semua merusak lingkungan. Semisal ingin membangun vila, yang dibutuhkan pertama adalah pembebasan lahan, lahan yang seharusnya ada banyak pohon, kini dibersihkan demi pembangunan. Kedua, dibutuhkan material-material untuk mendirikan bangunan vila, yang utama adalah semen.Â
Kita tau, semen dalam proses produksinya membutuhkan banyak sekali air dan tak jarang menimbulkan konflik agraria seperti yang menimpa penduduk Samin di daerah Rembang. Tambang semen menggunakan lahan produktif dan hutan yang tidak sedikit, bahkan di beberapa kasus, air untuk penduduk menjadi tidak bersih lagi karena semen. Material lain seperti bebatuan, semen, plastik, dan besi juga mengeluarkan banyak emisi, mulai dari produksi, distribusi, dan pengerjaannya.
Usaha yang bertumbuh karena semakin ramainya tempat wisata tidak hanya bisnis wahana wisata dan tempat tinggal. Restoran, warung makan, warung jajanan, dan travelpun ikut tumbuh. Bisnis restoran dan warung makan melibatkan industri agrobisnis dan supplier pangan.Â
Agar biaya dapat ditekan dan persediaan makanan terjaga, para petani banyak yang memakai bahan an-organik seperti pupuk kimia, pestisida, hebrisida, dan insektisida yang dapat menimbulkan degradasi tanah serta menimbulkan limbah bahan kimia yang berbahaya bagi kehidupan.Â
Setelah sampai restoran dan dihidangkan, banyak juga ditemukan makanan yang tidak dihabiskan alias terbuang menjadi limbah makanan semata. Warung jajanan juga banyak menghasilkan limbah plastik sekali pakai, begitu juga bisnis travel yang menghasilkan limbah bahan bakar fosil sekali pakai.
Dari sisi pemerintah. Oke, niatnya sih mempromosikan Indonesia dan menjunjung tinggi kesejahteraan warganya melalui pemberdayaan masyarakat dengan mengangkat sektor pariwisata.Â
Pemerintah dihadapkan dua masalah besar, pertama pemerintah harus menjaga lingkungan hidup agar tetap layak ditinggali, namun juga harus memajukan perekonomian warganya. Infrastruktur berlebihan dibangun, seperti akses lokasi dan jalan yang banyak memakan energi dan menghasilkan limbah kotor seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Promosi yang sangat gencar juga memacu pertambahan pengunjung dan tingginya peluang alam Lawu menjadi tidak alami lagi.
Dari pemaparan kasus-kasus antara konsumen, pengusaha, dan pemerintah, mereka menginginkan alam lereng Lawu (dalam hal ini Tawangmangu) agar tetap asri dan alami. Mereka menginginkan itu agar tetap dapat diambil manfaatnya untuk wisata, menghasilkan uang, dan mensejahterakan warga. Tetapi, upaya-upaya yang dilakukan justru diam-diam dan secara laten malah bisa merusak alam itu sendiri.Â
Ketika kita sadar Lereng Lawu semakin panas, mungkin karena faktor lain yang terkait dengan pemanasan global, pemangku kepentingan malah menambah jumlah vila diatasnya, karena secara logika, semakin keatas gunung maka semakin dingin. Vila dibawah apakah dihancurkan dan diganti dengan hutan lagi? Tidak, beberapa malah tetap mempertahankannya dengan menambah jumlah AC di ruangan.
Mengunjungi tempat wisata alam hanya akan menimbulkan masalah baru, karena kecintaan kita terhadap alam hanya sebatas kata-kata saja, dan justru langkah kita mengeluarkan biaya demi mendatangi wisata alam hanya akan merusak lingkungan. Niatnya sih ingin mencintai alam dengan cara mendatanginya bersama kerabat, mempromosikan, dan membangun fasilitas, tapi dibalik itu semua malah merusak alam itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H