Mohon tunggu...
Kingkin BPrasetijo
Kingkin BPrasetijo Mohon Tunggu... Guru - Guru yang suka menulis

Suka ngebolang atau bersepeda menikmati keindahan alam karya ciptaan Tuhan. Pencinta semburat jingga di langit pagi dan senja hari. Suka nonton film dan membaca dalam rangka menikmati kesendirian.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Biar Hati Bicara (Part 6)

2 November 2024   16:30 Diperbarui: 2 November 2024   16:51 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

     "Mas Abi, ngapain di sini?" seru Andara terkejut. Cowok tampan itu hanya tersenyum simpul. Tanpa bersuara Abimanyu meminggirkan sepedanya, memasang standar, lalu menghampiri gadis yang sudah siap dengan perlengkapan bersepedanya.
Andara memakai celana training model under Armour berwarna biru muda berkilat, dengan kaos putih lengan panjang. Topi putih bertuliskan salah satu merek terkenal, yang sama dengan sepatunya, melindungi rambut hitamnya yang selalu diikat ekor kuda. Penampilannya sederhana, membuat Abimanyu berdecak kagum. Biasa, tetapi menawan. Itu penilaian cowok keren, dengan berpenampilan serupa.

     Abimanyu kok bisa sampai di sini? Ya bisalah! Sejak cintanya ditolak, Abimanyu gencar mencari tahu, hal apa yang disukai gadis itu. Dia tidak menyerah. Meski banyak suara mengganggu, Abimanyu tetap pada pilihannya. Dia menyukai Andara, seperti adanya gadis itu. Gadis tomboi, yang hatinya teramat lembut. Dari informan yang dapat dipercaya, Abimanyu tahu apa saja yang biasa dilakukan gadis yang diincarnya.

     Seperti Sabtu sore ini, tanpa permisi cowok enam belas tahun itu sudah ada di depan rumah Andara, yang berjarak 20 Km dari rumahnya. Tentu saja Andara terkejut, apalagi Abimanyu datang dengan sepeda lipat mahal berwarna kuning bergaris putih. Penampilannya, jangan ditanya. Tentu saja keren, dasarnya memang sudah keren. Sepatu khusus pesepeda berwarna putih (kok bisa sama ya?), celana parasut tiga perempat berwarna hitam, dengan kaos lengan panjang pas badan berwarna putih hitam.  

       "Sudah mau jalan?" tanyanya ramah. Tangan laki-laki muda itu memegang setang sepeda Andara. Gadis itu masih diam, tatapan matanya menyelidik.

      "Kok bisa sampai sini? Tahu dari mana?" Andara kembali bertanya dengan nada tidak bersahabat.  

      "Bisalah, kan ada jalan!" sahut Abimanyu enteng. Andara mendelik? Pemuda tampan itu tergelak. Andara suka tawa itu, tapi malu untuk mengakuinya.

        Tawa Abimanyu tidak hanya menarik perhatian Andara, Gunawan yang sedang membersihkan sangkar burung di halaman samping ikut terpancing mendekat. Melihat ada tamu yang tidak dikenal, laki-laki empat puluhan tahun itu menyapa ramah.

      "Ada tamu, to? Siapa ini, Sayang?" Abimanyu tersentak, lalu tersenyum sambil memperkenalkan diri dengan sopan. "Maaf Om, saya Abimanyu. Teman sekolah Dara." 'Teman? Kakak kelas mengaku teman, sok muda!' Andara ngedumel lirih. 'Iya, cari aman saja. Enggak mengaku muda kok,' jawab Abimanyu tanpa suara.

     "O begitu, rumahnya dekat sini? Kok baru sekarang main?" tanya sang tuan rumah lagi.

     "Mas Abi, jalan yuk! Keburu sore!" ajak Andara memotong campur tangan ayahnya lebih lanjut. Gadis itu tidak mau, sang ayah akan menginterogasi cowok yang dari tadi terus tersenyum.

     "Dara jalan dulu, Yah!" Andara langsung mengayuh sepedanya setelah berpamitan.

      "Mari Om," pamit Abimanyu sopan.

      "Hati-hati, tolong ingatkan Dara kalau dia ngebut." Pesan Gunawan wanti-wanti. Abimanyu mengangguk sopan, lalu berlari kecil mengambil sepeda, dan mengejar Andara yang sudah berbelok.  

      "Kok langsung kabur?" protes Abimanyu setelah berhasil menyusul Andara. Gadis itu hanya melirik, tanpa berniat menjawab. Dia tidak mau kehilangan mood bersepedanya. Kalau Abimanyu bisa seenaknya datang ke rumahnya, dia juga bisa seenaknya pergi meninggalkan cowok tampan itu.

