Langkah ketiga gadis itu terhenti di depan pintu, seseorang yang saat ini tidak diharapkan Andara, tengah duduk di bangku beton di depan kelas mereka. Mega menoleh ke arah Andara, dengan mata minta penjelasan. Sama seperti Mega, Danasti pun meminta penjelasan dengan menyenggol lengan kanannya. Andara mengangkat bahu, tidak tahu harus menjawab apa. Faktanya, dia memang tidak tahu kenapa orang itu ada di sini.
   "Lo, enggak janjian sama dia?"bisik Mega memastikan. Andara menggeleng, seharian ini mereka tidak sempat berkomunikasi. Mereka sibuk dengan kepentingan masing-masing.
   "Lama amat keluarnya, sampai kering aku menunggu!" omel orang itu begitu menyadari keberadaan ketiga gadis itu.
   "Hai Mega, hai Danasti!" sapanya ramah kepada kedua sahabat Andara.
   "Hai Mas, beneran loh, Ra. Mas Sena jadi tambah hitam!" goda Danasti yang disambut Sena dengan gelak. Lucu juga mendengar suara medok Danasti, menyebut panggilan Mas di depan namanya. Sena bangkit dari duduknya, lalu katanya,"Aku izin pinjam Andara, ya! Ada yang harus kami bicarakan,"
   "Pinjam, memangnya aku barang!" sungut Andara tidak terima. Sena menyeringai, dengan tatapan berfokus kepada teman masa kecilnya itu. Â
   "Bawa saja, Mas! Aku lagi enggak butuh!" Danasti menanggapi permintaan itu dengan tertawa renyah, sementara Mega tersenyum sinis. Entah kenapa, Mega tidak pernah bisa cocok dengan Sena. Sikapnya tidak pernah menyenangkan, sejak pertama diperkenalkan. Berbeda dengan Danasti, yang selalu ramah menyapa cowok itu, bahkan ketika tidak bersama Andara.
   "Oke, deal! Thanks you!" Seperti layaknya orang bertransaksi, Sena menjabat tangan Danasti, dengan senyum ramah meyakinkan. Danasti membalasnya hangat, masih dengan tawa renyahnya. Andara mengamati tingkah aneh keduanya dengan dahi berkerut.
"Wong edan!" gumamnya lirih, lalu melangkah meninggalkan tempat itu, tanpa mengindahkan cowok yang katanya lama menunggunya. Sena melangkah tergesa mengejar, gadis berambut ekor kuda itu. Sampai di belokan gang sekolah, telinga Andara masih menangkap tawa lepas Danasti ditimpali umpatan kasar Mega. Andara menggeleng pelan tidak paham dengan sikap mereka. Sena, Danasti, dan Mega, hari ini mereka terlihat aneh, seaneh sikapnya kehilangan Abimanyu.
   Abimanyu, apa yang terjadi padanya? Pertanyaan itu kembali menari-nari dalam pikirannya. Membuatnya kembali menyesali sikap acuhnya.
   "Ra, motornya di sana!" Andara melonjak kaget. Dia seperti lupa sedang berjalan dengan Sena, yang berhasil menjajari langkahnya. Tanpa menjawab, Andara mengarahkan kakinya ke tempat parkir.
   "Kamu melamun? Kenapa, apa yang kamu pikirkan?" tanya Sena khawatir. Namun, di telinga Andara terdengar seperti curiga.
   "Siapa yang melamun? Emang mikir apa? Sok tahu!" sahutnya keras hati. Sena tidak boleh tahu kegelisahan hatinya. Andara hanya perlu bersikap tenang. Andara sudah terbiasa menyimpan perasaannya, sama seperti dia menyimpan rapi rasa yang pernah mengganggunya karena cowok yang selalu menemaninya itu, selain ayah.
Andara pernah mencintai Sena, rasa itu perlahan tapi pasti bersemayam indah dalam hatinya. Perhatian dan kebaikan cowok berkulit agak gelap itu, membuat hatinya berbunga-bunga. Sena selalu ada untuknya, dia tidak pernah menolak permintaannya. Apa pun yang Andara mau, selama masih bisa, Sena akan mewujudkan kemauannya itu. Kenyamanan itu, membuat Andara menahan rasa, yang tidak dirasakan Sena. Andara tidak mau mengambil risiko kehilangan kenyamanan itu. Â
   "Mau ke mana?" Andara bertanya sambil menepuk pundak Sena. Gadis itu tersadar dari lamunan panjangnya. Matanya melihat ke sekeliling, motor yang dikendarai Sena membawa mereka ke arah yang berlawanan dengan rumah mereka.
   "Membayar keinginan Kamu!" sahut Sena dengan suara keras.
   "Kita mau ke mana?" teriak Andara mendekatkan kepalanya, di telinga Sena. Agak sulit bagi Andara mendengar suara Sena, karena cowok itu memakai pelindung kepala full face, sesuai standar keselamatan pengendara sepeda motor. Salah satu kebiasaan baik yang Andara suka dari Sena. Bratasena yang cerdas, tenang, dewasa, dan cowok paling disiplin yang pernah dikenalnya. Tentu saja selain Gunawan, ayahnya sendiri.
   Alih-alih menjawab, Sena malah memacu kendaraan lebih cepat. Tidak siap dengan perubahan kecepatan yang dilakukan Sena, Andara refleks memeluk pinggang Sena. Kepalanya menabrak punggung kukuh di depannya. Diam-diam Sena tersenyum, strateginya berhasil. Sayang, hanya sesaat bahagia itu, Andara segera menarik tangannya. Sena merasa kehilangan, ingin rasanya menarik tangan itu kembali, tetapi tidak berani. Apa yang akan dipikirkan Andara, kalau dia melakukan hal konyol itu.
Â
   Sena tidak tahu apa yang sedang terjadi. Bertahun-tahun mereka tumbuh bersama, Sena tidak pernah merasakan perasaan yang mengejarnya beberapa hari belakangan ini. Tiba-tiba, Sena takut kehilangan Andara. Kehadiran Abimanyu, adik kelasnya yang sempat didukungnya untuk mendekati Andara, membuka matanya. Andara layak dicintai, tidak hanya disayang seperti perasaan yang dipupuknya selama ini. Sena merasa sangat bodoh, sudah melewatkan begitu banyak waktu dan kesempatan. Dia bahkan mengabaikan sinyal yang dikirimkan Andara, malah berpacaran dengan salah satu teman gadis itu.
   "Pelan-pelan, dong, Mas! Bahaya tahu?" Andara mengomel sambil memukul pundak Sena tersentak, motornya sedikit oleng, yang membuat Andara kembali memeluk pinggangnya. Refleks tangan Sena memegang tangan yang ada di pinggangnya. Sena merasakan hatinya menghangat.
   Andara kaget, tubuhnya mengejang, tidak menyangka Sena akan melakukan itu. Beberapa saat lamanya gadis itu membiarkan tangannya, tetap berada dalam genggaman cowok yang pernah dicintainya dalam diam. Sepanjang kedekatan mereka, kontak fisik yang pernah mereka lakukan hanya ketika Sena mengacak rambutnya.
   Mereka sering pulang bersama, naik motor yang sama juga. Sena selalu fokus dengan jalan, dan Andara menjadi penumpang yang baik. Tidak mau mengganggu konsentrasi cowok itu, kecuali ada hal mendesak. Kenapa hari ini Sena memegang tangannya? Ada apa dengan Sena? Belum selesai masalah Abimanyu, Sena malah ikut bersikap aneh. Setelah sekian lama, tidak mungkin tiba-tiba Sena menyukainya. Lalu bagaimana dengan dirinya?
   Andara ingin menguji hatinya. Perlahan gadis itu memejamkan matanya, mencoba merasakan sensasi dari kedekatan mereka, menunggu debar yang dulu dirasakannya. Aneh, dia tidak merasakan apa-apa. Hanya embusan panas dari seseorang yang menatapnya dengan jarak sangat dekat. Andara segera membuka matanya, refleks gadis itu menarik dirinya. Mukanya merona, mendapati wajah Sena berada beberapa centimeter di depannya. Â
Â
   "Sudah sampai, turun yuk!" ajak Sena lembut. Andara mengangguk, dengan cepat dia turun dari boncengan, melepas helm dan menggantungkannya di setang. Selesai merapikan diri, sambil menenangkan debar jantungnya karena kaget, Andara mengamati sekeliling. Ternyata Sena membawanya ke Kuno Kini Kafe, tempat yang seharusnya mereka kunjungi kemarin.
   Andara membeku, kenapa harus ke sini? Saat tidak ada Abimanyu, saat dia tidak tahu bagaimana keadaan cowok itu. Andara menatap lekat bangunan yang didominasi warna kuning, dengan banyak hiasan dan meja-meja berbentuk kotak dari kayu, yang ada di depannya itu. Andara tidak ingin masuk, bayangan Abimanyu menari-nari dalam pikirannya. Dia tidak ingin bersenang-senang, ketika cowok itu tidak ada.
   Andara memantapkan hati untuk mengajak Sena pulang. Matanya beralih ke tempat parkir, Sena berhasil memarkir motornya di ujung. Setelah melepas jaket dan menyimpannya di dalam helm, Sena melangkah mendekatinya.
Â
   "Mas, kenapa ke sini? Kita...?" Ajakannya pulang mengambang di udara. Andara tidak tega mematahkan semangat Sena. Senyuman lebar menghiasi wajah tampannya. Dengansantai, kakak kelasnya itu menggandeng tangannya, membawanya masuk. Mereka mengambil tempat duduk di pojok, entah bagaimana dia mendapatkan tempat itu. Ruangan sudah penuh diisi muda mudi berseragam putih biru seperti mereka, pasti dia sudah memesan terlebih dulu.
   "Mau minum apa?" tanya Sena, begitu pelayan resto mendatangi mereka. Andara baru mau menjawab, ketika gawainya berbunyi. Nama Devandra muncul di layar.
   "Maaf, aku terima di luar dulu!" pamitnya sebelum berjalan keluar. Ruangan kafe terlalu ramai, tidak mungkin dia menerima panggilan di dalam. Mata Sena mengiringi langkah tergesa gadis itu sampai di luar. Dadanya bergemuruh, tangannya terkepal menahan emosi. Tidak cukupkah membatalkan acaranya kemarin? Kenapa harus menelepon, ketika hatinya mantap menyampaikan apa yang dirasakannya?
    'Apalagi ini?' jerit hatinya.
   "Makanan di keluarkan sekarang, Mas?" Pertanyaan sopan gadis di depannya membuyarkan lamunannya. Â
   "Boleh," jawabnya pelan. Gadis itu mengangguk sopan, lalu pergi meninggalkan Sena sendiri.
Sena kehilangan semangat, semua yang sudah dipersiapkannya, terancam gagal. Andara masih menelepon, tangannya sibuk seperti sedang mengarahkan. Dari gerakan tangan itu, Sena tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
   Dugaannya benar, tidak lama kemudian Andara memasuki kafe bersama laki-laki dewasa yang tidak diharapkannya. Devandra.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H