Tempat makan yang ingin dikunjungi Devandra, bukan kafe-kafe kekinian yang tumbuh seperti jamur di kota kecil Purwodadi. Tempat yang menarik perhatian kaum muda untuk berkumpul, seperti Kuno Kini Kafe. Tempat kekinian itu yang seharusnya mereka kunjungi untuk merayakan ulang tahun Sena. "Buat apa ke kafe, sudah bosan. Bali gudangnya kafe!" Begitu alasan Devandra. Benar juga, kafe-kafe di sini tidak ada apa-apanya dibanding yang ada di Bali.
   Lalu tempat makan seperti apa? Namanya warung makan bu Harsiti, yang menyediakan makanan khas Purwodadi yang sedang booming, nasi jagung. Seperti namanya, nasi jagung dibuat dari jagung kering yang mengalami proses pemasakan cukup panjang. Sebelum dimasak, jagung harus direndam sekitar 2 -- 4 hari, lalu digiling menjadi tepung jagung. Tepung jagung itu yang akan diaron lalu dikukus menjadi nasi. Makanan yang enak dipadukan dengan berbagai macam lauk itu, menjadi daya tarik tersendiri bagi penggemarnya.
    Lauk apa saja yang biasa menemani nasi seret itu? Jangan kaget, nasi jagung enak dimakan dengan kulup (urap), sayur bening bayam plus botok yuyu (ketam sawah), sayur asem lompong (keladi), ditemani peyek (rempeyek) teri atau ikan asin digoreng tepung. Di beberapa tempat di Purwodadi, juga dijual dalam bentuk nasi goreng. Rasanya, jangan ditanya. Mantap banget! Saking enak dan ngangeninya, nasi jagung juga dijual dalam bentuk tepung instan yang bisa dijadikan oleh-oleh. Cara memasaknya pun gampang, tinggal dimasukkan rice cooker, kasih air sesuai takaran. Sepuluh menit kemudian, jadilah nasi jagung yang gurih dan nikmat.
    Di sini mereka sekarang, di rumah joglo yang disulap menjadi warung. Ada delapan bangku panjang, dengan empat meja. Masing-masing dua di sisi kanan, dan kiri meja yang digunakan untuk meracik. Meski sudah lewat jam makan siang, warung masih cukup ramai. Kerennya, pengunjung warung sederhana itu kebanyakan bos-bos dengan mobil bagus terparkir di depan. Mereka sempat menunggu beberapa menit sebelum mendapat tempat duduk. Itu pun harus berbagi dengan sepasang muda mudi yang lebih dulu duduk. Andara mengambil posisi di sebelah si cewek, disusul Devandra, sementara Sena duduk di sebelah Abimanyu dekat dengan si cowok.
   Andara tampak antusias, sambil menunggu tadi dia bilang sering datang ke warung itu dengan ayahnya. Berbeda dengan Sena, cowok berambut rapi itu lebih banyak diam. Wajahnya datar, tidak ada senyuman sama sekali. Abimanyu tidak mengerti, ke mana perginya si kalem Sena, yang setia menemani Andara.
   "Ngersake dhahar menapa, Mas?" tanya si ibu ramah. Devandra tersenyum dengan tatapan bertanya.
   "Maksudnya, mau makan apa Mas?" Andara mencoba menerjemahkan. Devandra mengangguk, lalu berdiri mendekati tempat Ibu yang menawari menu. Andara menyusul, kuatir terjadi kesalahpahaman.
   "Menu paling istimewa apa, Bu?" katanya minta rekomendasi menu. Si ibu tersenyum, lalu menjelaskan menu andalan mereka.
   "Saya mau itu." Katanya sambil menunjuk yang disebutkan penjual. Andara tersenyum lega, tidak ada drama.
   "Gek, mau makan apa?" Devandra ganti bertanya kepada Andara. Si Ibu ikut menunggu.
   "Sekedap (sebentar), Bu!" Gadis itu meninggalkan meja lapak, menghampiri Sena dan Abimanyu, menanyakan menu yang mau mereka makan. Abimanyu minta nasi urap, dengan ikan asin. Sena masih diam, hanya menatap si gadis.
   "Mlongo bae, maem opo(bengong saja, makan apa)?"
   "Podo awakmu!" sahutnya acuh.
   "Kalau aku enggak makan?" ledek Andara iseng.
   "Aku enggak makan juga." Jawabnya tanpa menengok. Dahi Andara mengernyit, sesaat gadis itu memperhatikan Sena dengan seksama. Memastikan sesuatu, ada yang tidak beres pada cowok yang selalu ada untuknya itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, Andara berlalu meninggalkan meja mereka.
   Devandra belum kembali bergabung, sampai makanan siap di atas meja. Laki-laki itu asyik bercerita ramah dengan pemilik warung. Logat Bali yang kental, bertemu dengan suara medok bu Harsiti terdengar lucu. Andara menjadi penengah, ketika si ibu kesulitan memahami bahasa Devandra. Sesekali terdengar gelak tawa, Abimanyu pun ikut tertawa. Tentang Sena, jangan ditanya. Tidak berubah. Â
   Setelah pesanan terhidang, Devandra dan Andara bergabung. Mereka pun menyantap makanan tradisional itu dalam diam, setelah sebelumnya Devandra sempat menyebabkan masalah. Makanannya menyembur, dan tersedak karena makan sambil mengomentari menu yang baru pertama kali disantapnya. Andara sibuk menepuk punggung kakak angkatnya, Abimanyu memberinya minum, dan Sena hanya menatap sebal.  Â
   "Bagaimana, sudah enakkan, Bli?" Laki-laki itu mengangguk, meneguk kembali es jeruk yang tinggal sedikit, lalu tersenyum lega.
   "Maaf ya, jadi mengurangi kenikmatan makan kalian." Katanya tidak enak hati.
   "Enggak apa-apa, Bli. Tetap nikmat kok," jawab Abimanyu ramah. Sena tersenyum tipis. Abimanyu mencatatnya sebagai yang pertama sejak mereka bertemu laki-laki yang mengalihkan perhatian Andara. Kemajuan yang cukup menggembirakan. Lumayan, daripada jutek terus.
   Selesai makan, Sena berdiri untuk membayar makanan yang mereka santap. Devandra sudah mau ikut berdiri, tetapi ditahan oleh Andara. Keduanya sempat berdebat dengan suara pelan, yang masih dapat ditangkap oleh Abimanyu. Intinya, Andara memberitahu kalau hari ini Sena ulang tahun. Mendengar penjelasan gadis berambut berekor kuda itu, Devandra mengalah.
   "Sena, selamat ulang tahun. Maaf, mengacaukan acara kalian." kata Devandra begitu Sena selesai bertransaksi.
   "Tidak apa-apa, di sini juga menyenangkan. Sebagai warga asli, saya malu baru tahu tempat ini. Kalah sama orang Bali, yang menyempatkan diri menikmati kuliner tradisional kami. Terima kasih!" Sena membungkuk sopan. Ketegangan mencair, Abimanyu dan Andara tersenyum lega.
   "Terima kasih Sena. Aku suka iri dengan wisatawan yang menikmati keindahan dan kuliner kami. Jadi ketika keluar, kami juga harus melakukan hal yang sama. Mencicipi makanan tradisional yang jauh lebih nikmat dari makanan kekinian. Sebagai generasi muda, kita enggak boleh melupakan tradisi daerah kita sendiri. Kemarin saya..." Devandra masih terus bercerita tentang petualangan menikmati makanan khas Semarang, selama berada di kota Atlas.
   Sebagai tuan rumah yang baik, ketiga remaja itu berusaha menanggapi dengan sopan. Kadang celotehan Andara mengundang tawa cowok-cowok itu. Bunyi gawai Abimanyu menjeda obrolan mereka. Pemuda tampan itu minta diri menerima panggilan dari luar ruangan. Tidak lama Abimanyu kembali dengan wajah tegang.
   "Maaf, aku harus pulang sekarang. Sena, thanks you. Bli Devandra, senang mengenal Anda. Aku pamit, Ra," Tanpa menunggu komentar dari ketiga teman makannya tadi, Abimanyu langsung melesat pergi dengan motornya. Andara mengangguk dengan wajah linglung. Ada apa? Satu pertanyaan yang tidak sempat dijawab, karena Abimanyu sudah menghilang.
   "Eh, ati-ati!" teriak Andara setelah sadar dari bengongnya. Â
   "Telat, dia sudah enggak ada!" timpal Sena kembali sinis. Andara mengempaskan tubuhnya yang sempat tegang. Kekecewaan terlihat jelas dimatanya.
   Andara baru menyadari hal bodoh yang sudah dilakukannya. Sikap tidak pedulinya kepada Abimanyu yang beberapa bulan terakhir terus ada di dekatnya. Abimanyu mencoba masuk dalam kehidupan pribadinya. Ikut menikmati hobinya menjelajah alam dengan sepedanya, bahkan belajar mengenal dan menyukai hobi ayahnya. Setiap Sabtu, pagi-pagi sekali dia meninggalkan kehidupan santainya di Purwodadi, menuju desa kecil tempat tinggal Andara untuk bergabung dengan teman-teman gadis itu. Untuk apa Abimanyu melakukan itu? Â
   "Hai, kenapa sedih? Kalian teman sekolah, besok juga bertemu lagi. Positif thinking saja, jangan berpikir yang aneh-aneh." Hibur Devandra sambil mengacak rambut adik angkatnya.
   "Kita doakan saja, tidak ada apa-apa dengan Abimanyu." Kata Sena menambahkan, dengan mata tidak beralih dari tangan Devandra yang masih bertengger di kepala Andara.
   "Kita pulang yuk! Hari ini, Bli menginap di rumah kamu. Lusa baru Bli balik ke Bali." Mata Sena melotot kaget mendengar pernyataan Devandra. Menginap, enggak salah?
   "Bli, serius?" Andara bertanya tidak percaya. Devandra mengangguk sambil tersenyum. Tanpa malu, gadis itu memeluk Devandra.
   Sementara Sena, hanya pasrah membiarkan luka hatinya menganga. Entah karena apa, dia sendiri tidak paham. Ada apa dengannya? Mengapa kehadiran Devandra melukai hatinya
BersambungÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H