     Tidak ada yang salah dengan usaha Abimanyu. Andara hanya tidak suka, kehadirannya hanya akan membuat hari-hari tenangnya berubah. Apa jadinya emosi gadis-gadis pengagum Abimanyu, bila mereka tahu cowok most wanted mereka, sedang asyik mengayuh sepeda di sampingnya. Andara juga penasaran, dari mana laki-laki muda itu mengetahui aktivitas bersepedanya, hingga datang ke rumah dengan perlengkapan perangnya. Sepertinya, Abimanyu mulai bermanuver mendekati kehidupan pribadinya.

      Bersepeda adalah salah satu hobi Andara, yang rutin dilakukannya setidaknya setiap akhir minggu. Kalau tidak lelah, kadang sepulang sekolah dia menyempatkan bersepeda satu jam, berkeliling desanya. Kalau Sabtu, waktu bersepedanya akan lebih banyak sehingga jarak tempuhnya bisa lebih jauh. Dia biasa bergabung dengan beberapa teman masa kecilnya, menjelajah tempat wisata atau kuliner murah meriah di sekitar daerah mereka.  

      Rutinitas itu biasa dilakukan Andara pagi hingga siang hari. Kali ini tidak, kebetulan tadi pagi, ayah mengajak Andara ke rumah salah satu temannya, dengan imbalan akan menemani anak gadisnya bersepeda sore harinya. Sayang, janji itu tidak bisa Gunawan tepati. Karena tiba-tiba ada telepon dari atasannya, jam lima ada rapat penting. Terpaksa Andara pergi sendiri, untungnya ada Sena salah satu temannya menyanggupi untuk menemani. Mereka berjanji akan bertemu di perempatan kampung Jambangan, sebelum mereka bergerak menuju sasaran.

        "Kamu terlambat sepuluh menit, Ra!" tegur cowok berkaus biru hitam lengan panjang dengan topi hitam. Siapa lagi kalau bukan Sena. Andara tertawa renyah, sambil melakukan toss dengan cowok itu.

      "Sopo (Siapa)?" tanya Sena lirih. Andara mengedikkan bahunya malas. Melihat reaksi Andara terlihat enggan memperkenalkan dirinya, Abimanyu inisiatif mendekati cowok yang kemungkinan bisa menjadi rivalnya.

      "Hai, aku Abimanyu, teman sekolahnya." Sena menjabat tangan Abimanyu hangat. Cowok kalem itu tahu, ada sesuatu antara Abimanyu dengan sahabatnya.

     "Senang bisa mengenalmu. Sekelas sama Dara, kok enggak pernah lihat?" tanyanya menyelidik. Abimanyu menggeleng, alarm dalam pikirannya berbunyi. Jangan-jangan mereka satu sekolah? Kok enggak pernah lihat juga ya?

       "Malah ngobrol, ayo jalan. Gethuke selak entek (gethuknyanya keburu habis)!" sela Andara jengkel. Tanpa ngomong lagi, gadis itu segera mengayuh sepedanya ke arah selatan. Abimanyu bengong, sementara Sena hanya tersenyum.

     "Ojo dileboke ati, ya (Jangan dimasukin hati). Yuk, ngobrolnya sambil jalan saja!" ajak Sena yang langsung disetujui oleh Abimanyu. Keduanya segera menyusul Andara yang lebih dulu meninggalkan mereka.

      Sepanjang jalan mereka bercerita, sambil tertawa. Ternyata Sena juga satu sekolah, dua tingkat di atas Andara, atau satu tingkat di atas Abimanyu. Kok bisa enggak saling kenal? Bisa dong, sekolah mereka besar, muridnya banyak. Satu level ada delapan kelas, dengan murid sekitar 40 orang. Bisa dihitung berapa jumlah murid di sekolah mereka. Apalagi, tidak ada untungnya Sena mengenal adik kelas. Kalau Andara lain kasus, mereka sudah satu sekolah sejak sekolah dasar, di kota kecamatan kecil mereka.

      Sementara sekolah mereka ada di kota kabupaten, muridnya berasal dari seluruh pelosok Kabupaten. Namanya juga sekolah favorit, pasti menjadi incaran anak-anak berkemampuan kognitif bagus. Abimanyu merasa lega, Sena bukan saingannya. Malah dari kakak kelasnya itu, Abimanyu mendapat banyak info tentang Andara. Terutama hal yang sahabatnya di sekolah, tidak tahu.

      "Lama amat, jalan kalian kayak siput!" sambut Andara yang sudah lebih dulu sampai di Bledug Kuwu. Gadis itu menyandarkan sepedanya tepat di depan gerbang masuk, tempat wisata unik tersebut. Sementara dia berkacak pinggang, dengan ekspresi kesal, kedua cowok itu malah tertawa, tidak mau menanggapi emosi Andara.

     "Mlebu, Ra( Masuk, Ra)?" tanya Sena sabar. Andara menggeleng, tapi matanya menatap Abimanyu seolah bertanya hal serupa. Hati Abimanyu menghangat, tidak menyangka gadis itu meminta persetujuannya. Padahal dari tadi, gadis pujaannya itu terus mengabaikannya. Semoga ada harapan, bisik hatinya menyemangati. Seperti yang Sena lakukan tadi. Cowok itu memberinya atensi untuk mendekati sahabatnya.

     "Aku ikut saja," jawab Abimanyu beberapa saat kemudian.  
     

     "Aku enggak mau masuk, kalau kamu mau masuk saja. Belum pernah masuk ke situ, kan?" tanyanya sinis. Abimanyu tersenyum, tidak berniat menanggapi. Di mataku, makin marah kamu makin cantik Ra, gombalnya dalam hati. Abimanyu masih harus menyimpan semua itu dalam hati, kalau tidak mau Andara makin menjauh. Begitu pesan Sena, jangan coba-coba menggombal. Andara gadis yang sangat logis, dia tidak bakal percaya dengan gombalan receh.
 
     "Ya sudah, jalan lagi. Jangan lambat, ya!" ancamnya sebelum mulai mengayuh lagi. Dengan matanya Sena meminta Abimanyu segera mengejar Andara, sementara dia berada paling belakang.

      Sena senang melihat ekspresi jengkel Andara kepada Abimanyu. Dia tahu, ada rasa yang disimpan gadis itu. Ekspresi itu buktinya. Andara memang tomboi, itu alasan mereka bisa dekat, tetapi hati sahabatnya itu sangat lembut. Apa yang diperlihatkan tidak selalu sama dengan yang ada dalam hatinya. Sepanjang jalan, Sena terus tersenyum.

      "Ini mau ke mana Ra, kamu tadi sempat bilang gethuk. Mau beli gethuk?" tanya Abimanyu setelah berhasil menjajarkan sepedanya. Mereka sempat terpisah, karena Abimanyu tidak menyangka Andara akan menyeberang lurus ke arah Pulokulon, bukan belok kiri ke arah kota Kuwu. Bukannya menjawab, Andara hanya terus mengayuh. Sesekali gadis itu menengok untuk melihat Sena yang hari ini bersepedanya sangat pelan. Tidak seperti biasa, cowok itu akan selalu ada di belakangnya.

      Sekarang Sena masih berhenti di pertigaan, sepertinya menunggu kendaraan yang lalu lalang. Andara menghentikan sepedanya, Abimanyu mengikuti. Keduanya menunggu di tepi jalan. Andara mengambil botol minumnya lalu meneguk isinya tandas, belum sampai tempat air minumnya sudah habis. Abimanyu pun melakukan hal serupa. Sambil menunggu, Andara masuk ke warung kecil tidak jauh dari tempat mereka berhenti.

      "Enggak usah ikut, tunggu sepeda saja!" larang Andara ketika Abimanyu hendak mengikuti langkahnya. Cowok itu hanya mengangguk setuju. Tidak lama, Andara kembali dengan tiga botol air mineral 600 ml. Disodorkan masing-masing satu untuk Abimanyu, dan Sena yang sudah bergabung. Dia sendiri langsung memindahkan air itu ke dalam botolnya yang sudah kosong. Sena membuka dan langsung meminumnya.

     "Sepedamu bermasalah, Mas?" tanyanya kepada Sena.

      "Enggak, sih! Kenapa?" Sena balik bertanya.

      "Jalanmu lelet (lama), kayak cewek saja!" Abimanyu kaget tidak menyangka Andara akan menyerang Sena.

       "Eh, kamu cewek bukan?" ledek Sena iseng, sambil mencolek pinggang Andara. Gadis itu melotot galak, mukanya yang berkeringat makin memerah. Lagi-lagi Abimanyu terkejut melihat respons Andara, sementara Sena malah tertawa dengan suara keras.
 
      "Enggak ada yang dikejar, kan? Kamu juga sudah ada yang mengawal," sahutnya santai sambil melirik Abimanyu.

      "Sejak kapan aku butuh pengawal?" balas Andara sinis. Abimanyu menjadi tidak enak hati, kehadirannya tidak diharapkan. Memang siapa yang berharap, kamu kan datang tanpa diundang kayak jailangkung! Tuduh hatinya tidak bersahabat. Ah, biarlah. Suatu hari nanti, pasti Andara mengharap kedatanganku dengan sabar. Hibur Malaikat baik dalam dirinya.

      "Ayo ah, entar keburu habis. Aku di depan ya?" Sena kembali bertanya dengan memainkan alis matanya. Sena senang bisa menggoda Andara yang sudah beberapa hari ini berwajah mendung.

      "Terserah!" jawab Andara ketus. Tanpa aba-aba, gadis itu langsung membawa sepedanya. Sena kembali tergelak, sementara Abimanyu tersenyum kecut.

     "Sabar, ya!" Sena menepuk pundak Abimanyu, lalu mulai mengayuh. Kali ini dia tepat di belakang Andara, sementara Abimanyu mengikuti dari belakang. Sesekali saat lalu lintas sepi, Sena menyamakan posisi mereka, menggoda si gadis yang sudah mulai bisa tertawa. Mau tidak mau, Abimanyu tersenyum meski dalam hati mulai ada gundah. Dia merasa Andara menyukai Sena.

      Tidak lama mereka berhenti di depan sebuah rumah sederhana di jalan raya Purwodadi -- Kuwu, tepatnya di desa Tuko. Di tanah berumput depan rumah, ada beberapa kendaraan parkir di depannya, ada sepeda motor dan juga mobil. Itu tandanya pembelinya bukan hanya orang sekitar. Mereka memarkir sepeda sejajar dengan beberapa motor yang sudah lebih dulu parkir. Tanpa berbicara, Andara langsung melenggang masuk, sementara Sena mendekati yang melihat Abimanyu kebingungan.

      "Ini namanya Gethuk blondo bu Yarmi, kamu belum pernah dengar?" Abimanyu menggeleng.

      "Pembelinya ramai juga, padahal cuma gethuk doang?" Sena tersenyum.

      "Betul cuma gethuk, nanti kamu akan tahu uniknya jika sudah merasakan. Masuk, yuk!" ajak Sena sambil melangkah masuk. Abimanyu mengekor di belakangnya.

      Di dalam rumah, sudah berjajar orang mengantre. Ada yang asyik bercengkerama sambil menikmati makanan berbahan dasar singkong, yang disajikan dengan daun pisang itu. Ada yang dengan setia menunggu bagiannya dengan bermain gawai. Andara duduk di bangku panjang sambil menyilangkan kakinya. Kedua cowok itu menyusul duduk di sebelahnya. Sambil berbisik, Sena menjelaskan tentang gethuk Blondo Bu Yarmi kesukaan Andara.

      Seperti halnya gethuk lain, gethuk bu Yarmi juga terbuat dari singkong yang dikukus, lalu dihaluskan dengan campuran gula putih. Berbeda dengan gethuk yang dijual di pasar, makanan tradisional yang sedang naik itu terasa lebih lembut. Konon kata bu Yarmi sang pemilik, mereka hanya menggunakan singkong kualitas bagus, atau mempur (empuk). Sedangkan blondo sendiri merupakan ampas olahan minyak kelapa. Warnanya coklat kehitaman, dengan rasa gurih. Padanan gethuk lembut dengan rasa yang pas, bercampur dengan blondo yang gurih siap memanjakan lidah.

     Meski tinggal di kabupaten yang sama, Abimanyu belum pernah melihat blondo yang katanya gurih tadi. Mungkin di pasar Purwodadi tidak ada, atau keluarganya tidak pernah membeli makanan itu. Dia hanya tahu gethuk halus atau gethuk Lindri yang dijual di toko kue Dewi, yang ada di Jalan M.Y. Haryono. Tentu saja itu membuatnya makin penasaran.

     Pandangan cowok "kota", predikat dadakan yang baru saja dipatrikan oleh Andara, tidak beralih dari perempuan paruh baya yang melayani pembeli dengan ramah. Tangannya cekatan memotong, meletakkan pada daun, lalu menaburkan kelapa muda dan blondo, kemudian menutup daun itu dan melipatnya ke arah dalam. Tidak lama, mereka mendapat giliran. Andara memakannya dengan lahap, begitu juga dengan Sena. Abimanyu melirik kedua temannya, untuk melihat cara makan yang benar.

      "Biar makin maknyus, cocolan kelapa dan blondo harus seimbang. Biar mereka berantem di dalam mulut. Dan rasakan sensasinya," bisik Sena melucu. Abimanyu hampir tersedak karena guyonan Sena. Andara tersenyum simpul. Untung, Abimanyu sempat menangkap tindakan mahal gadis manis pujaan hatinya. Tidak mau kehilangan kenikmatan makanan itu, Abimanyu mengikuti saran Sena. Dan Abimanyu harus mengakui, saran itu benar. Tidak cukup satu bungkus, cowok kota itu tambah satu bungkus lagi.  

      Selesai makan mereka beranjak pulang, setelah sebelumnya masing-masing memesan untuk keluarga di rumah. Kalau untuk dibawa pulang, bu Yarmi memisah kelapa dan blondo dari gethuk, agar lebih tahan lama, atau tidak basi. Makanya gethuk bu Yarmi sering dijadikan oleh-oleh bahkan dari luar kota.

                                                                                                                         ***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun