Andara memantapkan hati untuk mengajak Sena pulang. Matanya beralih ke tempat parkir, Sena berhasil memarkir motornya di ujung. Setelah melepas jaket dan menyimpannya di dalam helm, Sena melangkah mendekatinya.
Â
   "Mas, kenapa ke sini? Kita...?" Ajakannya pulang mengambang di udara. Andara tidak tega mematahkan semangat Sena. Senyuman lebar menghiasi wajah tampannya. Dengansantai, kakak kelasnya itu menggandeng tangannya, membawanya masuk. Mereka mengambil tempat duduk di pojok, entah bagaimana dia mendapatkan tempat itu. Ruangan sudah penuh diisi muda mudi berseragam putih biru seperti mereka, pasti dia sudah memesan terlebih dulu.
   "Mau minum apa?" tanya Sena, begitu pelayan resto mendatangi mereka. Andara baru mau menjawab, ketika gawainya berbunyi. Nama Devandra muncul di layar.
   "Maaf, aku terima di luar dulu!" pamitnya sebelum berjalan keluar. Ruangan kafe terlalu ramai, tidak mungkin dia menerima panggilan di dalam. Mata Sena mengiringi langkah tergesa gadis itu sampai di luar. Dadanya bergemuruh, tangannya terkepal menahan emosi. Tidak cukupkah membatalkan acaranya kemarin? Kenapa harus menelepon, ketika hatinya mantap menyampaikan apa yang dirasakannya?
    'Apalagi ini?' jerit hatinya.
   "Makanan di keluarkan sekarang, Mas?" Pertanyaan sopan gadis di depannya membuyarkan lamunannya. Â
   "Boleh," jawabnya pelan. Gadis itu mengangguk sopan, lalu pergi meninggalkan Sena sendiri.
Sena kehilangan semangat, semua yang sudah dipersiapkannya, terancam gagal. Andara masih menelepon, tangannya sibuk seperti sedang mengarahkan. Dari gerakan tangan itu, Sena tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
   Dugaannya benar, tidak lama kemudian Andara memasuki kafe bersama laki-laki dewasa yang tidak diharapkannya. Devandra.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H