Mohon tunggu...
Kingkin BPrasetijo
Kingkin BPrasetijo Mohon Tunggu... Guru - Guru yang suka menulis

Suka ngebolang atau bersepeda menikmati keindahan alam karya ciptaan Tuhan. Pencinta semburat jingga di langit pagi dan senja hari. Suka nonton film dan membaca dalam rangka menikmati kesendirian.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Biar Hati Bicara (Part 3)

30 Oktober 2024   19:22 Diperbarui: 30 Oktober 2024   19:23 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

       Gosip kisah tragis cinta sang pujaan para gadis di sekolah, tidak berhenti sampai pada Danasti saja. Kepopuleran sang korban menjadi pemicu kehebohan di sekolah. Dalam sekejap, Andara menjadi selebritis dadakan. Namanya menjadi bahan gibah gadis-gadis di sekolahnya. Ada yang menyerangnya melalui media sosial, seperti instagram dan Twitter. Kata-kata kasar bertebaran, menghiasi laman sosial medianya. Andara tidak mau ambil pusing, tidak ada untungnya menanggapi orang-orang yang tidak tahu apa-apa tenang dirinya. Ada juga yang mengirim pesan hinaan melalui whatsApp pribadinya, yang akhirnya menjadi bahan tertawaan dengan kedua sahabatnya.

     "Sadar, kamu siapa? Sok nolak Abimanyu segala!" dari no. 0887.xxxx.xxxx.

      "Sok kecakepan! Kayak Abimanyu serius saja sama kamu!" dari 08138457....

     "Bagus deh, Lo sadar diri! Cewek kuker begitu, enggak cocok sama Abi!!!!" dari 0856.87xx.xxxx. Pesan ini masih ditambah dengan emoticon muka merah padam alias marah.

      "Kuker? Apa enaknya kue kering?" gumam Andara sambil geleng-geleng kepala.

       "Sembarangan, enak gila! Apalagi kue nastar buatan Mak Yang! Selai nanasnya mantap, kulitnya lembut, lumer di mulut!" Celetuk Danasti nggak nyambung. Si penggemar kue kering itu protes sambil menjilat lidah. Wajahnya seratus persen berharap, kue kering buatan neneknya itu ada di depan matanya.

      "Bego Lo, kuker itu bukan kue kering, tapi kurus kering!" bentak Mega sengit. Danasti pura-pura kaget, mata sipitnya melebar, mulutnya mengatup menahan tawa. Tanpa diberitahu pun, Danasti tahu apa yang dimaksud tulisan-tulisan tidak bertanggung jawab itu. Andara tertawa melihat tingkah kedua sahabatnya. Mega yang menjadi serius, Danasti yang pura-pura bego. Dua sahabat dengan kepribadian yang benar-benar kontras.

       "Lo juga, Ra! Kenapa mesti ditolak, sih? Abimanyu ganteng, pinter, baik lagi. Kalau gue yang ditembak, enggak bakal gue tolak!" serang Mega, yang disambut gelak oleh Andara.

      "Itu memang mau, Lo! Dari masuk sekolah ini, Lo sudah melototin cowok itu, sampai mata mau copot!" Bela Danasti tepat sasaran. Mega melotot marah, tangannya refleks melempar biskuit yang ada di dekatnya. Dengan gesit Danasti menangkap camilan kesukaannya itu, dan langsung memasukkan ke dalam mulutnya. Andara tidak dapat berhenti tertawa melihat tingkah kedua sahabatnya.

      "Kenapa jadi kalian yang berantem, sih?" tanya Andara, disela tawanya. Andara tidak habis pikir, kenapa teman-teman sekolahnya begitu heboh, menanggapi penolakannya. Padahal seingatnya, Abimanyu biasa saja. Cowok itu masih tersenyum ramah, bahkan menyapa ketika mereka bertemu. Terus kenapa mereka heboh? Sehebat itukah pesona seorang Abimanyu, hingga mampu membuat para pengagumnya kebakaran jenggot?

       Lalu, siapa yang memberi mereka hak menghujat dirinya? Menghakimi tanpa perasaan, seolah tindakannya menolak Abimanyu adalah dosa yang tidak dapat dimaafkan. Pertanyaannya, apakah cowok sekeren Abimanyu, harus selalu menerima apa yang dia mau? Siapa juga yang mengharuskan?

       Pesan-pesan hujatan itu belum berakhir. Keesokan harinya Andara masih menerima beberapa pesan, yang lebih menyakitkan. Salah satunya dari 0878.1234.xxx, yang kata Danasti itu nomor Aurora. Teman sekelas Abimanyu, yang selalu berpenampilan anggun dengan bandana berganti setiap hari. Anggota klub sains, pernah mewakili sekolah lomba Matematika hingga masuk tingkat provinsi, dan tahun ini terpilih sebagai anggota tim paskibrata di Kabupaten.

       "Eh, kamu yang mengaku anggun, tapi enggak ada anggun-anggunnya sama sekali. Malu sama nama! Sok cantik lagi. Ngaca dong! Lihat baik-baik, tampang jelek Lo! Belagu!" Andara hampir membalas pesan tidak sopan, dari orang yang tidak dikenalnya itu. Untung Andara ingat, tidak penting mengurusi orang-orang tidak beretika itu. Dalam hati Andara heran, ternyata, ada juga anak eksakta yang dangkal logika. Atau memang benar kata Agnes Mo, cinta itu menghilangkan logika seseorang? Lebih bodoh lagi, kalau cinta itu membuat orang buta. Apa enaknya coba? Cinta kok membuat buta?

      Meski tidak terganggu dengan pesan-pesan itu, tak urung Andara iseng memprotes ayahnya. Gara-gara nama yang kedua orang tuanya berikan, dirinya dihujat. Sesudah sudah malam mereka duduk berdua di ruang tamu sambil menonton televisi. Ayah sedang menonton film spesial yang ditayangkan salah satu televisi nasional.

      "Ayah, Dara protes! Kenapa namaku ada Anggun nya,sih? Kayaknya enggak cocok banget sama aku! Ganti saja, boleh enggak?" sungutnya manja. Hanya kepada laki-laki berusia empat puluh 43 tahun itu Andara bermanja. Di luar rumah, Andara adalah gadis dengan kepribadian kuat.

       "Apanya yang tidak cocok, Sayang? Memang anggun itu apa? Kok jadi sewot begitu?" sahut Ayahnya tanpa mengalihkan matanya dari layar televisi. Merasa diabaikan, Andara makin cemberut. Dengan kesal, gadis itu meraih remote kontrol yang terletak di atas meja. Tangannya menekan tombol, mengganti saluran televisi. Bukannya marah, Gunawan Laksana malah terkekeh.

      "Kata orang sih, Anggun itu, kan akronim dari Anggota Ragunan?" bisiknya sambil tertawa lepas.

       "Ayah! Masak anaknya sendiri dibilang anggota Ragunan? Dara sama dengan binatang, dong!" teriak Andara histeris. Bantalan kursi yang tadi dipeluknya, terbang mengenai lengan sang ayah. Tawa Gunawan makin keras, bahagia rasanya bisa bercanda lepas dengan putrinya. Gadis kecil, satu-satunya peninggalan istri tercinta yang sudah berpulang. Harta terindah milik mereka.

       Masih dengan wajah cemberut, Andara menyurukkan tubuh mungilnya ke dalam pelukan hangat sang ayah. Gunawan menyambut sama hangatnya kemanjaan putri semata wayangnya. Diciumnya puncak kepala gadis lima belas tahun, yang memeluknya erat. Memberikan kebahagiaan kepada gadis kecilnya itu adalah janji Gunawan kepada istrinya, begitu pun Andara. Dia berjanji akan menjadi anak yang membanggakan sang ayah.

       "Dara sayang Ayah," bisik Andara serak. Gunawan bisa merasakan putrinya menangis dalam pelukannya.

       "Loh, ada apa ini?  Kok malah menangis? Anak Ayah kenapa? Tidak suka punya nama Anggun?" Andara menggeleng dalam pelukan ayahnya.

       "Ada apa, mau cerita? Ayah siap mendengarkan!" tanya Gunawan lembut. Andara menarik tubuhnya, beringsut menjauh. Gunawan melepaskan pelukannya, membiarkan gadis kesayangannya mengambil waktu. Laki-laki itu sabar menunggu.
Andara menyandarkan kepalanya pada bahu kukuh ayahnya. Bahu yang selalu memberikan kenyamanan kepadanya. Gadis itu terdiam agak lama. Hanya menikmati kebersamaan yang selalu disyukurinya sebagai anugerah yang tiada taranya. Gunawan tidak memberinya hidup mewah harta, melainkan kemewahan hati yang tidak dapat dihitung dengan uang. Keberadaan sang ayah setiap hari, kasih sayang dan perhatiannya lebih dari cukup buatnya.

      "Andara Anggun Nastiti. Kata Ayah, Andara itu akronim dari anak dara, yang artinya anak perempuan. Padahal internet bilang Andara itu nama permata Indian yang bercahaya. Anggun itu akronim dari nama ayah dan bunda, Anggita dan Gunawan. Internet bilang, anggun itu berwibawa dan apik atau baik. Nastiti itu teliti, atau cermat. Mana yang benar? Akronim atau dari internet?" Andara bergumam pelan.

       Gunawan dapat menangkap kegalauan putrinya, pasti namanya menjadi olok-olok teman-temannya seperti waktu kelas 7, tiga tahun lalu. Kata mbok Darmi, pulang sekolah Andara cemberut, langsung masuk kamar dan tidak mau keluar. Sikap yang tidak biasa itu membuat Mbok Darmi khawatir. Dengan berat hati, akhirnya perempuan tua itu meneleponnya yang saat itu sedang bertugas ke Semarang. Kata Mbok Darmi, kalau menunggunya pulang, akan membutuhkan waktu lebih lama. Terpaksa Gunawan mohon izin untuk mengakhiri pertemuan lebih cepat, lalu menelepon anak gadisnya, mencoba meredakan kegalauannya. Untungnya Andara mau mendengar, dan mau keluar kamar sebelum dia sampai di rumah.

       Jam pulang kerja, tidak pernah menyenangkan bagi pemakai jalan jalur Semarang-Purwodadi yang padat. Pemakai jalan harus bersaing dengan pergantian jam kerja karyawan pabrik, ditambah jalanan yang menyempit karena alih fungsi menjadi pasar tiban. Belum lagi kondisi jalan yang bergelombang akan mempersulit Gunawan, atau siapa pun untuk membawa kendaraannya lebih cepat. Gunawan harus berjuang hampir empat jam untuk sampai di rumah, untuk bisa memeluk anak gadisnya yang langsung menangis begitu dia datang.

      Meredakan emosi sang putri bukan hal yang mudah, apalagi jika berhubungan dengan prinsip. Gunawan harus menjelaskan sedetail dan selogis mungkin, baru Andara menerima. Hanya gara-gara nama. Gunawan tersenyum mengingat masa-masa itu. Sepertinya sekarang kasus serupa terjadi lagi.  

       "Anak Ayah lebih suka yang mana?" tanya Gunawan setelah lama terdiam. Kepala Andara bergerak-gerak di bahunya, seperti tengah berpikir. Gunawan sangat yakin, anaknya tahu benar harapan mereka dengan nama itu. Pasti ada yang disembunyikan Andara.

       "Suka dua-duanya, artinya sama-sama bagus. Dara suka, terima kasih Ayah dan Ibu, sudah memberi nama bagus." Katanya dengan senyum menyeringai, lalu mencium pipi ayahnya. Gunawan tertawa senang, Andara putri kesayangannya sudah kembali. Meski kecurigaannya masih belum terjawab. Belakangan sikap Andara agak aneh. Beberapa kali, Gunawan memergoki Andara mengabaikan panggilan telepon dari seseorang. Siapakah orang yang sedang dia hindari?

       "Itu baru anak Ayah. My smart girl!" Ucapnya bangga. Dikecupnya puncak kepala anak kesayangannya lembut. Tubuh kekarnya memeluk erat buah cintanya dengan perempuan yang berhasil mengubah hidupnya.

      "Ayah, Dara enggak bisa napas," Protes Andara berniat melepaskan diri. Gunawan tertawa, mengacak rambut sang putri. Andara ikut tertawa bahagia, tidak peduli apa pun omongan orang tentang dirinya. Akhirnya ayah dan anak itu tertawa bersama, lalu kembali menonton layar kaca yang sempat mereka acuhkan.

(Bersambung)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun