"Kamu melamun? Kenapa, apa yang kamu pikirkan?" tanya Sena khawatir. Namun, di telinga Andara terdengar seperti curiga.
   "Siapa yang melamun? Emang mikir apa? Sok tahu!" sahutnya keras hati. Sena tidak boleh tahu kegelisahan hatinya. Andara hanya perlu bersikap tenang. Andara sudah terbiasa menyimpan perasaannya, sama seperti dia menyimpan rapi rasa yang pernah mengganggunya karena cowok yang selalu menemaninya itu, selain ayah.
Andara pernah mencintai Sena, rasa itu perlahan tapi pasti bersemayam indah dalam hatinya. Perhatian dan kebaikan cowok berkulit agak gelap itu, membuat hatinya berbunga-bunga. Sena selalu ada untuknya, dia tidak pernah menolak permintaannya. Apa pun yang Andara mau, selama masih bisa, Sena akan mewujudkan kemauannya itu. Kenyamanan itu, membuat Andara menahan rasa, yang tidak dirasakan Sena. Andara tidak mau mengambil risiko kehilangan kenyamanan itu. Â
   "Mau ke mana?" Andara bertanya sambil menepuk pundak Sena. Gadis itu tersadar dari lamunan panjangnya. Matanya melihat ke sekeliling, motor yang dikendarai Sena membawa mereka ke arah yang berlawanan dengan rumah mereka.
   "Membayar keinginan Kamu!" sahut Sena dengan suara keras.
   "Kita mau ke mana?" teriak Andara mendekatkan kepalanya, di telinga Sena. Agak sulit bagi Andara mendengar suara Sena, karena cowok itu memakai pelindung kepala full face, sesuai standar keselamatan pengendara sepeda motor. Salah satu kebiasaan baik yang Andara suka dari Sena. Bratasena yang cerdas, tenang, dewasa, dan cowok paling disiplin yang pernah dikenalnya. Tentu saja selain Gunawan, ayahnya sendiri.
   Alih-alih menjawab, Sena malah memacu kendaraan lebih cepat. Tidak siap dengan perubahan kecepatan yang dilakukan Sena, Andara refleks memeluk pinggang Sena. Kepalanya menabrak punggung kukuh di depannya. Diam-diam Sena tersenyum, strateginya berhasil. Sayang, hanya sesaat bahagia itu, Andara segera menarik tangannya. Sena merasa kehilangan, ingin rasanya menarik tangan itu kembali, tetapi tidak berani. Apa yang akan dipikirkan Andara, kalau dia melakukan hal konyol itu.
Â
   Sena tidak tahu apa yang sedang terjadi. Bertahun-tahun mereka tumbuh bersama, Sena tidak pernah merasakan perasaan yang mengejarnya beberapa hari belakangan ini. Tiba-tiba, Sena takut kehilangan Andara. Kehadiran Abimanyu, adik kelasnya yang sempat didukungnya untuk mendekati Andara, membuka matanya. Andara layak dicintai, tidak hanya disayang seperti perasaan yang dipupuknya selama ini. Sena merasa sangat bodoh, sudah melewatkan begitu banyak waktu dan kesempatan. Dia bahkan mengabaikan sinyal yang dikirimkan Andara, malah berpacaran dengan salah satu teman gadis itu.
   "Pelan-pelan, dong, Mas! Bahaya tahu?" Andara mengomel sambil memukul pundak Sena tersentak, motornya sedikit oleng, yang membuat Andara kembali memeluk pinggangnya. Refleks tangan Sena memegang tangan yang ada di pinggangnya. Sena merasakan hatinya menghangat.
   Andara kaget, tubuhnya mengejang, tidak menyangka Sena akan melakukan itu. Beberapa saat lamanya gadis itu membiarkan tangannya, tetap berada dalam genggaman cowok yang pernah dicintainya dalam diam. Sepanjang kedekatan mereka, kontak fisik yang pernah mereka lakukan hanya ketika Sena mengacak rambutnya.
   Mereka sering pulang bersama, naik motor yang sama juga. Sena selalu fokus dengan jalan, dan Andara menjadi penumpang yang baik. Tidak mau mengganggu konsentrasi cowok itu, kecuali ada hal mendesak. Kenapa hari ini Sena memegang tangannya? Ada apa dengan Sena? Belum selesai masalah Abimanyu, Sena malah ikut bersikap aneh. Setelah sekian lama, tidak mungkin tiba-tiba Sena menyukainya. Lalu bagaimana dengan dirinya?
   Andara ingin menguji hatinya. Perlahan gadis itu memejamkan matanya, mencoba merasakan sensasi dari kedekatan mereka, menunggu debar yang dulu dirasakannya. Aneh, dia tidak merasakan apa-apa. Hanya embusan panas dari seseorang yang menatapnya dengan jarak sangat dekat. Andara segera membuka matanya, refleks gadis itu menarik dirinya. Mukanya merona, mendapati wajah Sena berada beberapa centimeter di depannya. Â
Â
   "Sudah sampai, turun yuk!" ajak Sena lembut. Andara mengangguk, dengan cepat dia turun dari boncengan, melepas helm dan menggantungkannya di setang. Selesai merapikan diri, sambil menenangkan debar jantungnya karena kaget, Andara mengamati sekeliling. Ternyata Sena membawanya ke Kuno Kini Kafe, tempat yang seharusnya mereka kunjungi kemarin.
   Andara membeku, kenapa harus ke sini? Saat tidak ada Abimanyu, saat dia tidak tahu bagaimana keadaan cowok itu. Andara menatap lekat bangunan yang didominasi warna kuning, dengan banyak hiasan dan meja-meja berbentuk kotak dari kayu, yang ada di depannya itu. Andara tidak ingin masuk, bayangan Abimanyu menari-nari dalam pikirannya. Dia tidak ingin bersenang-senang, ketika cowok itu tidak ada.