Mohon tunggu...
Kingkin BPrasetijo
Kingkin BPrasetijo Mohon Tunggu... Guru - Guru yang suka menulis

Suka ngebolang atau bersepeda menikmati keindahan alam karya ciptaan Tuhan. Pencinta semburat jingga di langit pagi dan senja hari. Suka nonton film dan membaca dalam rangka menikmati kesendirian.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Biar Hati Bicara (Part 14)

24 November 2024   04:14 Diperbarui: 24 November 2024   04:57 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

      Hari sudah gelap ketika Abimanyu terbangun dari tidurnya. Matanya masih lengket, semalaman dia tidak tidur barang satu menit pun. Mamanya mendadak masuk rumah sakit dan belum sadarkan diri, membuatnya tidak bisa memejamkan mata. 

Meski Agni, kakak sekaligus saudara satu-satunya memaksanya untuk beristirahat. Abimanyu takut, saat dirinya tidur sesuatu terjadi dengan sang ibu. Sama seperti beberapa tahun lalu, Abimanyu kehilangan Mama dan Agni saat bangun pagi.

      "Mama, adik bisa bangun sendiri!" teriak Abimanyu kecil mencari perempuan yang melahirkannya itu di kamar, yang terletak di sebelah kamar tidurnya. Hari masih sangat pagi, Abimanyu yakin ibunya masih ada di dalam kamar. Ternyata sosok yang dicarinya tidak ada, hanya ada papa yang masih bergelung di bawah selimut. 

Aroma yang tidak disukainya menguar di dalam kamar, alkohol. Abimanyu segera berlari keluar, mencari ke seluruh ruangan sambil terus memanggil sang Ibu. Tidak juga berhasil menemukan ibunya, Abimanyu mulai ketakutan, air mata membasahi pipinya.

      Di dapur, Abimanyu mendapati mbok Mirah menangis tersedu. Melihat momongannya datang, perempuan paruh baya itu segera menghapusnya dengan ujung kebayanya.

      "Mbok, Mama...?" Pertanyaan Abimanyu tidak pernah selesai, si mbok segera memeluknya penuh sayang. Abimanyu yang cerdas bisa merasakan kesedihan mbok Mirah, tetapi kenapa? Apakah itu berhubungan dengan mama? Mama ke mana? Tanya yang membuat perempuan berkebaya itu memeluknya semakin erat. Tidak ingin membuat pengasuhnya menangis lagi, Abimanyu memutuskan tidak bertanya lagi.

      Sejak kecil, Abimanyu diajarkan hidup mandiri dan peka terhadap sekitar. Sang ayah yang keras, dan terlalu sibuk dengan pekerjaannya, menginginkan anak laki-lakinya kelak akan melanjutkan usaha keluarga. 

Sementara sang ibu, mencoba menyeimbangkan dengan mengajarinya kasih sayang, menekankan pentingnya memakai hati dalam menjalani hidup. Siapa sangka, mamanya akhirnya menyerah dengan ajaran yang diberikannya.

        Pagi itu menjadi trauma tersendiri buat Abimanyu. Kehilangan Mama dan saudara satu-satunya, tanpa kabar apa pun menjadi luka tersembunyi. Ketakutan akan kehilangan orang yang dicintai dan mencintainya, menjadikannya anak itu tumbuh lebih dewasa dari usianya. Beberapa kali tanpa sengaja, Abimanyu sering mendengar mbok Mirah berbicara sendiri sambil memasak. Kalimat itu berhasil menjadi mantra baginya.

      "Den Gading harus menjadi anak yang baik, harus menurut, tidak boleh nakal biar Mama dan mbak Agni pulang. Den Gading harus percaya Mama sayang dengan Aden."

      Abimanyu tidak sedikit pun meragukan kasih sayang mamanya. Dia percaya, Mama pergi karena tidak sanggup lagi dengan sikap ayahnya. Laki-laki itu berubah, beberapa waktu belakangan papa selalu pulang dalam keadaan mabuk. 

Mulut jeleknya selalu mengeluarkan kata-kata kasar kepada Mama, esok harinya ada saja bagian wajah mama yang bengkak. Mungkin itu yang membuat Mama menyerah, memutuskan meninggalkannya sendirian di rumah mereka yang besar.  
       

      Abimanyu menjadikan ucapan mbok Mirah sebagai penyemangat hidupnya. Jika dia menjadi anak yang baik, mama dan mbak Agni akan pulang. Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian, nyatanya mereka belum pulang juga. Abimanyu tidak menyerah, dia tetap berusaha menjadi anak baik.

      Papa tetap sama sebelum mama pergi, masih suka mabuk. Usahanya hampir ambruk karena sang empunya sibuk dengan dirinya sendiri. Untung nenek segera turun tangan, meluruskan jalan sang putra. Dua tahun kemudian, papa menikah lagi dengan perempuan yang katanya penyebab mama pergi. 

Abimanyu bungkam, tidak berusaha menerima, tetapi juga tidak menolak. Pernikahan mereka terjadi setelah kedua orang tuanya resmi bercerai, katanya daripada saling menyakiti.
 
      Berkat dukungan nenek, dan mbok Mirah, Abimanyu yang saat itu masih kelas empat sekolah dasar tumbuh menjadi anak yang baik. Perpecahan kedua orang tuanya tidak dijadikan alasan untuk bertingkah seenaknya. Sebenarnya, Abimanyu tidak menyukai keputusan pengasuhan atas dirinya jatuh ke tangan sang ayah. Namun, sebagai anak laki-laki yang akan meneruskan usaha papa, dia menerima keputusan itu.

      Hubungan dengan istri ayahnya, dan adik-adik barunya cukup baik. Abimanyu ingin membuktikan, ibunya melahirkan anak-anak yang baik. Abimanyu tidak mau ayahnya menjadikan sang ibu kambing hitam atas kegagalannya sebagai laki-laki. Di dalam hatinya, Abimanyu berjanji akan menjadi laki-laki yang bertanggung jawab.
 
 
      "Den, lagi bahagia ya? Dari tadi senyum-senyum sendiri!" Abimanyu tersentak dari lamunannya. Mbok Mirah yang kemarin memaksa ikut ke Semarang, sudah berdiri tegak di sisi tempat tidurnya, di kamar yang mama sediakan jika dia berkunjung ke rumah ibunya. Perpisahan kedua orang tuanya memberi Abimanyu kesempatan untuk berkunjung ke rumah sang mama, setidaknya dia tidak kebingungan lagi.

      "Mbok, bikin kaget saja? Sejak kapan, simbok masuk ke sini?" tanyanya sambil bangkit dari tidurnya, lalu duduk di pinggir tempat tidur. Mbok Mirah ikut duduk, tangan tua yang sudah mulai keriput itu mengulurkan gelas berisi susu hangat. Abimanyu menerimanya, dan langsung meneguknya sampai tandas. Mbok Mirah mengambil gelas kosong itu dari tangan Abimanyu, yang mau diletakkan di nakas.

       "Sini, biar sama Simbok saja!' katanya sambil tersenyum. Abimanyu jadi curiga, sama seperti dengan dirinya, kemarin mbok Mirah terus menangis mendengar mamanya tidak sadarkan diri. Perempuan berusia enam puluh tahun itu, juga sempat menolak disuruh istirahat saja di rumah mama. Karena cintanya kepada mantan istri tuannya, mbok Mirah berniat ikut menunggu sampai mama sadar

       "Mbok, kenapa senyum-senyum?" tanyanya curiga. Masih dengan senyum yang memperlihatkan gigi ompongnya, mbok Mirah menepuk paha Abimanyu. Abimanyu memegang tangan itu, dan menggenggamnya erat.

       "Simbok lega, Ibu sudah sadar. Tadi non Agni telepon, katanya Ibu sudah bisa merespons dengan baik. Simbok juga senang, melihat den Gading sudah ceria lagi." Kata mbok Mirah yang membuat Abimanyu tersentuh.

      "Terima kasih, simbok selalu ada di samping Gading." Ujarnya tulus.

      "Itu sudah tugas Simbok. Simbok senang melakukannya untuk anak laki-laki sebaik Aden." Tidak bisa menahan diri lagi, simbok memeluk Abimanyu erat. Abimanyu menyambut hangat pelukan perempuan yang sudah seperti ibunya sendiri itu. Perempuan yang selalu ada untuknya.

      "Tapi tunggu Den, senyum-senyumnya tadi bukan karena Ibu sudah sadar, kan?" tanyanya setelah mengurai pelukan mereka. Abimanyu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mbok Mirah terlalu mengenalnya, dia tahu rahasianya.

      Benerkah ada yang dirahasiakan dari mbok Mirah? Perempuan itu tahu semua tentang Abimanyu, semuanya. Dia juga tahu setiap detailnya tentang Andara, dari mulai timbul rasa suka, sampai usahanya mengejar, juga bahagianya dengan perubahan sikap Andara mulai menerima dirinya. 

Semua tidak tersembunyi dari mbok Mirah, Abimanyu sendiri yang bercerita. Perempuan itu langsung setuju, ketika Abimanyu menunjukkan foto Andara yang diambilnya diam-diam.  

      Sore tadi, secara tidak sengaja mbok Mirah yang mau mengantar susu hangat mendengar Abimanyu sedang menelepon. Suara tawa Abimanyu menahan langkah perempuan itu. Dia tidak jadi mengetuk pintu, tetapi juga tidak pergi. Dengan telinga tuanya, mbok Mirah memastikan dugaannya. Benar saja, nama Andara disebut beberapa kali.

      "Mbok Mirah nguping, ya?" todong Abimanyu pura-pura cemberut.

       "Enggak sengaja dengar! Lagian siapa suruh ngomongnya kenceng-kenceng, satpam di depan bisa mendengar juga kali. Memang susah, orang lagi jatuh cinta, baru ditelepon saja senangnya mengalahkan mendapat lotre." Tuturnya menggoda. Tiba-tiba Abimanyu tertawa, mbok Mirah ikut tertawa bahagia.    

      "Sudah jangan tertawa terus, Den Gading mandi dulu. Katanya mau gantian jaga dengan non Agni." Ujar mbok Mirah memutus tawa mereka.  

      "Oya, makasih Mbok!" Mbok Mirah tersenyum, lalu bangkit dari duduknya.

       "Mbok, gak papa kan, kalau besok Gading mau pulang sebentar. Mau ketemu Andara, ada yang harus Gading katanya kepadanya. Doakan, Gading berhasil, ya?" mohonnya sopan. Mbok Mirah tersenyum lagi.

      "Mbok, selalu berdoa yang terbaik untuk Aden. Mbok..." Mbok Mirah belum menyelesaikan ucapannya, Abimanyu sudah berdiri. Dengan cepat, anak muda itu mencium pipi perempuan yang selalu mendampinginya itu.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun