Pesan-pesan hujatan itu belum berakhir. Keesokan harinya Andara masih menerima beberapa pesan, yang lebih menyakitkan. Salah satunya dari 0878.1234.xxx, yang kata Danasti itu nomor Aurora. Teman sekelas Abimanyu, yang selalu berpenampilan anggun dengan bandana berganti setiap hari. Anggota klub sains, pernah mewakili sekolah lomba Matematika hingga masuk tingkat provinsi, dan tahun ini terpilih sebagai anggota tim paskibrata di Kabupaten.
    "Eh, kamu yang mengaku anggun, tapi enggak ada anggun-anggunnya sama sekali. Malu sama nama! Sok cantik lagi. Ngaca dong! Lihat baik-baik, tampang jelek Lo! Belagu!" Andara hampir membalas pesan tidak sopan, dari orang yang tidak dikenalnya itu. Untung Andara ingat, tidak penting mengurusi orang-orang tidak beretika itu. Dalam hati Andara heran, ternyata, ada juga anak eksakta yang dangkal logika. Atau memang benar kata Agnes Mo, cinta itu menghilangkan logika seseorang? Lebih bodoh lagi, kalau cinta itu membuat orang buta. Apa enaknya coba? Cinta kok membuat buta?
   Meski tidak terganggu dengan pesan-pesan itu, tak urung Andara iseng memprotes ayahnya. Gara-gara nama yang kedua orang tuanya berikan, dirinya dihujat. Sesudah sudah malam mereka duduk berdua di ruang tamu sambil menonton televisi. Ayah sedang menonton film spesial yang ditayangkan salah satu televisi nasional.
   "Ayah, Dara protes! Kenapa namaku ada Anggun nya,sih? Kayaknya enggak cocok banget sama aku! Ganti saja, boleh enggak?" sungutnya manja. Hanya kepada laki-laki berusia empat puluh 43 tahun itu Andara bermanja. Di luar rumah, Andara adalah gadis dengan kepribadian kuat.
    "Apanya yang tidak cocok, Sayang? Memang anggun itu apa? Kok jadi sewot begitu?" sahut Ayahnya tanpa mengalihkan matanya dari layar televisi. Merasa diabaikan, Andara makin cemberut. Dengan kesal, gadis itu meraih remote kontrol yang terletak di atas meja. Tangannya menekan tombol, mengganti saluran televisi. Bukannya marah, Gunawan Laksana malah terkekeh.
   "Kata orang sih, Anggun itu, kan akronim dari Anggota Ragunan?" bisiknya sambil tertawa lepas.
    "Ayah! Masak anaknya sendiri dibilang anggota Ragunan? Dara sama dengan binatang, dong!" teriak Andara histeris. Bantalan kursi yang tadi dipeluknya, terbang mengenai lengan sang ayah. Tawa Gunawan makin keras, bahagia rasanya bisa bercanda lepas dengan putrinya. Gadis kecil, satu-satunya peninggalan istri tercinta yang sudah berpulang. Harta terindah milik mereka.
    Masih dengan wajah cemberut, Andara menyurukkan tubuh mungilnya ke dalam pelukan hangat sang ayah. Gunawan menyambut sama hangatnya kemanjaan putri semata wayangnya. Diciumnya puncak kepala gadis lima belas tahun, yang memeluknya erat. Memberikan kebahagiaan kepada gadis kecilnya itu adalah janji Gunawan kepada istrinya, begitu pun Andara. Dia berjanji akan menjadi anak yang membanggakan sang ayah.
    "Dara sayang Ayah," bisik Andara serak. Gunawan bisa merasakan putrinya menangis dalam pelukannya.
    "Loh, ada apa ini?  Kok malah menangis? Anak Ayah kenapa? Tidak suka punya nama Anggun?" Andara menggeleng dalam pelukan ayahnya.
    "Ada apa, mau cerita? Ayah siap mendengarkan!" tanya Gunawan lembut. Andara menarik tubuhnya, beringsut menjauh. Gunawan melepaskan pelukannya, membiarkan gadis kesayangannya mengambil waktu. Laki-laki itu sabar menunggu.
Andara menyandarkan kepalanya pada bahu kukuh ayahnya. Bahu yang selalu memberikan kenyamanan kepadanya. Gadis itu terdiam agak lama. Hanya menikmati kebersamaan yang selalu disyukurinya sebagai anugerah yang tiada taranya. Gunawan tidak memberinya hidup mewah harta, melainkan kemewahan hati yang tidak dapat dihitung dengan uang. Keberadaan sang ayah setiap hari, kasih sayang dan perhatiannya lebih dari cukup buatnya.