Mohon tunggu...
Izzuddin Muhammad
Izzuddin Muhammad Mohon Tunggu... Freelancer - hamba Allah

penulis pemula

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

3 Perubahan yang Saya Rasakan Setelah Membaca Filosofi Teras

21 Juni 2023   09:41 Diperbarui: 22 Juni 2023   01:30 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filosofi Teras (Sumber: Gramedia.com)

Sebagai salah satu buku best-seller tanah air rasanya banyak di antara kita yang mengetahui "Filosofi Teras". Sebuah buku yang ditulis oleh Henry Manampiring dan diterbitkan pertama kali pada tahun 2018 yang lalu. 

Awalnya saya tak tertarik untuk memilikinya, alih-alih membacanya. Dalam benak saya buku tersebut sepertinya hanyalah buku self-improvement biasa seperti buku-buku genre sejenis lainnya.

Alhasil, saya tak kunjung bergegas membeli buku tersebut sampai pada suatu ketika saya menyaksikan interview Mas Henry di channel youtube Raditya Dika. 

Dari obrolan itulah saya menyadari ada kesalahan persepsi yang sangat tidak adil yang telah saya lakukan pada Mas Henry dan bukunya itu. 

Untuk menebus rasa bersalah tersebut, sekaligus memuaskan rasa penasaran, saya pun bergegas ke Gramedia Mataram untuk membeli Filosofi Teras.

Tidak sulit menemukan buku fenomenal tersebut. Baru menapakkan kaki di lantai 2 saja mata saya langsung dapat melihat di mana Filosofi Teras terpampang. Jadilah hari itu saya membawa pulang buku Filosofi Teras beserta sejumlah buku lainnya.

Setelah resmi memiliki Filosofi Teras, saya pun langsung membacanya di sela-sela waktu senggang. Ternyata buku ini sangat cocok menemani waktu luang kita. 

Menyelami stoisisme dari sudut pandang Mas Henry. Seakan-akan Mas Henry mengajak pembacanya, termasuk saya, berbicara membahas stoisisme dengan bahasa yang sangat mudah dipahami.

Butuh waktu sekitar 1 minggu untuk menamatkan Filosofi Teras cetakan ke-49 yang saya miliki itu. Dan, sebagaimana yang dianjurkan oleh Mas Henry, saya berusaha menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. 

Kadang berhasil namun lebih sering gagal. Ya, tak mengapa. Namanya juga belajar. Siapa sih yang ngga pernah gagal, semua kita pernah gagal, Anda gagal, saya gagal, nanti ngga gagalnya kalau udah di surga (maafkan saya yang sangat terpengaruh virus Aldi Taher belakangan ini).

Saya menangkap Filosofi Teras sebagai interpretasi sekaligus testimoni Mas Henry terhadap filsafat stoisisme. 

Sangat subyektif namun tentunya tak mengurangi intisari dan manfa'at yang bisa didapatkan pembacanya. Oleh karena itu, dalam tulisan ini pun saya akan melakukan hal yang sama terhadap buku Filosofi Teras milik Mas Henry.

gramedia.com
gramedia.com

Berikut 3 perubahan yang saya rasakan setelah membaca Filosofi Teras:

1. Tidak Mudah Tersulut Emosi

Salah satu bagian awal yang dijabarkan dalam Filosofi Teras adalah "dikotomi kendali". Dalam hidup ada hal-hal yang bisa kita kendalikan dan tidak bisa kita kendalikan. 

Kerap kali, tanpa kita sadari (karena mengabaikan nalar sendiri) emosi negatif yang kita rasakan sering muncul karena kita terlalu fokus pada hal-hal yang berada di luar kendali kita.

Terjebak kemacetan, misalnya. Itu kan di luar kendali kita. Kita tak bisa melakukan apapun untuk mengubah keadaan. 

Tapi saking seringnya memanjakan emosi negatif akhirnya kita pun marah, kesal, dan melontarkan sumpah-serapah memaki kemacetan yang terjadi. Padahal itu semua tidak bisa mengubah apapun.

Setelah membaca filosofi teras dan terjebak kemacetan, alhamdulillah, saya tak mudah tersulut amarah seperti sebelumnya. Ketika bertemu dengan kemacetan saya berdialog dengan pikiran sendiri: 

"Kemacetan ini berada di luar kendali saya. Memang menyebalkan. Saya bisa telat ke tempat tujuan. Tapi marah dan mengeluarkan kata-kata makian tak akan mengubah apapun. 

Lebih baik saya fokus pada apa yang bisa saya kendalikan, bukan? Yups, respon saya! Saya bisa mengendalikan pikiran dan respon saya untuk lebih tenang. Kemacetan ini bisa saya gunakan untuk mengistirahatkan tangan dan kaki. Selain itu, bukankah kemacetan seperti ini adalah momentum paling tepat untuk belajar sabar?"

Memang tak selalu berhasil. Namun, menurut penuturan orang-orang di sekitar saya ada perubahan yang terlihat pada diri saya, utamanya tidak gampang marah akhir-akhir ini. Semoga saja bisa terus berproses dan belajar.

2. Pikiran Buruk Tak Selalu Negatif

Sebelum membaca Filosofi Teras saya selalu merutuki diri saat gagal berpikir positif terkait apapun. Saya selalu merasa kurang bersyukur ketika overthinking. 

Akan tetapi, ternyata menurut Filosofi Teras, pikiran buruk tak selalu berkonotasi negatif. Stoisisme mengajarkan ada baiknya kita memikirkan hal yang paling buruk bisa terjadi. 

Hal ini bukan berarti stoisisme mengajarkan pesimisme. Tapi agar mental kita lebih siap dengan apapun yang terjadi nanti.

Ketika saya mendekati seorang wanita saya sudah tidak khawatir lagi mendapatkan penolakan. Karena hal itu sudah saya pikirkan terlebih dahulu. Akhirnya, ketika penolakan itu benar-benar terjadi saya tak larut dalam perasaan galau dan sedih. 

Ada, sih perasaan-perasaan itu. Tapi durasinya tak lama. Selain itu, berpikir kemungkinan buruk juga dapat disandingkan dengan fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan.

"Saya tak bisa mengendalikan penolakan atau penerimaan seorang wanita terhadap saya. Yang saya bisa kendalikan adalah mempersiapkan dan menampilkan diri dengan sebaik mungkin tanpa merugikan diri sendiri dan juga wanita tersebut. 

Saya akan berusaha meminimalisir kemungkinan buruk itu terjadi. Namun, jika sampai hal buruk itu benar-benar menghampiri saya, setidaknya saya sudah siap karena sebelumnya sudah memikirkannya".

3. Fokus Pada Solusi

"Kemarin, saya dan keluarga menyempatkan diri berlibur ke pantai. Sebelum mandi kami mengisi perut dulu dengan memesan ikan bakar dan sejumlah menu lainnya. 

Tidak lupa pula menyeduh kopi yang sudah kami siapkan dari rumah. Tanpa disengaja, kopi saya tertumpah karena tersenggol adik saya dan mengenai HP saya yang terletak tak jauh dari gelas. 

Saya reflek mengamankan HP agar tak semakin kena tumpahan kopi panas itu. Dan ajaibnya, saya tidak ngedumel sama sekali. Saya fokus pada solusi yang bisa saya lakukan, yaitu mengamankan HP, mengeringkannya, lalu mencari tisu untuk membersihkan sisa tumpahan kopi"

Kenapa saya bilang ajaib? Karena ketika belum membaca Filosofi Teras saya sangat yakin salah satu respon spontan saya apabila hal itu terjadi adalah mengomel. 

Atau, setidaknya memperingati adik saya namun dengan nada tinggi, hehe. Untungnya Filosofi Teras mengajarkan untuk lebih fokus pada solusi daripada masalah itu sendiri. 

Masalah itu sudah terjadi. Tak bisa diubah, dibatalkan, atau ditunda. Dari pada pikiran dan energi habis digunakan untuk memikirkan masalah tersebut lebih baik dialihkan untuk mencari solusi. 

Dan, percayalah, latihan fokus pada solusi ini membuat kita akan terbiasa  lebih tenang ketika menghadapi permasalahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun